Read More >>"> Damn, You!! (1.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Damn, You!!
MENU
About Us  

The beginning of 2019.

Tiga tahun berlalu dari hiruk pikuk dan lika-liku kisah cinta sahabatku, Nina bersama Sandro. Aku terlepas dari kebawelannya.
Lega sekaligus iri karena setelahnya aku harus ditampar oleh kenyataan bahwa Mona diam-diam memiliki pasangan yang berjalan setengah tahun lamanya.
It's okey kalau dia mau meneruskan berpacaran dengan pasangannya yang memiliki keturunan darah aristrokat itu. Tetapi berbeda lagi kalau mereka menghentikan kata berpacaran dan menggantinya dengan menikah.
Ya, awalnya hanya tukar cincin dan berbagai ritual-ritual pra pernikahan yang belum pernah kusentuh itu, namun lama-lama juga jatuhnya tetap akad nikah.

Aku iri tentu saja. Jadi, yang tersisa di sini hanya aku dan juga Erik. Aku maklum dengan Erik yang memiliki penyimpangan seksualitas, tetapi aku normal, 'kan?
Lalu pertanyaannya adalah, kapan aku menikah?

Jawabannya kapan-kapan.

"Udah cek lapangan 'kan hari ini?"

"Ehh? U-udah, Mrs."

Aku berusaha membagi konsentrasiku antara mengetik cepat dengan berbicara kepada Mrs. Devi—atasanku yang berhasil menggantikan posisi Mrs. Lala.
Satu yang paling kubenci dari seorang atasan berkelamin perempuan, mereka semua lebih mengutamakan mengomel dari pada kerja cepat.

"Konsen, Laras! Saya dapat laporan tanah yang kamu garap masih ada sengketa."

Seketika kesepuluh jemariku berhenti dari kegiatannya. Aku terkejut. "Kok bisa?!"

"Saya nggak mau tahu kamu urus itu!"

Skak mat! Kepergian Mrs. Devi setelah mengatakan perintah yang tidak bisa lagi ku-nego itu berhasil membuat kepalaku berdenyut minta di belai sayang oleh seseorang.
Aku menyandar lemas di dalam kubikel sempit yang menjadi tempatku bekerja selama hampir enam tahun ini.

"Sakit hati gue lama-lama kerja di sini. Bukannya dapet promosi malahan kena omel melulu," gerutuku.

"Yuhuuu~ pos surat datang!" Seru seseorang yang sudah sangat kuhapal suaranya. Dia adalah perusak suasana baik dan buruk, Mona.

"Halo, cinta," sapanya manja sambil menyandar pada dinding kubikelku.

"Hm, siang."

"Idihh, jutek banget, Buk! Pantes nggak laku-laku."

"Mulut sopan sedikit bisa nggak kalau ngomong?" tanyaku ketus. Sudah tahu aku sedang mumet, Mona justru membuatku naik tensi.

"Bisa ... Nih!" Mona mengukurkan tangannya masuk ke kubikelku, ia memberikan satu amplop besar berwarna emas yang membuatku parno.

"A-apaan nih?"

"Undangan nikah gue dong, Buk!! Yeyyy! Akhirnya gue merit minggu depan!"

"What?!! Minggu depan?!" teriakku lantang.

Oh, aku tidak peduli lagi apa teriakanku mengganggu para staff kantor lainnya atau tidak. Yang aku pedulikan adalah kekhawatiranku yang akan ditinggal nikah oleh sahabatku sendiri.
Kenapa Tuhan enggak kasih gue jodoh lebih dulu sih? Gue juga pengen kali skidipapap skawadikap...

Kuambil amplop emas itu dengan sedikit ragu-ragu. Aku takut sekali. Lagian Mona menikah minggu depan, bukankah itu terlalu cepat?
Sebelum kubuka amplop itu aku menatap Mona curiga, Mona hanya memandangku bahagia tanpa peka kenapa aku menatapnya curiga seperti ini.
Oh iya, aku lupa kalau tingkat kepekaan Mona itu sangat rendah. Kasihan juga calon suaminya, dia pasti salah pilih.

"Lo bunting duluan apa gimana, Buk?"

Wajah Mona langsung melongo dan merasa tak percaya aku bertanya seperti itu. "Mulut lo kebanyakan disosor orang jadi ngomong enggak pernah pake persneling, ya?" tanya dia kesal.

Aku hanya terkekeh saja, mungkin Mona memang sudah matang merencanakan pernikahannya jadi dia memutuskan untuk menggelarnya minggu depan. Pelan-pelan aku membuka amplop besar itu sambil berusaha menguatkan hatiku yang potek. Kapan gue nikah? Jodoh gue lagi dipinjem orang apa gimana sih?

"Mona Sachi G dengan Jo Andreas." Keningku mengernyit dalam setelah tahu nama lengkap dari Jo kekasih Mona. "Gaya bener nama cowok lo," ejekku.

Mona langsung memasang wajah cemberut karena merasa terhina. Biar saja, lagipula siapa suruh dia meninggalkanku menjomblo sendirian bersama Erik. Oh, gosh ... Seandainya Erik itu normal, aku mungkin bisa mengajaknya paksa untuk segera melamarku daripada harus mengeluh pada nasib ketidak lakuanku ini.

"Gitu-gitu laki gue sekelas sama Sandro, Cyin!" sungutnya.

Sialan, benar juga apa yang dikatakan Mona. Dia pintar mencari lelaki matang dan kaya yang bisa dengan mudah dia pikat. Dengar-dengar Jo kekasih Mona ini memang sekelas dengan Sandro. Sekelas dari kekayaannya, sekelas dari ketampanannya dan sekelas dari otak briliannya.
Hal itu semakin membuatku iri. Nggondog setengah hati kalau sampai aku tidak bisa menemukan lelaki yang sekelas pula dengan Sandro. Minimal sekelas kekayaannya lah, masalah wajah dipoles sedikit sama MUA juga bisa.

"Iya gue dateng minggu depan—"

"Eits, gue nggak menerima tamu undangan tanpa pasangan ya, Cinta. Jadi buat kaum single silahkan tunggu diluar," potong Mona.

"Sialan lo! Lo 'kan tahu gue jomblo?!"

"Uuuhh, ngaku ya, Buk? Makannya lepas tuh behel! Bawa sial tahu, nggak?"

Setelah mengatakan itu Mona pergi begitu saja meninggalkan kubikelku. Rrrgghh, rasanya kesepuluh jemari lentikku ini ingin menjambak rambutnya yang baru-baru ini dicat blue-black.
Kulempar amplop berisi undangan pernikahan Mona itu ke ujung meja kerjaku. Sial, sial, sial. Nasib percintaanku sama sekali tidak seberuntung keuanganku.

Ddrrtt..ddrrtt..

Aku melongok sebentar ke arah ponselku yang tiba-tiba bergetar singkat di samping keyboard komputer. One missed call from Yeti.

Buru-buru aku menegakkan tubuhku yang tadi duduk menyandar tak beraturan di kursi menjadi duduk dengan baik. Apa lagi ini, kenapa pula satu monster itu meneleponku?
Sebelah tanganku meraba bagian dada kiriku, berusaha untuk menenangkan deguban jantungku yang tiba-tiba menggila persis seperti orangnya. Aku langsung membuka lockscreen ponselku dan segera menelepon balik kontak bernama Yeti itu.

Nada sambung terdengar lama sekali. Aku menunggu dalam diam dan mulai sedikit khawatir. Sekarang hampir jam makan siang, tidak masalah kalau aku keluar sepuluh menit lebih dulu dibandingkan yang lain.
Masih sambil berusaha menelepon orang itu, aku mulai membereskan tasku dan pekerjaanku lalu keluar dari kubikel menuju lift.
Sialan sekali, kenapa dia tidak menjaawab teleponku? Dimana dia sekarang?

Begitu lift terbuka di depanku, aku segera masuk tak sabaran dan sudah seperti orang parno setengah mati. Aku khawatir. Aku sangat khawatir dan berpikiran yang macam-macam saat ini.

Apa dia mabuk di siang bolong?

Ting! Lift kembali terbuka setelah sampai di lobi kantor. Aku langsung berjalan keluar dari lift dan pergi melewati lobi. Namun barusaja aku sampai di tengah-tengah lobi, langkahku terhenti begitu melihat sosok yang berusaha kutelepon mati-matian justru terlihat berdiri diam di ujung pintu kaca perusahaan Anderson Group, sebelah tangannya menggenggam ponselnya sendiri.

Ini dia yang membuatku harus menamainya Yeti dalam kontakku, sikapnya yang dingin dan arogan benar-benar membuatku kalang kabut. Sudah tahu aku ribut meneleponnya, kenapa dia tidak mengangkatnya malahan hanya memandangi layar ponselnya saja mirip orang blo'on.

Begitu pandangannya melihat keberadaanku, dia langsung melangkah pergi lebih dulu keluar dari lobi. Aku langsung mengikutinya sambil menoleh ke kanan kiri was-was. Jangan sampai seorang pun tahu dengan siapa aku keluar. Sekalipun itu Mona, Erik atau bahkan Nina dan Sandro. Bisa kacau.

 

***

 

Keringat dingin mulai membasahi bagian kening dan leherku. Aku terjebak di antara ratusan konfeksi dan sepatu branded item yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bukan karena nervous tidak bisa membeli salah satu barang di sini, ingat bahwa aku juga kaya. Kaya monyet.
Intinya aku mampu lah hanya membeli salah satu barang di sini walaupun nantinya dompetku langsung kosong seketika. Gini-gini aku ini bekerja layaknya jaman romusha, uang mengalir deras begitupun tenagaku. Ya, iyalah jaman romusha, orang itu bekerja berangkat pagi pulang sore. Aku berangkat kerja dari pagi sampai pagi lagi.  ​​​​​​​​Sok kerajinan memang.

 

Permasalahannya, aku bisa berkeringat dingin karena sekarang aku masih di luar kantor sedangkan jam makan siang sudah lewat sejak dua jam yang lalu.

 

"Kita ngapain, sih??" gumamku panik.

 

Ini bukan hanya masalah waktu, tetapi dari sini juga aku bisa ditendang dari AG karena membolos setengah hari.

 

Dia tidak menjawabku dan hanya melirikku sekilas sambil memilih kembali beberapa pasang jas kantoran yang harganya selangit itu. Apa satu keluarga memang tidak peka semua, ya? Apa satu klan dari mereka memang memiliki tingkat kepekaan yang sangat rendah?

 

"Akssa!"

 

"Hm."

 

"Kita ngapain?" Kedua kakiku mulai bergerak gelisah, aku ingin pulang. "Aku bisa dipecat gara-gara kamu!"

 

"Ambil ini," pesan Akssa menaruh sekitar empat pasang jas kantoran yang ia pilih kepada pelayan toko. "Kirim ke alamat kemarin," lanjutnya lalu diangguki ramah si pelayan.

 

Sok berduit sekali dia ini. Sedari tadi aku hanya dianggurkan olehnya.

 

"Pulang," katanya lalu menarik lenganku untuk berdiri bersamanya.

 

"Santai dong, santai! Sakit ini!" rengekku tak terima hanya ditarik paksa olehnya. Dasar monster salju.

 

Selama ini aku tidak pernah berpikiran jauh untuk bisa berhubungan dengan Akssa. Tidak, bukan berhubungan layaknya pacaran atau apapun itu. Entah apa namanya yang jelas itu hanya menguntungkan satu orang dan yang kebagian rugi adalah aku. Poor, Laras.
Selama tiga tahun lalu setelah Akssa berada di apartemenku dan menciumku saat mabuk, dia seperti terus menyuruhku untuk melakukan ini dan itu demi dia. Bahkan sudah sejak dua tahun lalu kami mengganti panggilan lo-gue dengan aku-kamu.
Sudah seperti pembantu aku ini. Boro-boro digaji, diucapkan terimakasih saja tidak pernah. Dan bodohnya aku adalah, aku hanya pasrah mengikuti alurnya. Bukan karena aku ingin atau apa, masalahnya adalah aku tidak bisa menolaknya secara tegas. Ada beberapa hal dari perintahnya yang dengan ajaib membuatku mengiyakan secara mulus. Ada beberapa hal yang membuatku benar-benar merasa tidak masalah dengan perbudakannya. Dan aku tidak tahu sama sekali darimana Akssa mempelajari itu. Dia menyetirku tanpa sadar.

 

"Sakit, Akssa!"

 

Kulepas paksa lenganku dari cengkeramannya. Aku malu sekali di seret keluar dari toko jas di salah satu mall ini. Apa dia sama sekali tidak belajar etika memperlakukan wanita dengan baik dan benar? Dasar..

 

"Kita makan," ucapnya datar.

 

Tanpa sadar, ada beberapa hal yang kusuka dari Akssa. Seperti saat ini. Saat dia memaksaku melakukan apa maunya, dia akan bertindak kasar dan aku akan melawannya. Saat itulah dia terlihat mengalah untuk beberapa menit padaku. Menungguku dalam diam untuk kembali mau melakukan apa yang diminta.

 

Sambil menyeka lenganku yang terasa panas karena tarikannya, aku menghela napas berat dan meliriknya sekilas. "Dimana?"

 

"Apartemen."

 

Kedua mataku mendelik. "Nggak, nggak!"

 

"I'm starving, Laras," geramnya mulai menahan kesabarannya sendiri.

 

"Ja-jangan ke apartemen. Resto di luar 'kan banyak," kilahku.

 

Akssa mendekat ke arahku dengan gerakan yang sangat maskulin itu. Benar-benar membuatku ngiler dan membatin jutaan kali setiap melihat visualnya yang keren, semoga gue jodoh sama dia, semoga, semoga, semoga!

 

"Why? Are you afraid if Im eat you up?"

 

Sial, bulu kudukku merinding bukan main! Apa maksut dari pertanyaannya? Siapa yang makan siapa?
Dia gila atau bagaimana, coba. Aku sudah mencegahnya untuk bertandang ke apartemen karena ini. Karena kalau kalian semua tahu, setiap Akssa memaksa untuk bermain ke apartemenku, yang dia lakukan hanya menghabiskan sebotol alkohol koleksiku dan mabuk berat di apartemenku. Ujung-ujungnya, kalian tahu sendiri. Aku yang akan jadi korban untuk mengurusnya.
Semuanya sudah kurahasiakan serapat mungkin dari Mona, Erik dan juga Nina.
Oh, tidak. Sandro mengetahuinya atau paling tidak mencurigainya karena sewaktu dulu dia pernah menanyaiku soal Akssa secara tiba-tiba.

 

"Aku nggak punya bahan makanan. Kita cari makan diluar." Kulangkahkan kakiku untuk meninggalkannya lebih dulu. Semakin aku berada dekat dengannya, semakin tengsin pula aku ini.

 

"Whatever you want," balas Akssa kutebak menyusulku.

 

***

 

"Nggak ada resto lain apa?" tanyaku kesal.

 

"Nope."

 

"Kita udah makan di sini belasan kali, Ssa! Dan aku baru tahu ternyata resto ini punya—"

 

"Just eat!"

 

Aku diam seketika. Satu yang kupelajari darinya adalah: ketika Akssa mulai menggeram dan memotong ucapanku, itu artinya dia akan marah.
Dan ketika Akssa marah itu adalah pertanda yang buruk. Sangat buruk sekali.

 

"Seenggaknya besok cari resto lain," cicitku lirih.

 

Tidak ada lagi yang bisa kulawan darinya. Bahkan satu restoran yang menyimpan kenangan dia dengan Nina masih belum ia lupakan. Kenapa?
Cih, jangan berharap bahwa aku bisa memasuki relung hati tergelapnya. Boro-boro ya, masuk. Mengintipi di gerbang hatinya saja ada kemungkinan mata auto tercolok.

 

Kami melanjutkan makan siang—hampir sore—ini dengan diam. Akssa yang entah sedang memikirkan hal apa di kepala dinginnya itu, dan aku yang diam karena kecewa oleh setiap tindakan Akssa.

 

"You have to work hard to get me,"

 

"I won't," jawabku cepat. Aku tidak mau membuat Akssa mengetahui jelas isi hatiku. Yaa, meskipun besar kemungkinan dia tahu kalau aku memang banyak berharap padanya.

 

"Kenapa?"

 

"Capek."

 

"Baru tiga tahun—"

 

"Baru tiga tahun, iya 'kan? Maybe I need more than five years," potongku setengah kesal setengah ingin mencolokkan kenyataan itu kepadanya.

 

Bukannya sadar Akssa malah terkekeh sambil menyuapkan daging kepiting lezat itu ke mulut sexy-nya. Mulut yang pernah kurasakan saat ia mabuk berat dan dalam kondisi uncontrol.

 

"Coba saja."

 

"Nggak."

 

"Don't you dare to say no about this. You haven't tried it yet."

 

Aku diam saja, tak mau menjawabnya yang hanya akan memperpanjang masalah. Dia menyuruhku untuk mencoba memperjuangkannya yang sudah jelas tidak akan bisa diperjuangkan. Jadi untuk apa? Untuk mempermalukanku atau menertawakanku? Nenek-nenek jompo juga tidak akan ada yang mau.
Maaf-maaf saja nih, tetapi harga diriku sudah tergantung di planet Saturnus, tinggi dan tak tergapai.

 

Akssa selesai memakan kepitingnya dan ia membersihkan tangannya dengan semangkuk air yang sudah disediakan. Aku mencuri-curi pandang ke arahnya yang kini sedang melap mulutnya yang berwarna sedikit pink karena kepedasan. Itu adalah gerakan paling sexy yang pernah aku lihat dari seorang Akssa, aku menyukainya.

 

"Make it simple, kita buat hubungan saling menguntungkan," katanya pelan.

 

Dia pikir dia sedang belajar mata pelajaran simbiosis mutualisme? Segala hubungan menguntungkan dibawa-bawa. Gemas rasanya aku ingin sekali menampar Akssa bolak-balik sampai kepalanya lepas dari lehernya. Dia ini manusia punya hati atau tidak sih?

 

"Just eat!" balasku melemparkan kembali apa yang tadi ia katakan padaku.

 

Memangnya enak ... Aku juga punya hati. Tolong jangan samakan aku dengan yang lain.

 

***

 

"Berapa lama?"

 

"Hah?"

 

"Hubunganmu."

 

"Ohh," aku menggumam sedikit salah tingkah. Kepulangan kami setelah dari restoran kepiting, Akssa memaksaku untuk menemaniku mencari gaun.

 

Seminggu lagi Mona menikah dan aku membutuhkan satu gaun yang bagus untuk memikat minimal seorang lelaki single yang akan menghadiri pernikahan Mona. Itu kesempatanku daripada aku harus menunggu Akssa lima tahun lagi. Keburu kucing sebelah punya cucu, Cinta!
Tetapi kenapa malahan Akssa ikut menemaniku mencari gaun? Jadi bingung 'kan mau pilih yang mana.
Dia juga mengangkat topik yang sangat sensitif di pendengaranku. Soal mantan.
Akssa benar-benar berani mengangkat topik pembicaraan soal itu. Menanyakan berapa lama aku berpacaran dengan mantanku? Hah, yang benar saja.

 

"Empat? Lima? Nngg, paling lama lima," jawabku apa adanya.

 

Aku meliriknya yang hanya diam saja. Akssa seperti ... terkejut? Tanpa memikirkannya aku kembali memilih gaun sementara dia terus mengekoriku di belakang.

 

"Yang ini yang warna peach ada?" tanyaku pada salah satu pelayan disitu.

 

Kupikir gaun bahan full brokat dengan panjang mencapai bawah lutut itu cocok untuk kugunakan di pernikahan Mona yang katanya, memang digelar dengan nuansa kejawen. Karena memang Mona dari Jawa sementara Jo kekasihnya berdarah campuran. Kulirik Akssa sebentar, berpikir apakah Akssa juga berasal dari Jawa atau memang campuran?
Karena melihat dari fisik dan wajahnya, Akssa memiliki perpaduan yang unik, khas sekali tampannya.
Dia punya lengkungan bibir yang sangat sexy. Sorot matanya yang tajam dan ber-iris cokelat terang sudah jelas menunjukkan dia adalah orang yang pintar sekaligus keturunan luar.

 

"Apa?" tanya dia tiba-tiba sambil memandangiku datar.

 

Kedua mataku mengedip beberapa kali, merasa ke-gep karena memperhatikan wajahnya.

 

"O-oh, nggak. Nggak sengaja lihat," elakku berbohong lalu pergi ke arah meja kasir sambil memukul pelan kepalaku.

 

Sialan.., bisa-bisanya aku ketahuan memperhatikan dia. Pasti Akssa senang sekali melihatku memperhatikannya. Pasti dia semakin gencar menyuruhku untuk menjalin hubungan mutualisme itu.
Gosh, apa maksut dari hubungan mutualisme itu sendiri? Apa maksutnya having sex juga termasuk? Jangan deh, Laras yang satu ini masih ting-ting, Cinta.

 

"Aduh!" kagetku, tiba-tiba jari panjang Akssa menyentil sebelah keningku.

 

"Pikiranmu kotor," katanya lalu mengeluarkan kredit card dia dari dompet dan membayar gaunku. Aku terkejut sebentar, kok dia bisa tahu isi pikiranku. Cenayang ada yang seganteng ini ternyata.

 

"Tunggu, ini gaunku. Ngapain kamu yang bayar?"

 

Sebelum aku bisa mencegahnya, kredit card Akssa sudah disegek oleh pelayan kasir. Aku lemas menatapi struk belanja yang otomatis juga sudah tercetak dari mesin. Itu artinya aku berhutang padanya. Yakinlah, berhutang pada Akssa adalah hal yang sangat mahal harganya.

 

***

 

"Gaun udah, sepatu udah, make-up juga.."

 

"Dimana alkoholmu?" teriak Akssa dari arah dapur.

 

"Sold out!" balasku juga berteriak. Tak lama dia sudah muncul dari ambang dapur apartemenku dengan kemeja yang sudah dikeluarkan, tatapannya memicing curiga menatapku.

 

"Jangan bohong."

 

"Periksa aja semua lemari, siapa juga yang bohong."

 

Untuk sekian detik Akssa berdiri di tempatnya sambil menatapku. Aku tak peduli lagi, bayanganku masih berkelana di kantong belanjaku yang sudah berserakan ini.
Akssa memaksa untuk membelikan semuanya dengan uangnya, aku tidak tahu harus dengan apa aku membayarnya kembali. Apakah dengan uang atau dengan hal lain, yang jelas aku harus mempersiapkan diri jika Akssa memutuskan agar aku membayarnya dengan hal lain. Aku akan sebisa mungkin untuk mencegahnya.

 

Akssa berjalan mendekat ke arahku. Lalu dengan sekali sentakan dia menarik sebelah lenganku untuk menyuruhku berdiri menatapnya.

 

"Kenapa?"

 

"Apanya?"

 

"Kamu biarin stok alkoholmu habis?" aku mengangguk mengiyakannya. "Karena?" tanya dia lagi.

 

Yassalam.., bocah TK saja tahu kenapa aku dengan sengaja tidak membeli lagi stok alkoholku. Karena aku memang ingin mengosongkannya agar Akssa tidak lagi mabuk di apartemenku. Apa dia memang menuruni sifat non-peka Mona?
Kenapa kalau sudah masalah seperti ini kecerdasannya jadi minim sekali.
Dengan acuh aku mengedikkan kedua bahuku sekilas dan menjauh darinya. Sudah cukup selama ini aku terlibat dalam mengurus bayi besar seperti Akssa yang doyan mabuk dan hilang kontrol. Selalu saja aku yang jadi pelampiasannya.

 

Akssa mengambil sesuatu dari saku belakangnya yang kutahu ternyata dompet, ia mengeluarkan dua kartu kreditnya sekaligus lalu melemparnya ke atas meja kaca di depanku.
Melihat itu otomatis harga diriku sedikit tergores oleh sikap arogannya ini. Dia mau pamer atau apa, hah?

 

"Keberatan aku menghabiskan stok alkoholmu?"

 

Aku sudah tidak bisa diam lagi. Sudah cukup Akssa memperlakukanku seperti ini. Seolah aku adalah parasitnya dan dia adalah inang yang tersakiti. Memang kalau sudah menyangkut alkohol kecerdasan dan hati nuraninya tertutup oleh kegilaannya sendiri. Dasar sok kaya! Sok tampan! Arogan! Tidak berperike-Laras-an!

 

Kuambil dua kartu tadi dengan perasaan marah. "Keluar, Ssa," usirku sambil mendorongnya dan memberikan dua kartu tadi kepadanya.

 

"No."

 

"Aku bilang keluar.." Aku mendorong badannya yang tinggi itu terus hingga mendekati pintu apartemenku. Susah sekali.

 

Belum berhasil aku mendorongnya keluar dari apartemenku, Akssa sudah mengunci kedua tanganku di genggamannya. O-ow, aku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia marah, jadi aku buru-buru berusaha melepaskan kunciannya pada kedua tanganku ini.

 

"Lepas!" bentakku.

 

"I said no," geramnya.

 

"Sakit, Ssa! Kamu pikir aku ini apa, hah?!"

 

Dia marah akupun bisa marah. Kedua mataku sudah pedih rasanya menahan air mata sama seperti kedua pergelanganku yang terasa sakit akibat kunciannya. Akssa benar-benar pria laknat yang tidak mau tahu rasa sakit seorang wanita. Kupikir hatinya sudah mati bersamaan dengan hari kelahiran Kanya, anak perempuan Nina. Yang aku tahu diotaknya hanya ada Nina dan Nina. Bangsat memang. Aku seharusnya membenci Akssa hingga ke tulang sumsumku, tetapi kenapa aku tidak?

 

"I told you, kita bisa punya hubungan saling menguntungkan."

 

"Kamu pikir aku mau?!"

 

"Tentu."

 

"Mimpi kamu!!" bentakku keras sekali. "Tiga tahun rutinitasmu hanya mabuk di apartemenku! Tiga tahun yang kamu ingat cuma hal-hal yang berkaitan sama Nina! Tiga tahun, Ssa! Kamu pikir gampang ngurus kamu selama itu?!!" dadaku naik turun. Ini gila, untuk pertama kalinya aku menyemburkan uneg-unegku pada Akssa.

 

Dia diam saja menatapku dingin sementara aku sudah kacau membentaknya sambil menangis bombai seperti ABG yang menonton drama sad ending. Perbandingan yang mencolok. Tapi aku bisa apa? Membuat seorang monster salju seperti Akssa untuk peka terhadap wanita adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Namun hasilnya selalu nihil dan nihil.
Dia mengangkat kuncian kedua tanganku ke atas. Membuat tubuhku jadi semakin mendekat ke arahnya. Saat itulah aku berani menatap wajahnya yang keras dan terkesan dingin itu. Satu yang membuatku terkejut saat melihat kedua mata Akssa secara dekat sekali seperti ini, dia terlihat sedih.

 

"Terus berusaha," perintahnya lalu mencium bibirku. Ciuman yang kesekian kalinya disetiap rutinitasnya saat mabuk. Ciuman yang aku tahu sama sekali tidak melibatkan perasaannya. Dan bodohnya aku yang terlalu membawa perasaanku untuk terjun bebas padanya hanya dengan sentuhan bibir.

 

He's tottaly Jerk.

 

***

 

happy reading, ya!
chapt pertama Damn, You!! (kisah cinta Akssa& Laras)

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • suckerpain_

    @Ervinadyp ya. Terimakasih banyak, ya. 😍❤🙏 semangat juga untukmu..

    Comment on chapter 1.
  • Ervinadyp

    gaya bahasanya bagus kak. keren. aku suka:D semangat ya kaa

    Comment on chapter 1.
  • suckerpain_

    @yurriansan terimakasih, ya.. Oke, aku akan mampir ke cerita kamu 🙏

    Comment on chapter 1.
  • yurriansan

    Suka dengan gaya berceritamj. Dan Aku jd bsa blje bhsa inggris. Xixixi.
    Oh ya boleh kasih masikan juga loooh untuk tulisanku yg msh amatir.xixi.
    Judulnya : When He Gone. Trims

    Comment on chapter 1.
  • suckerpain_

    @dede_pratiwi oke. Terimakasih, ya atas dukungannya..

    Comment on chapter 1.
  • dede_pratiwi

    kusuka gaya bahasanya santai dan enak dibaca. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter 1.
  • suckerpain_

    @sitimai21 terimakasih 🙏🏼 nanti siang aku lanjutkan 🙏🏼

    Comment on chapter 1.
  • sitimai21

    Keren ceritanyaa.. Ayo lanjuutt

    Comment on chapter 1.
  • suckerpain_

    @ReonA iya mak. Memang butuh perhatian buat PUEBI sama typo nya 😫🙏

    Comment on chapter 1.
  • ReonA

    HOHOHO akhirnya kamu ikutan juga ya akwkwkw... Ada bbrp typo tadi kreb

    Comment on chapter 1.
Similar Tags
Aku Takut Tidur Malam Ini
231      141     0     
Short Story
Kukkuruyuk-kukuruyuk, tekek-tekek... suara kokok ayam yang diikuti suara tekek, binatang melata sebangsa cicak ini membangunkan Nadia. Nadia baru saja memejamkan mata, namun ia segera terbangun dengan raut wajah penuh kebingungan. Dilihat jam beker di dekat jam tidurnya. Jam itu menunjukkan 23.23 menjelang tengah malam. “Ternyata baru jam sebelas malam”, ucap Nadia. Di dalam hati ia juga bert...
Faith Sisters
1676      1076     3     
Inspirational
Kehilangan Tumbuh Percaya Faith Sisters berisi dua belas cerpen yang mengiringi sepasang muslimah kembar Erica dan Elysa menuju kedewasaan Mereka memulai hijrah dari titik yang berbeda tapi sebagaimana setiap orang yang mengaku beriman mereka pasti mendapatkan ujian Kisahkisah yang relatable bagi muslimah muda tentang cinta prinsip hidup dan persahabatan
PENYESALAN YANG DATANG TERLAMBAT
702      419     7     
Short Story
Penyesalan selalu datang di akhir, kalau diawal namanya pendaftaran.
Mencari Cinta Suamiku
511      254     2     
Romance
“Mari berhenti melihat punggung orang lain. Semua yang harus kamu lakukan itu adalah berbalik. Kalau kamu berbalik, aku ada disini.” Setelah aku bersaing dengan masa lalumu yang raganya jelas-jelas sudah dipeluk bumi, sekarang sainganku adalah penyembuhmu yang ternyata bukan aku. Lantas tahta apa yang tersisa untukku dihatimu?.
One of The Boys
724      423     8     
Romance
Summer is here, and Mercy O\'Keefe\'s will consist of sun, sea, sand - and her cousin Blake and his friends. But for Mercy, being \'one of the boys\' is about to take on a whole new meaning.
PETRICHOR
1827      654     1     
Romance
Ingin tahu rasanya jungkir balik karena jatuh cinta? Novel ini menyuguhkan cerita cinta dengan cara yang berbeda. Membacanya membuatmu tahu cara memandang cinta dari 4 sudut pandang yang berbeda. "Bagi Anna, Harrys adalah kekasih yang hidup di langit. Di antara semua kekuasaan yang dimilikinya, dia tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan Anna miliknya." "Bagi Harrys, Ann...
Archery Lovers
3194      1649     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
Reality Record
2281      763     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Dont Expect Me
451      333     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Drifting Away In Simple Conversation
262      179     0     
Romance
Rendra adalah seorang pria kaya yang memiliki segalanya, kecuali kebahagiaan. Dia merasa bosan dan kesepian dengan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan. Aira adalah seorang wanita miskin yang berjuang untuk membayar hutang pinjaman online yang menjeratnya. Dia harus bekerja keras di berbagai pekerjaan sambil menanggung beban keluarganya. Mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah berpi...