Lagu Always Somewhere dari Scorpion mengalun memenuhi kafe itu. Monik tak berbicara sepatah kata pun. Dia hanya diam memandangi cangkir berisi cokelat yang telah menjadi dingin. Hatinya campur aduk. Dia menyadari kini bahwa pekerjaan menjadi seorang konselor pacaran dan pernikahan benar-benar mengaduk-aduk hatinya.
Monik menarik napas dalam-dalam, seolah-olah ada sesuatu yang sangat mengganjal di hatinya. Setelah trauma masa kecil yang begitu pahit karena ditinggalkan sang ayah, kini dia harus menerima kenyataan bahwa kliennya menjalani sebuah hubungan beracun yang menakutkan.
Jika sebelumnya dia mengira semua hubungan toxic itu karena seorang lelaki, sekarang dia justru memiliki pandangan baru. Ternyata gaslighting dan manipulatif itu tak hanya dilakukan oleh pria, tetapi juga wanita. Juga … tiba-tiba dirinya teringat sebuah pesan yang pernah dikatakan oleh sang ibu bahwa tidak mudah melepaskan sebuah hubungan toxic. Bukan karena kenyamanan, tetapi karena ketidakmmampuan untuk melepaskan hubungan itu.
Monik menyeruput cokelat yang sejak tadi dipesannya hingga tandas. Dalam pikirannya tersimpan berjuta-juta kemungkinan jika dirinya menikah. Seharusnya di usia yang sudah menginjak kepala tiga, tak jarang orang-orang menyuruhnya menikah.
Ingatan Monik tiba-tiba tertuju kepada hari-hari yang telah lalu—lebih tepatnya—sebulan yang lalu. Semua bermula ketika pada suatu pagi dia pergi berbelanja pada seorang tukang sayur yang berhenti di depan rumahnya. Di sana sudah banyak wanita-wanita paruh baya seusia ibunya dan juga asisten-asisten rumah tangga berkumpul mengelilingi tukang sayur itu.
Awalnya, tidak ada percakapan berarti yang didengarnya. Semua berbelanja seperti biasa. Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara celetukan yang sedikit mengganggu pendengarannya. Celetukan itu mempertanyakan mengapa di usia yang sudah kepala tiga, Monik tak lekas memutuskan untuk menikah. Saat itu, Monik hanya menjawab bahwa jodoh ada di tangan Tuhan dan dia belum menemukan jodoh.
Seakan-akan memvalidasi perkataan ibu yang berkomentar, ibu yang lain ikut menyahut. Mereka menyayangkan keputusan Monik yang tidak menikah meski usia sudah tiga puluh tahun.
“Duh, padahal nikah itu enak, lo. Masih muda, kok, nggak mau nikah.”
“Iya, ih. Padahal mbaknya cantik, duitnya banyak, kok, masih sendiri?”
“Nggak usah terlalu pilih-pilih lah, Mbak, nanti jadi perawan tua, loh.”
Kata-kata itu terdengar menyakitkan bagi Monik. Jika bisa memilih, dia akan memilih untuk menikah dan hidup bahagia seperti di film-film. Akan tetapi, tidak semudah itu. Pengalaman dan kisah traumatis di masa lalu membuatnya tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki mana pun sebelum akhirnya dia bertemu dengan pasangan Arini dan Daniel.
Jam digital yang ada di dinding sudah menunjukkan pukul 18.00. Itu artinya, Monik sudah satu setengah jam berada di kafe yang menjadi langganannya. Akan tetapi, baru saja dia bermaksud akan pulang, seseorang menyapanya.
“Hai, kamu cewek yang waktu itu kejedot pintu itu, kan?” tanya laki-laki bertubuh tinggi yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Monik.
“Eh, iya. Kamu emm … Rey?” Kali ini Monik bertanya sedikit ragu-ragu.
“Ya. Ternyata masih ingat. Aku kira sudah lupa. Kamu lagi nungguin orang?”
“Enggak.”
“Sudah mau pulang?”
“Ya. Aku sudah dari tadi di sini, Rey.”
“Sekarang biar kutraktir kamu.”
“Emm … nggak usah. Makasih.”
“Ayolah ….”
Monik bukannya ingin menolak tawaran pria tampan bak oppa Korea itu. Namun, dia tidak ingin berurusan dengan Amora. Sejak dirinya terlepas dari perempuan yang disebutnya sebagai ‘nenek sihir’ itu, dia tidak ingin lagi ada hubungan apa pun yang tercipta.
“Maaf, Rey, aku ada urusan lain.”
Monik menyoja. Setelah itu, dia berbalik badan, lalu berjalan dengan terburu-buru—sesekali sedikit berlari—untuk menghindari Rey.
**
Asap-asap kendaraan bermotor memenuhi jalan. Sesekali suara klakson berbunyi nyaring membelah jalanan. Di beberapa bagian, anak-anak jalanan dengan para peminta-minta menjalankan aksinya. Sesekali, Monik mengangkat tangannya untuk menolak para peminta-minta yang tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobilnya.
Sepanjang lampu lalu lintas berwarna merah, tiba-tiba ketakutan menjalani sebuah hubungan jadi begitu mengganggu. Di satu sisi, dia ingin merasakan bagaimana klien-kliennya menjalani sebuah hubungan agar yang diucapkannya bukan sekadar teori, tetapi sebuah kenyataan yang sudah dijalaninya. Akan tetapi, mengingat trauma yang pernah diterimanya di masa lalu yang melihat bagaimana sang ibu menjadi orang tua tunggal, membuatnya tidak ingin berhubungan dengan pria mana pun.
Monik sedikit merasa putus asa dengan perasaannya sendiri. Selama satu tahun menjalankan profesi sebagai konselor pacaran dan pernikahan, dia tidak pernah lupa masalah-masalah apa saja yang pernah dialami oleh sepuluh klien yang diurusnya.
Dulu—satu tahun yang lalu—saat Monik baru menapaki dunia konselor, berulangkali dirinya meyakinkan diri bahwa semua bisa dilakukan. Perlahan dia melangkah ke sebuah kafe yang hingga kini menjadi tempatnya menerima klien. Monik memang sengaja menunjuk sebuah tempat di luar rumah karena merasa lebih nyaman daripada harus mengganggu privasinya. Itulah sebabnya, dia memilih sebuah kafe bernuansa kuno yang terletak di jalanan utama untuk bertemu dengan klien.
Saat itu, dia memesan secangkir cokelat panas, lalu menunggu sang klien hingga bermenit-menit lamanya. Hingga enam puluh menit berlalu, klien itu tak kunjung datang. Monik meremas-remas tangannya, kakinya bergoyang-goyang seperti orang yang sedang menjahit. Dia gugup sekaligus cemas aka napa yang dikatakannya nanti.
Sesekali dia menghela napas. Namun, itu tak berarti apa-apa. Monik justru makin gugup dan sangat ingin meninggalkan tempat itu jika saja seorang pria tidak menyapanya tiba-tiba.
“Hai,” sapa pria berpostur tinggi itu.
“Oh, ya. Anda ….”
“Ya, saya Danish, seorang detektif.”
“Ah, ya. Selamat pagi, Pak Danish.”
“Panggil saja saya Danish. Saya belum menikah.”
“Baik. Apa yang bisa saya bantu untuk Anda?”
“Saya ingin cerita tentang hubungan saya dan kekasih saya.”
“Silakan.”
“Jadi, saya punya pacar yang berusia jauh lebih muda.”
“Maaf sebelumnya, tapi … berapa usia pacar Anda dan Anda sendiri?”
“Pacar saya usianya baru sembilan belas tahun, sedangkan saya sudah tiga puluh empat tahun.”
“Lalu?”
“Selama jalan sama dia, saya merasa tidak nyaman.”
“Apa yang membuat Anda tidak nyaman?”
“Jadi begini, Bu … emm … Nona Monik, entah mungkin karena dia terlalu muda dan saya yang terlalu tua apa gimana, pacar saya nggak mau saya ajak nikah. Dia masih sangat suka ke mana-mana sama teman-temannya. Saya mencoba untuk gabung ke circle dia, tetapi tetap nggak cocok. Teman-temannya itu … entahlah, saya nggak tahu apa yang bisa saya gambarkan.”
“Anda harus menggambarkannya, Danish.”
“Teman-temannya itu negative vibes semua. Rata-rata masuk dalam kelompok-kelompok atau geng. Pembicaraan mereka juga nggak jauh-jauh dari pria. Bahkan, pacar saya ini juga nggak sungkan untuk memeluk lelaki lain di hadapan saya.”
“Hah? Are you serious?"
***
Pembukaan yang menarik, semangat Bundo 😍
Comment on chapter KAFE