Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebelah Hati
MENU
About Us  

“Tanteeeee.” Rifa sudah menabrakku, sesaat setelah keluar dari mobil. Ia memelukku penuh sayang. Rambutnya kali ini digerai, hanya disematkan bando merah berpita, senada dengan rok terusannya.

“Sudah sembuh?” tanyaku, berusaha melihat wajahnya.

Kulihat senyumnya mengembang sekali. “Udah dongggg.”

“Eh, lihat siapa ini?” Mama yang keluar, pura-pura terkejut melihat Rifa, padahal tadi yang pertama menyuruhku keluar itu ya Mama.

“Nenekkkk,” seru Rifa. Sembari ber dadah-dadah.

“Tebak, Nenek punya apa buat Rifa?” Langsung saja Rifa berjalan cepat, mengikuti Mama yang masuk rumah.

“Maaf ya, Rifa berisik banget.” Alfian muncul, setelah memarkirkan mobil dan mengambil kantong plastik dari kursi belakang. Senada dengan Rifa, papanya ini juga berkaos merah dipadu dengan jeans hitam. Rambutnya di style berantakan. Lebih mirip anak kampus, ups.

“Engga apa.”

“Ini kado buat Hanna, juga bolu pandan.” Alfian mengangsurkan kantong plastik itu padaku.

“Wah makasih. Jadi ngerepotin,” kataku.

“Jadi, kemana kemarin sama Praja?” tanyanya pelan.

“Toko bayi di ujung jalan sana,” kataku sambil menunjuk kearah jalan depan. Agak ketar-ketir juga aku ditanyai soal apa yang terjadi kemarin. Padahal tak ada yang spesial. Setelah memilih stoller, langsung pulang.

“Ohh,” celetuk Alfian. “Kalian… “

“Ya?” Aku memandanginya yang seperti ingin bertanya banyak. 

“Dekat?” Matanya meminta jawaban pasti.

“Ya, karena mereka sahabat dekat dari SMA,” jawabku lugas. Memang tak ada yang terjadi, selain label, sahabat kakak.

Alfian manggut, tapi raut mukanya seakan tak percaya.

“Ayo masuk. Mama sudah bikin brownies dari pagi,” ajakku.

“Kanaya, aku serius menunggu jawabanmu.” Kata-katanya membuatku terdiam, membatalkan ayunan langkahku. Dadaku bergemuruh, tanpa komando. Tiba-tiba rasanya aku punya beban menggelayut dipundakku.

“Aku.. “

“Pikirkan dulu, aku tak akan memaksamu.” Ia tersenyum tulus. “Perasaanku tak akan berubah.” Kemudian ia berlalu mendahului masuk rumah.

 

>.<

 

“Jadi, mau cerita?” Baru juga duduk di kursiku, sudah ditodong pertanyaan oleh Sasi. Tidak biasanya ia datang pagian. Ia sudah menyatroni kubikelku dengan berbekal teh cammomile dan kue pukis. Tanpa ba bi bu, ia menyeret kursinya dan duduk manis disampingku. Tepat disampingku.

“Cerita apa?” tanyaku. Berusaha tak mengindahkan keberadaannya. Melanjutkan aktifitasku menyalakan pc dan mengelap meja dengan tisu basah.

After office hour, Friday night.” Aku membelalak, tanpa sadar. Tahu darimana dia? Aku sama sekali tak memberitahunya sama sekali. Ia malah tersenyum licik. “Kenapa? Engga mau berbagi cerita?”

“Ce, cerita apa?” Sial, kenapa aku pakai terbata coba?

“Jangan kaget gitu dong, aku engga sengaja liat ada yang nyamperin kamu di lobby.” Ya ampun. “Alfian kan?” Aku hampir lupa. Sasi pernah aku kenalkan dengan Alfian, saat mereka bertemu menjenguk Mba Rika di Rumah Sakit.

“Iya, dia menungguku di lobby. Rifa demam, jadi rewel.” Aku berusaha bicara senormal mungkin. Agar tak membuat Sasi lebih bertanya-tanya.

“Waduh, terus gimana?” tanyanya, sambil menyerutup teh dengan anggun.

“Aku ke rumahnya. Nemenin Rifa sampai tidur.” Dan tidur disana. Tak ada tanda-tanda curiga pada wajah Sasi.

“Trus? Baliknya dianterin kan?” tanyanya datar.

“Iya dong, aku engga bawa mobil kan.”

“Oh, begitu. Hanna udah pulang ya? Aku mau tengok ah nanti.” Kemudian obrolan sudah tak menyerempet apa yang terjadi minggu lalu lagi. Aku bisa bernafas lega sekarang. Tak ada Sasi yang menambah pusing perkara.

 

>.<

 

Jogja. Selalu menjadi kota favoritku. Inilah kota kampung halaman Mama. Tepatnya di Bantul. Jadi bisa dipastikan hampir pasti setiap tahun ada agenda di Jogja. Tahun ini pun sama. Ada pertemuan keluarga yang dijadwalkan pas hari libur yang mepet hari sabtu-minggu. Alhasil, kami berangkat hari kamis malam dari Jakarta.

Hanya aku dan Mama. Papa masih di Surabaya, menyusul besok. Kak Redho dan Mba Rika absen, karena ada Hanna yang masih terlalu kecil untuk perjalanan jauh. Setelah berbagai wejangan diberikan Mama pada Mba Rika, akhirnya jam tujuh malam kami diantar Kak Redho ke Bandara. Pesawat jam 20.20. lumayan mepetnya, apalagi ditambahi macetnya Jakarta malam long weekend

Ditemani gerutuan Mama, sampai juga kami di Bandara. Segera check in dan mengurus bagasi. Jangan ditanya apa saja bawaannya. Mama paling suka beri oleh-oleh. Walau dari Jakarta sendiri tak ada oleh-oleh khas, tapi Mama tetap membawakan berbagai makanan.

Bawaanku hanya koper kabin dan tas tangan. Sementara Mama, satu kardus besar, satu kardus sedang dan koper kabin. Entah apa saja isinya.

“Ini.” Mama mengangsurkan satu kantong kertas padaku. Mereknya resto cepat saji. Aku bahkan tak tahu Mama menghilang, saat mengurus bagasi. Kak Redho sudah pulang, setelah nge drop kami. ”Makan dulu. Sejak pulang, belum sempat makan apa-apa kan?”

Memang betul. Aku tak sempat apa-apa. Sepulang tadi jam lima, langsung mandi dan berberes. Untung sudah packing kemarin.

“Makasi, Ma.” Aku duduk disamping Mama. Membuka burger yang nampak menggiurkan. Mama tampak sibuk dengan ponselnya.

“Papamu dapat pesawat jam delapan besok. Bisa jemput kan?” tanya Mama.

“Pakai mobil siapa? Ndari?” tanyaku. Menyebut salah satu nama sepupuku. Anak dari bude Rah. Kakak tertua Mama, yang rumahnya bakal jadi tempat kami menginap.

“Iya, seadanya mobil. Bisa Ndari, bisa Cipto.”

Cipto itu anak kedua bude, yang aneh bin ajaib. Namanya boleh jawani, tapi anak rock and roll. Baru duduk di semester enam, tapi sudah kenal dengan piercing hidung, tato lengan bahkan rambut pun modelnya entahlah.      

“Iya, Ma.” Aku melirik jam, masih ada sepuluh menit lagi, sebelum boarding. Kugigit burger dengan cepat.

“Terus gimana?”

“Gimana apanya? Kan tergantung adanya mobil, Ma,” jawabku, disela kunyahan.

Mama melirikku. “Bukan itu yang Mama tanyain.”

Aku meminum air mineral yang ada di tas, sebelum menjawab. “Terus apa dong?”

“Kamu jadi pilih yang mana, Kan?”

“Pilih apa, Ma?”

“Praja atau Alfian?”

Ya ampun. Kenapa bisa itu yang Mama tanyakan?

“Mama tahu, kamu bingung kan? Sampai Rika menyarankan shalat istikharah kan?” Nah, pasti Mba Rika nih yang bilang.

“Iya, Ma. Aku belum lakuin. Masih bingung juga sama hatiku,” jawabku pasrah. Aku masih panas dingin didepan dua manusia itu.

Mama menepuk tanganku. “Yang pelan aja. Engga usah terburu-buru. Mama dukung apapun keputusanmu.”

 

>.<

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
530      219     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Perjalanan yang Takkan Usai
345      289     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
That's Why He My Man
820      562     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
Imperfect Rotation
155      136     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Hello, Me (30)
19285      942     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Warisan Tak Ternilai
483      177     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Manusia Air Mata
977      596     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Fusion Taste
139      126     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Bunga Hortensia
1612      70     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Surat yang Tak Kunjung Usai
659      444     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...