Aku sedang ribut membagi perhatianku antara ponsel dengan Kanya. Anak perempuan Nina itu memang paling dekat denganku, umurnya yang masih tiga tahun membuatnya tampak imut sekali.
"Aunty, pon-pon (phone)," gumamnya sambil menunjuk-nunjuk ponsel yang ada digenggamanku.
"Iya, ini ponsel aunty. Where's your brother, hm ... hm?" tanyaku gemas sambil menciumi pipinya yang gembul itu membuatnya tertawa nyaring sekali.
Kutaruh ponselku di atas meja tanpa me-lock-nya terlebih dahulu Lalu menggendong Kanya.
"Buk, peniti gue di meja tadi mana?"
Aku menoleh ke belakang dan menemukan Mona sedang mencoba kebaya pernikahannya yang masih penuh sekali dengan peniti. Kupikir Mona terlalu diet ekstrim seminggu ini sampai kebaya pernikahannya saja kebesaran seperti itu dari ukuran awal badannya.
"Tuh!" tunjukku dengan dagu ke arah meja kecil yang menampung ponselku dan juga barang lainnya.
"Aunty up!!"
"Up?" tanyaku lalu mengangkat Kanya tinggi-tinggi. Sekali lagi dia tertawa sangat keras sekali sampai telingaku penging rasanya.
"What the fuck?!"
"Mona!" teriak Nina yang barusaja mau masuk ke dalam kamar Mona, dia mendelik marah karena Mona berteriak kasar sementara di sini juga ada Kanya yang sedikit banyak sudah mengerti Bahasa Inggris.
Aku hanya menatap Mona aneh dan masih menggendong Kanya, penasaran apa yang membuatnya bisa berteriak kasar seperti itu tadi. Namun jantungku terasa mau lepas saat itu juga begitu aku sadar bahwa Mona menggenggam ponselku, ia melongo seperti terkejut atas apa yang telah ia lihat.
Buru-buru aku menurunkan Kanya di atas sofa dan merebut paksa ponselku dari genggaman Mona. Mampus!
Sekarang aku harus bagaimana? Bodohnya aku yang teledor karena tidak me-lock ponselku sebelum kutaruh di atas meja. Jantungku berdegub kencang dan menatap Mona canggung. Sementara Nina mengambil alih Kanya dan mendekati kami berdua, dia menatap heran ke arahku dan Mona.
"Apa sih?" tanya Nina berusaha mengambil ponsel dari genggamanku namun kucegah. "Siniin!"
"Nggak."
"Larasss!!!" pekik Mona mengagetkan Nina. Disaat seperti ini, yang aku rasakan hanyalah ingin menangis. Aku takut. Sangat takut sekali jika kedua sahabatku ini mengetahui rahasiaku yang selama tiga tahun ini kututupi.
"Kalem bisa nggak sih, Mon?! Ada anak gue ini!"
Tak memperdulikan omongan Nina, Mona justru mendekat ke arahku dan menangkup kedua pipiku, menyuruhku untuk menatapnya lekat-kekat. Aku yakin kedua mataku saat ini sudah berair siap menangis.
"Lo pacaran sama Akssa?" tanya dia serius.
"WHAT?!!"
"Kalem bisa nggak?" balas Mona pada Nina yang tiba-tiba berteriak kaget. Nina juga mulai mendekat ke arahku sambil menggendong Kanya yang asyik memainkan rambut sebahunya.
Aku masih diam saja merasa disidang seperti ini. Kedua tanganku menggenggam ponselku tadi erat-erat. Benda itu adalah bukti terkuat soal penjelasan seperti apakah hubungan aku dan Akssa.
Bodoh kamu Laras. Bodoh. Sangat bodoh. Kalau sampai Akssa tahu aku sudah ceroboh membuat Nina dan Mona mengetahui rahasia ini, dia pasti sangat marah padaku.
Belum lagi Nina, mungkin dia masih belum merelakan kalau Akssa berurusan dengan wanita lain apalagi sampai berurusan denganku, sahabatnya sendiri.
"Selamat, Cinta!!" seru Nina tiba-tiba membuatku melongo kaget. Kok ... gini sih?
Mona menggeleng-gelengkan kepalanya tampak frustrasi. "Kok bisa sampai sama Akssa sih, Buk? Kayak nggak ada cowok lain aja."
Nah, sekarang aku juga dibuat heran oleh tanggapan dari Mona. Kenapa?
"Kenapa, Buk?" Nina mewakili rasa penasaranku dengan bertanya lebih dulu pada Mona.
Bukannya menjawab, Mona malahan memilih untuk pergi ke sofa dan menjatuhkan bokongnya di sana seperti orang stres. Aku mengikutinya karena rasa penasaranku yang sudah seperti membeludak ini.
"Iya, kenapa?" tanyaku menuntut.
"Gue nggak mau cerita ini ke elo. Gue yakin Akssa nggak pernah cerita ini juga sebelumnya--"
"Cerita, Mon!" perintah Nina menuntut.
Sebentar Mona memandangi aku dan juga Nina yang sudah khawatir dengan cerita Mona soal Akssa. Sepertinya ini akan lebih terdengar seperti aib. Ya ampun, orang sekelas Akssa apa punya aib sebegitu memalukannya juga?
"Harusnya dia yang cerita, kenapa gue, coba!" sungutnya sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya kesal.
"Ini ada apa sih?! Akssa itu kenapa?" tanyaku sedikit panik. "Oke, gue jelasin gue sama dia nggak pacaran--"
"Terus??" potong Nina cepat.
"Aduh, dengerin gue dulu dong, Cin!" kesalku. "Selama ini ... apa ya, gue sama dia just like a friendship but more than friendship, just two people who need each other," jelasku tak karuan. Jujur, aku saja juga bingung bagaimana cara menjelaskan hubunganku dengan Akssa ini. Rumit sekali melebihi kasus pro*titu*i on*ine yang marak diberbincangkan akhir-akhir ini.
"Apa sih? Gue bingung. Intinya lo berdua saling membutuhkan, gitu?" jabar Nina yang langsung kuangguki, sebetulnya yang lebih membutuhkan itu Akssa bukannya aku.
"Tunggu, maksut lo mutualisme? Lo having sex sama Akssa karena stres kelamaan single, Buk?!" pekik Mona keras sekali. Sangat menghinaku dengan ejekan singlenya.
"Ngawur! Nggak lah, gue masih virgin. Aduh, Mona lo sebagai sepupunya pasti tau 'kan kebiasaan buruk Akssa itu apa?" pancingku.
"Mabuk."
"Right!"
"Lo jadi baby sitter si Akssa setiap dia mabuk?" tanya Nina memastikan. Aku hanya mengangguk sekali. "Terus untungnya di elo apa?"
Nah, sekarang aku diam tak berkomentar lagi. Jangankan Nina yang bingung tentang apa keuntungan untukku di balik ini semua, aku pun bingung. Sepertinya hampir semua keuntungan menuju pada Akssa saja, tidak denganku.
"Oke, let's talk," potong Mona, dia merentangkan kedua tangannya untuk memotong pembicaraan tidak penting lainnya dan kembali fokus pada apa yang ingin disampaikan sebelumnya oleh Mona.
Pasang telinga baik-baik dan juga pasang hati lebih kokoh. Aku belum sanggup kalau sampai menerima kabar bahwa Akssa ternyata sudah ditunangkan oleh keluarganya atau mungkin Akssa sudah memiliki wanita lain tanpa sepengetahuanku. Tidak. Jangan sampai itu terjadi. Aku masih terlalu berharap pada lelaki dingin itu. Entah kenapa yang aku mau seperti hanya dia. Hanya Akssa.
"Sebelumnya gue minta maaf sama Akssa karena--"
"To the point, Mona!" seruku bersamaan dengan Nina. Gemas juga lama-lama melihat Mona kadang keseriusannya selalu dicampuri bahan candaan oleh dia.
"Gue seriusan, ini gue buka aib Akssa tahu nggak sih lo pada!" rutuknya kesal sendiri. Mona membenarkan posisi duduknya dan terlihat mengambil napas sekali tarikan. Lalu.. "Apapun hubungan lo sama Akssa, please, tolongin gue buat hapus Nara dari ingatannya."
***
Nara siapa? Siapa Nara?
Aku belum pernah mendengar nama itu sama sekali baik dari mulut Mona sebelumnya maupun Akssa. Kupikir Akssa hanya masih stuck dengan Nina namun ternyata ada Nara juga?
Who the hell is she? Aku dibuat mati penasaran dengan si Nara ini. Antara sesak oleh kenyataan bahwa ada hubungan yang masih belum terputus antara Akssa dan juga Nara, dan kenyataan bahwa Akssa ternyata memiliki rahasia yang ia simpan sendiri. Kupikir selama tiga tahun ini aku sudah mengenalnya, ternyata aku hanya mengetahui sisi luar Akssa saja. Bagaikan remahan waffer, aku hanya akan tinggal di wadahnya, tidak di dalam waffernya.
"Nara siapa, Mon?" tanyaku pelan. Aku melirik ke arah Nina sebentar yang menatapku kasihan.
Oh, ayolah.., jangan menatapku seperti itu. Benar-benar terlihat mengenaskan sekali aku ini. Sudah jadi wanita tidak pernah laku, berharap sama satu lelaki saja ujung-ujungnya bertepuk sebelah tangan. Inikah yang dinamakan takdir? Seharusnya dulu aku meneruskan main mata saja dengan sekretaris Sandro itu, aku bisa dapat untung 'kan bisa menikah dua tahun lalu pastinya.
"Akssa itu anak nomor satu dari dua bersaudara, Cinta. Dia punya adik perempuan namanya Kinara Dayu Goutama. Mirip ya sama nama lo, Buk?"
"Iya, ada Dayu-nya, Buk!" tambah Nina yang masih belum nyambung dengan omongan Mona.
Sememtara aku yang mendengarkan tentu saja tercengang setelah mencerna itu semua. Bukan karena nama Dayu yang mirip dengan namaku. Tetapi penjelasan Mona barusan sangat jelas kalau Akssa itu..
"He's a brother complex," lirihku tak percaya.
"Hah?! Siapa, Buk? Akssa? Kok bisa? Eh, sama siapa?!" ribut Nina yang masih belum juga konsen.
Astaga, kenapa Nina setelah menikah justru memperlihatkan kemunduran otaknya sih. Pasti gara-gara Sandro.
Sepertinya dulu diantara kami bertiga yang paling pintar dan peka itu Nina, kenapa jadi hanya aku sekarang yang berada di garis normal?
"Cinta dengerin dong. Akssa sama Nara itu adik kakak, dan gue nyuruh Laras buat hilangin Nara dari otak Akssa. Nyambung belum?" tanya Mona setelah menjelaskannya panjang lebar.
"Ya ampun, kok gue baru tahu?"
Tuh 'kan.. Nina benar-benar menampilkan kemundurannya sekarang. Kesal aku jadinya. Sudah tahu berita Akssa seorang brother complex adalah hal yang mengejutkan, kenapa Nina sama sekali bersikap santai dan biasa saja sih. Kesal hayati.
Tetapi setelah mendengar semua ini dari mulut Mona yang sudah pasti tidak akan pernah berbohong kalau sudah menyangkut keluarganya, aku jadi semakin berharap penuh pada Akssa. Perasaanku padanya yang selama tiga tahun ini hanya sebatas I need him to be closer with me, berubah menjadi I need him to be my fate. Aneh memang, seharusnya aku terkejut dan menyangkal ini semua lalu memutuskan kontak dengan Akssa. Tetapi tidak, aku seperti terdorong lebih maju untuk berusaha mendapatkannya. Sama seperti perintah Akssa terakhir untuk menyuruhku terus berusaha.
Oh, apa dia sebenarnya juga frustrasi terhadap perasaannya sendiri?
Maka dari itu dia menyerah dan menyuruhku untuk terus berusaha.
Jadi, dia mengakui bahwa aku pantas untuk memperjuangkannya?
"Tapi kalau dia brother complex, kok bisa naksir Nina sih?" tanyaku tiba-tiba seakan teringat soal bagaimana putus asanya Akssa dulu saat Nina lebih memilih Sandro daripada dirinya.
"Gue minta maaf nih, gue kira 'kan dulu si Nina nggak jodoh sama Pak Bos. Ya gue kenalin dong ke Akssa, soalnya visual lo mirip banget sama Nara, Buk," jelas Mona.
"Gue? Miripnya gimana??" heran Nina.
"Ya mirip lah, rambut sebahu, bentuk bibir, mata bulet, banyak deh. Gue aja dulu kenal lo pertama ngebatin lo mirip sepupu gue si Nara itu."
"Terus sekarang Nara dimana?" tanyaku penasaran.
Pasti sangat sulit memperjuangkan Akssa kalau tahu Nara masih berada di seputar kehidupan lelaki itu. Tandingan sama orang yang sudah dicintai mati-matian, jelaslah sulit. Apalagi cintanya sama adik kandung sendiri, mampus tidak tuh!
Benar-benar, ya, aku ini memang cocok menjadi duta remahan waffer, mengenaskan.
"Meninggal, Buk."
"What?!" tidak hanya aku yang berteriak, tetapi Nina juga berteriak lantang di sebelahku.
"Kok bisa??"
"Kecelakaan di jalan tol. Nngg, tapi gue juga enggak tahu sih. Soalnya bukti TKP waktu itu bilang itu disengaja."
Kuacak rambutku frustrasi. Mendengarkan cerita Mona tentang kehidupan Akssa yang gelap bisa membuatku pusing. "Kalau cerita yang bener dong!" kesalku. "Langsung poinnya aja kenapa, gimana, kok bisa. Pusing gue dengernya," lanjutku mencak-mencak sendiri. Aku pusing.
Mona cemberut karena kutegur, dia lalu berdiri dan mulai melepaskan kebaya pernikahannya. "Bentaran deh gue lepas ini dulu," katanya.
"Eh, itu telpon tuh!" Nina menyenggol sebelah lenganku lalu menunjuk pada ponselku yang sedari tadi kugenggam.
Layar ponselku yang tadinya menampilkan percakapan pesan singkatku dengan Akssa berubah menjadi panggilan masuk. Dari Akssa.
Aku menghela napasku berat. Biasanya kalau lelaki itu sudah menghubungiku, aku akan secepat mungkin mengangkatnya dan menebak dengan was-was ada apa gerangan Akssa meneleponku. Tetapi sekarang aku butuh berpikir matang. Harus bagaimana dan dengan apa menyikapi Akssa.
"Biarin," kataku lalu aku menekan tombol merah menolak panggilan.
Intinya, di sini peranku sebagai penggeser sosok Nara sangat kuat. Ini bukan lagi Nina melainkan Nara, almarhumah adik kandungnya sendiri. Kualat tidak ya kalau sampai aku berusaha mati-matian menyingkirkan Nara dari otak Akssa?
Karena kupikir ini memang sudah keterlaluan. Hampir setiap hari Akssa mabuk berat dan itu sangat mengkhawatirkan.
Lain hal kalau Akssa itu tidak mengambil ciuman denganku saat pertama kalinya dia mabuk di apartemenku tiga tahun lalu, aku pasti masa bodoh dong mau Akssa depresi kek, putus asa kek, itu mah derita dia.
Tetapi beda dengan sekarang karena semenjak Akssa mencuri ciuman denganku dan sering sekali bertandang ke apartemenku, dia diam-diam sudah membawa lari sedikit demi sedikit perasaanku.
"Hasil TKP bilang Nara sengaja berkendara diatas batas kecepatan, dia nabrakin diri ke pembatas tol," sambung Mona lagi setelah ia selesai mengganti pakaiannya.
"Senekat itu dia, Buk?" tanya Nina sungguh penasaran.
Sama, aku juga penasaran sampai haus rasanya. Ini kenapa di sini tidak ada minum sih? Rumah mewah tapi air putih saja susah nyarinya.
Mona tiba-tiba bergerak gelisah sambil menggaruk belakang kepalanya sendiri. Aku jelas memicingkan mata melihat gerakannya itu, pasti masih ada yang dia sembunyikan.
"Senekat itu?" pancingku tak mau tahu aku harus bisa mendapatkan jawaban soal Nara-Nara ini.
"Nngg, soal yang satu ini gue nggak ada hak buat cerita. Lebih baik lo tanya ke Akssa langsung, Cin. Yang jelas gue udah kasih warning kalau Akssa itu dulu sempat jadi brother complex, ya. Selebihnya lo cari tahu sendiri sama Akssa."
Aku menyandarkan tubuhku di sandaran sofa dengan kepala yang sukses berdenyut puluhan kali.
"Minum dulu, Buk!" sebelah tangan Nina mengulurkan segelas air putih yang entah darimana ia dapatkan. Aku menoleh kesana kemari bingung, perasaan tadi aku juga mencari keberadaan air putih tetapi tidak ada deh.
"Anak lo tidur, Nin. Lo bawa gih," perintahku sambil menerima segelas air putih tadi, Nina mengangguk.
"Gue balik ke Sandro dulu deh. Mon, gue balik AG dulu besok gue kesini pagi buta," pamit Nina lalu mencium kiri-kanan pipi Mona dan juga aku.
"Apapun itu, Ras. Lo harus berusaha," pesan Nina sebelum akhirnya keluar dari kamar Mona sambil membawa Kanya dalam gendongannya.
"Gue nggak kepikiran ternyata Akssa mau juga modelan elo, Cin."
Rrgghh, sialan. Ada kutukan untuk calon pengantin sebelum hari-H tidak, ya?
Kalau ada aku mau mengutuk mulut Mona yang sama sekali tidak bisa menyatu dalam kondisi itu.
Memangnya seburuk apa sih aku? Sejelek apa aku ini sampai semua orang menganggap kalau aku ini tidak laku dan tidak pantas untuk disukai.
"Gue balik! Panas kuping gue nampung hinaan lo," ucapku kesal lalu keluar begitu saja dari kamar Mona.
Sekarang apa? Aku harus pulang ke apartemenku dan menebak kalau Akssa sudah pasti ada di sana. Atau kembali ke kantor dengan alasan melembur pekerjaan sedangkan sekarang sudah pukul 8 malam?
Hhhh, pusing kepalaku hanya dengan memikirkan aib Akssa. Kalau sudah tahu akan serumit ini pasti aku memilih untuk tidak berharap jauh pada lelaki dingin itu.
Tapi doi ganteng, Tuhan.. Kapan lagi sih kesempatan punya laki ganteng. Mewek nih gue lama-lama.
***
Ting!
Ting!
Ting!
Ting! Ting! Ting! Ting! Ting!
"Nngghhhh!!" geramku berusaha menutup kedua telingaku rapat-rapat. Ponselku terus berdenting menandakan puluhan pesan online dari Akssa yang sama sekali belum kubuka sejak awal.
Aku masih bingung harus bagaimana. Sedari setengah jam lalu sejak aku pulang dari rumah Mona, yang kulakukan adalah pulang ke apartemen dan menunggu di parkiran bassement di dalam mobil, tidak berani keluar.
Aku tahu Akssa ada di apartemenku, dia memang kuijinkan memiliki kode apartemenku dan kulihat di ujung parkiran sana, mobil Akssa terparkir dengan sangat cantiknya.
Putar otak, Laras. Ayo, putar otak. Cari jalan keluar bagaimana caranya aku bisa lepas dari pikiran Nara-Nara tadi. Aku tipe wanita yang sekali memiliki masalah akan terlihat betul dari mimik wajahku. Dan aku tidak mau Akssa langsung mengetahui itu. Dia adalah pengamat yang baik, terlalu teliti sampai rasanya aku ini tidak pernah bisa berbohong di depannya.
Kubenturkan keningku beberapa kali di kemudi mobil. Berpikir dengan membenturkan keningku beberapa kali seperti itu mungkin bisa membuat kekentalan otakku berubah tekstur menjadi encer.
Tok! Tok!
"Hah?" kuangkat kepalaku dan menatap ke jendela mobil kananku.
Mampus! Hanya kata itu yang kuteriakkan keras-keras dalam hati. Di luar mobil Akssa terlihat menunduk mengetuk kaca jendela mobilku. Terus mengetuk sampai aku membuka jendelanya lebar-lebar.
"Hai," sapaku kaku.
Bisa kulihat wajahnya suntuk sekali hari ini. Oh, apa jangan-jangan Mona memberitahunya kalau dia sudah cerita masalah brother complex itu?
"Turun," perintah Akssa tegas lalu mundur dua langkah dari samping pintu mobilku.
Aku meringis lalu menutup kembali kaca jendela mobilku dan membereskan tasku untuk kubawa keluar dari mobil.
Kulihat Akssa melirik ke jam tangan Daniel Wellington miliknya lalu berganti menatapku dingin.
"Setengah jam di mobil, gimana rasanya?"
Ludahku tiba-tiba tertahan di tengah-tengah tenggorokan. Mulutku rasanya ingin menyumpah serapah dan badanku juga ingin sekali berguling-guling di pelataran parkir. Kok dia tahu sih??! Bikin malu dong!!
Ya ampun, sudah kukatakan sejak tadi kalau aku tidak bisa berbohong dari Akssa apalagi bersembunyi darinya. Bodohnya aku sampai tidak tahu kalau sejak awal aku masuk ke parkiran, Akssa sudah lebih dulu melihat mobilku.
Akssa yang hari ini mengenakan pakaian santainya, yaitu celana pendek katun berwarna putih dan juga kaus hitam polos yang terlihat sangat gagah jika ia mengenakannya, sementara rambutnya terlihat sedikit messy dengan perpaduan wajahnya yang suntuk. Aku bertanya-tanya apakah dia habis bangun tidur?
Akssa melangkah maju ke arahku, membuatku otomatis melangkah mundur sampai menabrak mobilku sendiri. Aku terkunci.
"Ap-apaan sih!" tolakku begitu kedua tangannya mulai menggeledah saku belakang celanaku. Dia cari apa, coba. Sembarangan sekali lelaki ini grepe-grepe pantat dan paha atasku.
"Ponsel," katanya setelah mendapatkan apa yang ia cari barusan.
Aku berdecak kesal lalu berusaha merebut kembali ponselku yang sudah ada di genggamannya.
"Kode," tanya Akssa sambil menjauhkan ponsel itu dari jangkauanku.
"Kamu nggak ada hak buat geledah ponselku."
"Kode," ulangnya lagi.
Aku menyerah. Percuma aku menjulurkan kedua tanganku untuk merebut benda itu dari tangan Akssa, tidak akan dapat juga. Lelaki itu memang sok berkuasa.
"552233," ucapku menyebutkan kode sandi ponselku. Ini gila, dia siapa? Kenapa sampai harus meminta kode ponselku yang bahkan Mona ataupun Nina saja tidak kuberi tahu.
Ini antara aku yang kelewatan bodohnya atau Akssa yang terlalu pintar mempermainkanku. Ah, intinya aku memang bodoh. Sudah itu saja.
Kulihat Akssa mulai mengutak-atik ponselku entah membuka apa. Wajahnya kelihatan serius sekali saat memainkannya.
"Nicko?" tanya dia antara bertanya padaku atau mengingat sambil lalu siapakah Nicko itu. "Nicko? Sekretaris Sandro?" tanya dia lagi.
"Iya."
Akssa hanya diam dan kembali memainkan ponselku. Mbok ya masuk ke apartemen dulu kek, lah ini main geledah ponsel seenaknya di parkiran. Untung saja parkiran apartemenku sedang sepi, coba kalau ramai, pasti banyak yang mengira kalau aku sedang ribut dengan suamiku.
Wei, suami dari Wakanda!
Masih sambil menggeledah ponselku, sebelah tangan Akssa yang bebas mulai menggandeng tanganku untuk dia ajak ke arah lift. Tubuhku menegang antara senang dan juga deg-degan. Romantis sekali, Cyinn. Seumur tiga tahun lebih aku dan Akssa berkenalan dekat, belum pernah tuh dia menggandengku seperti ini. Jadi melting 'kan aku. Kepala tiba-tiba isinya fanfict novel.
Sampai di depan lift karena tingkat kepekaanku terlalu tinggi, kutekan panel lift untuk membuka pintu besinya karena kedua tangan Akssa yang sibuk memainkan ponselku dan satunya lagi menggandeng tanganku.
Lift terbuka dan kami masuk ke dalamnya. Aku langsung menekan lagi panel 12 tempat dimana kamar apartemenku berada.
"I have a question," ucapku lirih berusaha membuka obrolan di dalam keheningan lift yang bergerak.
"Hm?"
"Pernah mikir kalau Mona sama Nina tahu soal ini?" tanyaku sambil mengangkat sebelah tanganku yang digandeng erat oleh Akssa.
"Pernah," jawabnya singkat.
Tatap aku boleh kali, Bang! Sebegitu overnya dia dengan ponselku sampai berbicara denganku saja tidak memperhatikan. Tapi, kalau kami berbicara memang Akssa tidak pernah memperhatikan aku secara baik sih, memang sudah nasibku yang tidak pernah diperhatikan saat diajak omong.
"Terus?" pancingku, tidak mungkin juga 'kan kalau hanya pernah membayangkan ke-gep saja tapi tidak ada pikiran lain semacam, jangan sampai ketahuan atau kalau ke-gep ya mengelak.
"Accept it."
Kupandangi cerminan wajahku baik-baik pada dinding lift yang sepenuhnya memang berupa cermin. Wajahku datar. Kelewat datar saat mendengar jawaban Akssa barusan. Terima aja gitu, ya? Ngomong saja enak!
"Ya penjelasan kamu soal ini apa dong??" gemasku.
Kepala Akssa terangkat dari fokusnya pada layar ponselku. Ia lalu menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Friendship?" kata dia ambigu lalu mengembalikan ponselku.
Hatiku sakit bahkan terdengar juga keretakannya saat mendengar jawaban Akssa tadi. Friendship, katanya? Friendship gundulmu!
Ting! Lift terbuka membuatku otomatis melepaskan gandengan tanganku dari tangan Akssa. Aku keluar dari lift lebih dulu untuk masuk ke apartemenku tanpa menunggu satu monster yang masih santai berjalan di belakang.
Sambil membuka pintu apartemenku buru-buru, aku mulai menghitung sebanyak apa bukti friendship yang dimaksut Akssa tadi.
Ciuman lawan jenis setelah dia mabuk sudah menjadi rutinitasnya padaku. Keluar-masuk apartemenku tanpa ijin dan menghabiskan seluruh stok alkohol di dapurku. Tidur seenaknya di tempat tidurku tanpa tahu malu sedangkan yang punya apartemen mengalah untuk tidur di sofa. Me-laundry-kan semua bajunya yang tertinggal di apartemenku saat ia bertandang di sini. Mengisi peralatan mandi sesukanya di dalam kamar mandiku. Jadi friendship macam apa kami ini? Kutanya pada kalian juga, bisa kalian menjawabnya tentang friendship macam apa kami ini, hah?
Tolong kalau bisa menjawabnya, katakan padaku agar aku bisa melemparkan kenyataan soal friendship apakah kami ini ke muka Akssa.
"What's wrong?" tanya dia setelah menutup pintu apartemenku dan melihatku yang tampak kesal sendiri.
Oh, abang. Ganteng-ganteng otak kok nggak dipakai. Sayang kali buat makan ayam aja.
"Laras?"
"Aaaaaaaa!" teriakku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri di tengah-tengah ruang TV. "Persetan sama friendship!" teriakku akhirnya lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Bisa kulihat sekilas tadi Akssa hanya memandangiku aneh, mari kita serentak menyanyikan lagu lah bodo amat untuk Akssa.
***
"Mau kemana?" tanya Akssa begitu melihatku yang sudah rapi ini sedang mencari sepatu kets di rak sepatuku.
"Dokter gigi," jawabku singkat.
Aku ikut duduk di samping Akssa untuk memakai sepatuku. Hari ini adalah jadwalku untuk kontrol gigi, jadi sebelum aku menghadiri pernikahan Mona yang akan diadakan besok pagi, aku harus sudah siap dengan penampilanku yang super wah tanpa behel lagi.
Jam menunjukkan pukul 9 malam, tidak masalah. Dokter Farid masih membuka praktiknya sampai jam 11 malam nanti dan aku memang sudah membookingnya untuk jam 9 malam ini.
Selesai memakai sepatuku, aku mengambil kunci mobilku di atas meja dan bersiap pergi.
Namun baru selangkah aku meninggalkan sofa, Akssa menahan sebelah tanganku dan menarikku untuk kembali duduk di sofa.
"Im sorry," katanya pelan Tetapi wajahnya sama sekali tidak menghangat, masih saja tetap dingin.
Lah bodo amat, lah bacot amat ... bodo amat, bacot amat.
"Jangan lupa matiin lampu kalau pergi," pesanku tak mengindahkan permintaan maafnya. Aku sudah terlalu sakit dengan jawaban friendshipnya tadi.
Jadi setelah meninggalkan pesan tadi pada Akssa, aku benar-benar melangkah pergi keluar dari apartemenku. Otakku berusaha untuk tidak memikirkan lelaki itu terus dan lebih memfokuskan diri untuk mencari cara mengenyahkan Nara dari otak putus asanya Akssa.
Sambil memainkan ponselku yang baterainya tinggal 32%, aku mulai membuka aplikasi chatting untuk mengabari dokter Farid kalau aku sedang on the way.
"Lah?" langkahku berhenti tepat di depan lift begitu melihat semua online chatku hilang kecuali milik Akssa begitupun kontaknya.
Kuremas ponselku gemas sekali dan berbalik melangkah cepat untuk kembali ke apartemenku. Jadi tadi Akssa menghapus semua kontak dan juga online chatku kecuali miliknya?
Wah, hebat sekali monster satu itu. Otaknya tidak pernah dipakai.
Memangnya dia pikir kontakku tidak penting apa? Dia pikir aku ini anak SMA yang hanya punya kontak teman-temannya dan bukanlah jajaran staff kantor? Sialan!
Dua tiga tujuh tiga delapan dua. Telulit. Apartemenku terbuka dan aku mencari dimana sosok Akssa berada. Ruang TV tidak ada, dapur tidak ada, balkon juga tidak ada.
Kakiku langsung melangkah cepat ke satu-satunya tempat yang tersisa yaitu kamarku. Saat aku membukanya masih tak terlihat dimana keberadaan Akssa, tetapi telingaku menangkap suara gemericik air yang tercipta di dalam kamar mandi.
Karena sudah terdorong oleh kemarahanku, aku langsung saja masuk ke dalam kamar mandiku yang berisi Akssa yang ternyata tidak dikunci itu.
Brak!
"Kenapa kontakku kamu hapus, AKSSA!!" bentakku sambil menutup kedua mataku dengan sebelah tangan.
Tidak ada suara dari orang yang kubentak, tetapi aku mendengar kalau Akssa memutar kran shower agar mati.
"Penting?" tanya dia yang kurasa sudah berada di depanku.
Ini kenapa aku jadi was-was menghadapi Akssa? Dia sudah pakai handuk belum, ya? Sedikit-sedikit aku mengintipinya dan ... Shit! Dia hanya mengenakan handuk saja untuk menutupi bagian pinggul ke bawahnya.
"Pe-penting lah! Itu 'kan ada kontak kantor dan lain-lain!"
"Oh," gumamnya lalu melangkah maju ke arahku. Terus maju sampai memaksaku untuk mundur mentok dengan wastafel kamar mandiku.
Secara tiba-tiba Akssa mengangkatku ke atas waftafel dan mendudukkanku di sana. Aku terkejut sampai memekik dan tidak lagi menutupi mataku. Sialan nervousnya. Aku gugup sekaligus takut. Tanpa sadar aku memegang kedua pundak Akssa yang shirtless itu.
"Mau apa kamu?" tanyaku panik. Bukankah ini keterlaluan?
Tolong dong.., jangan buat aku menginginkan adegan iya-iya sebelum waktunya!
"It's kissing time," gumam Akssa lalu menyerang bibirku dengan penuh penekanan.
Hatiku mencelos. Aku terkejut bukan main mendapatkan serangan seperti ini. Aku tidak mimpi, 'kan?! Ini Akssa masih dalam keadaan sadar! Dia sadar dan tidak mabuk!
Masih dalam keadaan speechlessku Akssa terus melumat bibirku bergantian antara bibir atas dan bawah, membuatku bergetar bukan main.
Aku tidak membalasnya tentu saja. Aku mana berani membalas ciumannya saat Akssa dalam keadaan sadar, berbeda kalau dia dalam keadaan mabuk seperti rutinitasnya itu. Tetapi ini sadar, Buk! Sadar!
Setelah puas bermain dengan bibirku untuk beberapa menit, Akssa melepas ciumannya. Wajahnya mundur beberapa sentimeter demi menatapku lekat-lekat.
"Lepas behelmu. Sakit," keluhnya membuatku malu setengah mati dan secepat mungkin turun dari wastafel untuk keluar dari kamar mandi.
Ah, tidak hanya keluar dari kamar mandi, tetapi aku juga keluar dari apartemenku dan berlari menuju lift dengan napas terengah.
Aku harus lepas behel hari ini. Harus.
***
happy reading, ya!
@Ervinadyp ya. Terimakasih banyak, ya. 😍❤🙏 semangat juga untukmu..
Comment on chapter 1.