Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Letter: Mission To Get You
MENU
About Us  

Beberapa hari terakhir, Sabrina jadi sering mengantar makan siang untuk bapaknya yang sedang bekerja di kebun. Biasanya Sabrina ke kebun jika sedang mood saja.

Di kebun, Bapak sedang mengurus sebidang lahan kecil di ujung desa Argasari, jadi Sabrina harus berjalan cukup jauh melewati deretan sawah, tanaman sayur, pohon pisang, kebun sayur milik Pak Acep, dan beberapa gubuk kecil tempat para petani berteduh.

Kebun milik Pak Acep terhampar luas di sisi selatan desa. Warna hijau menyelimuti tiap sudutnya, berbatasan langsung dengan hutan kecil yang tampak teduh. 

Tepat di sampingnya, bapak Sabrina mengurus kebun milik kakak iparnya yang tak sebesar kebun pak Acep, tapi sama suburnya.

Sejak hari pertama bertemu dengan anak Pak Acep—laki-laki muda berkaos putih dan topi caping besar—Sabrina merasa ada yang berbeda.

Bukan perasaan meletup-letup ala drama Korea yang sering ia tonton, melainkan rasa penasaran yang tumbuh perlahan, seperti tunas kecil di awal musim hujan.

Tiap kali lewat kebun itu, matanya otomatis mencari sosok laki-laki tersebut.

Dan benar saja. Ia memang sering ada di sana. Kadang sedang menyiram tanaman, kadang memanggul karung pupuk, kadang duduk mengikat bibit.

Sabrina selalu pura-pura tak peduli, tapi langkahnya melambat tiap melewati kebun utama. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Apalagi hari itu.

Hari yang seperti keberuntungan terselubung.

Karena si laki-laki itu—anak Pak Acep yang namanya entah kenapa sulit diingat oleh Sabrina—melepas capingnya, mengusap keringat.

Sabrina terpana.

Rambutnya agak panjang, sedikit berantakan tapi justru terlihat keren. Wajahnya... seperti baru keluar dari drama sageuk. Kulit sawo matang, rahang tegas, dan tatapan tajam yang meski hanya sesaat menghadap matahari, membuat Sabrina nyaris tersandung akar pohon.

Berlian kayak begini kok bisa lolos dari radar para gadis desa?

Sabrina melanjutkan langkahnya dengan pipi memerah, menahan geli dalam hati setiap mengingat ia melihat dengan jelas wajah pria itu.

 

---

 

Sesampainya di rumah, matahari sudah condong ke barat. Ibu sedang mengumpulkan pakaian yang sudah dijemur di halaman depan.

"Dari kebun?" tanya Ibu tanpa menoleh.

"Iya. Bapak nitip salam, katanya nanti sore baru pulang. Mau nyambungin pagar," jawab Sabrina, meletakkan wadah bekal di atas kursi bambu.

Ibu mengangguk sambil memeras kain. "Besok kamu gak usah ke kebun dulu. Bantu Ibu di lapangan balai desa, ya. Kita mau bersih-bersih buat turnamen antar desa."

"Oh... oke, Bu." Sabrina mengambil air dari kendi. "Eh, Bu."

"Apa?"

"Anaknya Pak Acep, namanya siapa ya?"

Ibu langsung menoleh cepat. "Lho, kamu nanya-nanya anak orang? Kenapa?"

"Gak papa... cuma penasaran aja. Sering lihat dia di kebun."

Ibu nyengir, pura-pura serius. "Namanya Rizwan. Tapi jangan macem-macem. Anak itu pendiem, jarang ngobrol. Gak sembarang bisa diajak akrab."

Sabrina mengangguk pelan, pura-pura santai, padahal dalam hati dia bersorak. Nama itu... Rizwan. Seketika ia ingat, Pak Acep pernah menyebutnya saat memperkenalkan mereka.

 

---

 

Keesokan paginya, aroma bawang goreng menyebar di dapur. Sabrina sudah bersiap sejak matahari baru saja muncul dari balik bukit, membantu ibunya memotong tahu dan menggoreng tempe.

"Kamu nanti bawa sapu lidi dari belakang, ya," kata Ibu sambil membungkus gorengan.

"Siap, Bu." Sabrina nyengir. "Pasti ibu bawa rombongan ibu-ibu, ya?"

"Ya iyalah! Ini acara besar. Kalau bukan ibu-ibu siapa lagi yang ngatur? Mau berharap sama bapak-bapak yang cuma bisa nyuruh?"

Sabrina tertawa. "Ibu kalau udah ngumpul sama Bu Emi, Bu Teti, sama Bu Nunung bisa kayak pasar."

"Pasar tapi beres!" sahut Ibu dengan bangga.

 

---

 

Tak lama kemudian, rombongan kecil bergerak menuju lapangan. Sabrina membawa sapu, ember, dan segenggam harapan untuk bisa melihat Rizwan lagi.

Baru sampai di lapangan, kerempongan sudah terasa.

"Bu Teti, embernya jangan ditaroh di tengah, nyusahin orang jalan!" teriak Bu Emi.

"Eh, itu sapu kok jadi rebutan? Sapu ada lima, ngapain sih!" sambung Bu Nunung.

"Ini garis lapangannya miring! Siapa yang ngecat ini? Tangan kamu gemeter, apa gimana?" protes Bu Emi sambil menyoraki Pak ucup.

Sabrina nyaris tertawa melihat ibu-ibu yang seperti sedang rapat DPR.

Dia memilih menyapu sisi lapangan, jauh dari sumber keributan, dan seperti yang dia harapkan... Rizwan ada di sana.

Tapi belum sempat Sabrina terlalu larut memperhatikan Rizwan, keramaian makin menjadi. Bu Amah datang dengan celemek masih menempel di pinggang, sambil menyeret kursi plastik warna hijau.

"Bu Euis, Bu Entin! Sini bantuin angkat galon! Tadi saya udah dorong dari warung, tinggal dinaikin aja ke meja," serunya sambil ngos-ngosan.

Bu Euis, yang dari tadi sibuk mengatur posisi bendera kecil, menoleh cepat. "Galonnya dua? Hadeuh, saya mah encok, Bu Amah. Takut keseleo."

"Udah, sini saya angkatin," potong Bu Entin yang bertubuh besar dan bersuara cempreng. "Tapi abis ini saya gak mau disuruh bersih-bersih lagi ya, saya bagian dokumentasi aja."

Bu Amah melotot. "Dokumentasi apaan? HP kamu aja sering ngilang sinyal! Udah, jangan alasan. Semua harus kerja!"

Tiba-tiba terdengar suara ledakan kecil dari arah sound system. "Duh! Siapa yang nyolokin kabel ini?!"

"Ih, jangan liat saya ya!" teriak Bu Euis sambil mengangkat tangan. "Saya tadi cuma benerin colokan kipas!"

"Walah, ini baru hari persiapan aja udah kayak begini. Besok pas hari H bisa bubar acara kalau ibu-ibu pada ribut terus," celetuk Bu Teti sambil menyeka keringat dengan ujung jilbabnya.

Semua tertawa lepas. Tapi tak lama, Bu Amah kembali menegaskan, "Udah-udah, ayo cepet beresin. Nanti sore ada rapat lanjutan di balai desa!"

Sabrina yang mendengar semua itu hanya bisa tersenyum geli. Ia menunduk, kembali menyapu sambil mencuri pandang ke arah Rizwan yang kini sedang mengecat garis lapangan. Kaos abu-abu dan celana panjang gelap melekat di tubuhnya. Simpel, tapi entah kenapa tampak seperti berlian di antara tumpukan jerami. Gerakannya tenang, tatapannya fokus, dan sekali bicara, semua memperhatikan.

Sabrina terus memperhatikannya tanpa peduli keramaian sekitar.

Suara ibu-ibu itu seperti latar yang ramai namun hangat—seperti orkestra unik dari desa yang penuh warna.

 

---

 

Sore menjelang, langit berubah muram. Awan menggantung rendah, dan hujan turun mendadak, seperti jebakan takdir.

Semua orang berlarian berteduh—ke balai desa, ke warung, ke rumah terdekat. Lapangan mendadak kosong, menyisakan genangan air dan suara-suara panik para bapak yang masih menggulung selang dan menutup kaleng cat.

Sabrina ikut berteduh, tapi saat hujan mulai reda dan udara segar menusuk hidung, ia melangkah keluar. Daun-daun berembun, aroma tanah basah meresap dalam napasnya.

Dan saat itulah ia melihat Rizwan.

Berdiri di tengah lapangan, membereskan peralatannya. Sabrina tak tahu apa yang mendorong langkahnya—nekat, mungkin. Bodoh, mungkin. Atau...

Mungkin cinta pertama memang membuat orang bertingkah konyol.

Langkahnya cepat, sandal jepitnya mencipratkan air. Ia berdiri di depan Rizwan, mengulurkan tangan, dan berkata tanpa ragu.

"Aku suka sama kamu. Gimana kalau kita pacaran? Oke?"

Rizwan hanya menatap sebentar. Tajam, tapi tenang.

"Punten, Teh. Tapi saya gak kenal dan gak suka sama Teteh," jawabnya datar.

Lalu ia pergi. Begitu saja.

Tak ada musik sedih, tak ada efek slow motion. Hanya suara air menetes dari ujung daun dan detak jantung Sabrina yang menggema.

"Ah, shit," gumamnya.

Tapi bukan Sabrina Ayla namanya kalau menyerah di langkah pertama.

Kalau cinta butuh usaha, maka dia akan berjuang sekuat tenaga.

“Liat aja... nanti lo yang bakal suka gue. Ngejar-ngejar gue!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Niscala
350      235     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
Warisan Tak Ternilai
483      177     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Cinta yang Berteduh di Balik Senja
1093      710     2     
Fantasy
Di balik kabut emas Lembah Fengliu tempat senja selalu datang lebih pelan dari tempat lain dua orang duduk bersisian, seolah dunia lupa bahwa mereka berasal dari dua keluarga yang saling membenci sejak tujuh generasi silam. Aurelia Virelle, putri dari Klan Angin Selatan, dikenal lembut dan berkelas. Kecuali saat dia lapar. Di saat-saat seperti itu, semua aura anggun luntur jadi suara perut ker...
Behind Friendship
4592      1328     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
Arloji Antik
399      259     2     
Short Story
"Kalau langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya" Tubuh ini hanya raga yang haus akan pengertian tentang perasaan kehidupan. Apa itu bahagia, sedih, lucu. yang aku ingat hanya dentingan jam dan malam yang gelap.
Something about Destiny
161      137     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
IKAN HIU MAKAN BADAK! I LOVE YOU MENDADAK!
89      68     0     
Romance
Blurb : Arisha Cassandra, 25 tahun. Baru 3 bulan bekerja sebagai sekretaris, berjalan lancar. Anggap saja begitu.  Setiap pekerjaan, ia lakukan dengan sepenuh hati dan baik (bisa dibilang begitu).  Kevin Mahendra (34) sang bos, selalu baik kepadanya (walau terlihat seperti dipaksakan). Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia masih mempertahankan Arisha, sekretarisnya? Padahal, Arisha sa...
Dua Warna
647      445     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Sepotong Hati Untuk Eldara
1617      766     7     
Romance
Masalah keluarga membuat Dara seperti memiliki kepribadian yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, belum lagi aib besar dan rasa traumanya yang membuatnya takut dengan kata 'jatuh cinta' karena dari kata awalnya saja 'jatuh' menurutnya tidak ada yang indah dari dua kata 'jatuh cinta itu' Eldara Klarisa, mungkin semua orang percaya kalo Eldara Klarisa adalah anak yang paling bahagia dan ...