Mendarat di YAI, kami dijemput Cipto, dengan tampang baru bangun tidurnya.
“Baru bangun?” tanyaku, masih mendorong troli berisi koper dan kardus kami. Mendarat tepat jam 22.00, ditambah ambil bagasi yang tak sebentar.
Ia mengucek matanya. “Kok tahu?”
“Tuh, ilermu masih ada,” ujarku acuh. Meninggalkannya yang sibuk mengaca di etalase toko.
“Ah, sialan. Ibu nih, bangunin mendadak tadi.”
“Hush! Masa Ibumu di sialanin,” celetuk Mama.
Cipto tersenyum canggung. “Bukan begitu, Bulik. Saya kan engga dikabarin dari siang, jadi engga tahu kalau mau disuruh jemput Bulik.”
“Masa mendadak?” tanya Mama.
Cipto mengambil alih troli. “Bukan, rencananya Ndari yang mau jemput. Tapi entah kemana itu anak.”
“Heh, itu masih Mbakmu lho.” Aku menyenggol bahunya.
“Mbak apaan, sukanya menghilang.”
Mama menoleh dari jalan tenangnya. “Maksudnya bagaimana itu?”
“Sudah sebulanan apa ya, Mbak Ndari jarang pulang, sukanya nginep di kantor.”
“Nginap kantor? Masih di kantor arsitek itu? banyak banget kerjaannya?” tanyaku.
“Katanya lagi dikejar deadline. Tapi masa engga ada liburnya coba?” Aku dan Ndari lahir hanya terpaut beberapa bulan. Aku kenal betul sepupuku itu. Dia pandai menyimpan rahasia. Apalagi rahasianya kali ini? terakhir, jaman masih kuliah, dia pernah punya rahasia punya pacar orang Thailand. Dan sampai sekarang, tak ada yang tahu kecuali aku. Itu pun karena tak sengaja memergokinya bersama pacarnya saat jalan di mall Jakarta.
“Eh, masa engga dikasih libur?” Aku makin penasaran. Ada apa gerangan.
“Serius deh, aku juga bingung. Pulang rumah paling buat tidur sebentar, mandi, makan terus berngkat lagi. Ibu sampai pusing sendiri.” Walau Cipto ini anak kedua, tapi ia sadar juga kalau dia laki-laki yang bertanggung jawab atas ibu dan kakak perempuannya, setelah Pakde Untung meninggal beberapa tahun lalu.
Sampai juga kami di area parkiran. Untungnya si Cipto memarkirkan mobil Jazz nya tak jauh-jauh amat. Jadi tak perlu terlalu jauh berjalan. Heran, ini bandara luas amat. Bikin pegel kaki.
>.<
Pagi ku diisi dengan kekagetan.
“Kak Praja?” Aku melotot melihat sosoknya di depanku. Berdiri dengan senyum seadanya dan tas ransel di pundak.
“Boleh numpang rebahan?”
“Siapa, Kan?” tanya Mama. Dan ikut terkaget dengan sosok Praja didepanku. “Lho, kok ada Praja? Masuk, masuk.” Mama membukakan pintu. Menyilakan duduk di sofa. Kami menempati rumah di samping rumah Bude Rah. Ini rumah Mbah dulunya, sejak Mbah berpulang, jadi sering kosong.
Praja duduk di kursi kayu. Mama dan aku ikut duduk di depannya.
“Maaf menganggu pagi-pagi, Tante.”
“Kenapa kesini? Ada acara ke Jogja?” tanya Mama tak sabar.
“Saya… “ Ia tampak ragu mengatakannya. “Saya memang sengaja kemari. Karena tak dapat pesawat semalam, saya naik kereta kemari. Baru sampai subuh tadi.”
“Ada apa, Kak?” tanyaku, ikut tak sabar. Lalu kulihat mata itu menatapku dalam.
“Boleh aku bilang, kalau ingin bertemu denganmu?”
Segera saja Mama pamit ke belakang. Aku tahu, pasti maksudnya mau memberi ruang untuk kami.
“Tak bisa menunggu sampai senin?” tanyaku. Aneh sekali. Padahal sudah dua minggu kami tak bertemu sejak membelikan mainan Hanna. Lalu tiba-tiba mau bertemu?
Praja menggaruk rambutnya. Nervous ya?
“Aku… sebenarnya ingin mengajakmu pergi jumat ini. tapi Redho bilang, kamu dan Mamamu mau ke Jogja.”
“Ajak pergi?” tanyaku, sengaja mengulang, agar lebih jelas.
“Iya, aku ingin mengajakmu ke Anyer.”
Ada apa dengannya?
“Bisa kan ajaknya minggu depan, Kak? Kenapa sampai menyusul kemari?” Aku masih belum menemukan titik terang dari kehadirannya. Yang sampai menyusul ratusan kilometer kemari.
“Aku… tak mau didahului,” katanya tercekat.
“Didahului?”
“Alfian,” jelasnya, dengan mata yang tak mau lepas dari wajahku.
“A, apa maksudnya, Kak?”
“Alfian bilang padaku, akan melamarmu minggu ini.”
Kata-katanya sungguh membuatku terkaget. Dia bercanda kan?
“Apa?” Saking kagetnya, aku sampai tidak punya kosakata lain untuk bertanya.
“Itu mengangguku, Aya.” Ada raut putus asa di wajahnya.
“A, apanya?” kataku terbata. Entah apa rupaku. Yang pasti, jantungku berdebar tak karuan. Entah berita mana yang membuat begini. Berita pertama atau kedua.
“Aya… aku tak mau bohong, aku tahu sejak lama kamu punya rasa padaku. Tapi maaf, selama ini aku hanya menganggapmu adik sahabatku saja. Sama sekali tak terpikirkan olehku, bisa begitu cemburu, saat melihatmu bersama Alfian.” Dia cemburu? “Aku pernah bertemu Alfian hanya untuk memastikan hubungan kalian. Maafkan aku. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan kebenarannya.”
Apa-apaan mereka, bertemu hanya membahas soal diriku, dibelakangku?
“Aku tak pernah bermimpi sekalipun, menyatakan cinta dengan kondisi tujuh jam tak tidur di kereta dan wajah lusuh begini. Ini tindakan paling absurd yang pernah aku lakukan, Aya. Tanpa berpikir dua kali, langsung menyusulmu. Karena aku tahu, kalau tak sekarang, mungkin aku tak akan pernah punya kesempatan lagi.” Wajahnya tertunduk. Rambutnya berantakan. Tangannya bertaut.
“Kenapa Kakak bilang begitu?” tanyaku.
“Alfian bilang… “
“Alfian sama sekali tak mengatakan apapun padaku.”
“Tapi aku tahu, dia serius denganmu. Aku… tak rela.”
Aku mendegus. Mungkin ini waktunya aku bicara panjang lebar soal perasaanku yang lampau.
“Sejak SMP, aku suka mencuri pandang saat Kakak main ke rumah. Aku suka diam-diam mendengarkan pembicaraan Kakak dengan Kak Redho. Singkatnya, aku mengagumi Kak Praja. Saat Kakak mulai kuliah, semakin jarang datang, hingga aku sedikit lupa. Aku mencoba berpacaran walau gagal. Mungkin dalam pikiranku hanya ada Kakak, hingga aku pun tak mengizinkan siapapun masuk dalam hatiku juga. Lalu Kakak kembali dari Inggris. Aku tak menyangka, masih ada debaran itu, saat bertemu Kakak di rumah Kak Redho. Kak Redho bercerita soal keadaan Kakak. Hatiku sakit, Kak. Aku seakan bisa mengerti sakit hatimu. Tapi kemudian masalah Bella hamil dan kamu ingin menikahinya. Itu membuatku down. Disaat itu, aku bertemu lagi dengan Alfian dan Rifa.”
Ia mendengarkan.
“Aku ingin tanya, apa maksudnya Kakak bekerja di lantai enam belas?”
Ia menatapku pasti. “Awalnya tak pernah terpikirkan soal ini, Aya. Aku hanya tahu, ada kamu di gedung yang sama. Tapi sekarang, agar bisa dekat denganmu.”
Degub itu datang.
Mama datang dengan dua gelas teh panas dan pisang goreng yang dipasti disediakan Bude Rah. Mempersilakan Praja, kemudian masuk lagi.
“Minum, Kak,” kataku.
“Aya, kamu tahu apa tujuanku kemari.”
“Aku tahu, Kak. Tapi lebih nyaman minum dulu. Pasti lelah kan di kereta tujuh jam tanpa tidur?” Aku berusaha tersenyum, setelah dihantam berbagai cerita pagi ini.
Ia membuka tutup gelas, hingga kepulan keluar. Jelas masih panas. Ia mundur lagi. Mengambil ponselnya di tas. “Redho berkali-kali telepon. Mungkin dikira aku kesasar.”
Ke Inggris saja engga kesasar, ini cuma Bantul lho.
“Kak Redho juga engga bilang apa-apa,” kataku.
Praja nyengir. “Aku yang melarangnya.”
“Soal Alfian juga?”
“Redho tidak tahu kalau soal Alfian.”
“Jadi, Kakak nge blok Alfian, ceritanya?”
Praja tersenyum kecil. “Yah bisa dibilang begitu.”
>.<