Langit sudah berganti warna. Matahari berangsur pergi ke sebelah Barat untuk digantikan bulan. Sudah hampir petang, tetapi Monik masih belum sampai di rumah. Tubuh dan pikirannya terasa amat lelah. Ketakutan-ketakutan yang selama ini dirasakannya seringkali membuat kakinya tiba-tiba gemetar seperti orang yang menjahit.
Dia cemas, bimbang, sekaligus tidak peduli. Namun, dia juga tidak tahu mengapa perasaan itu muncul dan seringkali mengganggu. Monik sangat ingin mengubahnya, tetapi tak mampu. Lidah-lidah yang selalu menjulur untuk mengejeknya sebagai perawan tua seringkali membuat pikirannya tak stabil. Satu-satunya cara yang dapat ditempuhnya sekarang adalah membuat minuman cokelat panas dengan mendengarkan lagu-lagu instrumental.
“Tunggu … sabar Monik, sebentar lagi sampai.” Begitulah yang dilakukan Monik untuk menghibur dirinya sendiri di tengah kemacetan lalu lintas yang kini menderanya. Rasa bosan kembali menusuk-nusuk setiap sendi tubuhnya, tetapi dia bertekad untuk lekas sampai.
Hingga waktu telah menunjukkan pukul 20.00, kendaraan roda empat Monik telah memasuki halaman rumah. Akan tetapi, bukan sambutan dari sang ibu yang didengarnya, melainkan dari tetangga sebelah, seorang ibu berusia lebih tua dari ibunya.
“Kok, baru pulang, Mbak Monik?” tanya tetangga yang terkenal memiliki lidah super tajam paling terkenal di kampungnya.
“Iya. Mari.”
Monik buru-buru memasuki rumah. Dia tidak ingin berurusan lebih lama dengan perempuan yang anaknya menikah di usia muda itu. Dia tahu bahwa selain penghakiman, dia akan menerima serangkaian cercaan serta kalimat-kalimat menyebalkan untuk disbanding-bandingkan.
“Malem, Bu. Ibu di mana?” tanya Monik ketika mendapati rumah dalam keadaan sepi.
Tidak ada jawaban. Hanya suara dari Moria, si anjing berusia dua tahun milik Monik yang terdengar. Anjing itu berlari menyambut Monik dan terus menerus menggonggong. Seolah-olah memberikan sebuah petunjuk tentang suatu peristiwa.
“Ada apa, Mor?”
Moria menarik-narik baju Monik, memberikan pertanda bahwa Monik harus sesegera mungkin mengikutinya. Monik berdiri, dia berjalan mengikuti Moria yang telah berada di depannya. Anjing itu kemudian berhenti tepat di depan kamar Rina, ibu Monik.
Detak jantung Monik berdebar kencang. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres terhadap ibunya. Bagaimanapun, Moria tidak pernah melakukan hal aneh seperti itu ketika dia pulang dari bekerja. Biasanya Moria akan berlari menyambutnya dengan gonggongan-gonggongan keras dan meminta dipeluk. Akan tetapi, kali ini tidak. Gonggongan Moria seolah-olah ingin menunjukkan bahwa telah terjadi sesuatu.
Tangan Monik gemetar, tubuhnya menegang saat memegang gagang pintu. Perlahan, dibukanya pintu itu. Seketika dia berlari menuju ke arah sang ibu yang terbaring dengan wajah pucat dan tangan yang telah lemas. Berulangkali Monik menggoyang-goyang tubuh sang ibu, tetapi nihil. Ibunya tetap tidak bergerak.
Dengan kepanikan luar biasa, Monik segera menelepon rumah sakit agar segera mengirimkan ambulans. Tak butuh waktu lama bagi Monik untuk menunggu. Dua belas menit setelah rumah sakit ditelepon, ambulans datang. Tim medis segera memasukkan ibu Monik ke dalam kendaraan berwarna putih itu. Sementara tetangga-tetangga Monik berhamburan keluar karena mendengar bunyi sirine.
“Monik, Bu Rina kenapa?” tanya salah satu tetangga.
“Ibu sakit,” jawab Monik, lalu buru-buru memasuki ambulans.
Monik masih mendengar perkataan-perkataan tidak menyenangkan dari mulut-mulut para tetangga.
“Kasihan, ya. Gimana kalau ibunya mati, tapi dia belum nikah?”
“Lagian, udah umur segitu belum nikah.”
“Apa nanti nggak nyesel nggak sempet kasih anak?”
Suara-suara sumbang itu sangat melukai perasaan Monik. Di sisi lain, dia juga dipenuhi oleh perasaan bersalah karena tak kunjung menikah. Namun, tiba-tiba perkataan ibunya cukup membuatnya tersenyum. Setiap kali dia mengeluh tentang perkataan-perkataan tetangga, sang ibu selalu mengatakan untuk tidak buru-buru menikah karena pernikahan itu bukan hanya tentang kebutuhan seks, tetapi juga tentang mempersatukan dua orang yang berbeda karakter serta didikan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.01 ketika mereka sampai di rumah sakit. Dengan segera, ibu Monik dibawa ke UGD untuk mendapatkan pertolongan pertama. Monik tak bisa mengatakan apa pun.
Dia hanya terus menerus memegang tangan sang ibu untuk memberikan kekuatan. Namun, makin dia memegang erat tangan yang sudah berkerut itu, makin membuatnya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan itu makin lama makin menjadi-jadi tatkala sang ibu tiba-tiba membuka mata, seolah-olah ingin menyampaikan pesan. Dengan terburu-buru, Monik mendekatkan telinganya.
“Mo-Monik ….”
Setelah meengucapkan itu, elektro kerdiograf membentuk satu garis lurus. Tim medis segera melakukan CPR, tetapi tak berhasil. Tepat pukul 21.15, Rina, ibu Monik dinyatakan meninggal dunia.
Monik tak langsung berteriak histeris. Dia justru diam, menahan rasa sesak di dalam dada. Pandangannya tak kunjung lepas dari sang ibu dan tangannya masih menggenggam tangan yang dulu memberinya kehidupan.
Monik patah hati, tetapi tak dapat mengungkapkan perasaan itu dengan benar. Sejak kecil sang ibu melatihnya menjadi seorang perempuan yang kuat. Tidak pernah sedikit pun dia menemukan ibunya menangis meski tetangga-tetangga mencibir dan saudara-saudara dari pihak ayah mengejek. Sang ibu juga tidak pernah sedikit pun mengeluh meski ada alasan untuk itu.
Pertemuannya dengan para klien bukan karena dirinya memiliki empat, tetapi karena membaca teori-teori dan tulisan-tulisan yang dianggapnya valid serta relevan dengan kehidupan percintaan di masa kini. Sekarang, setelah dirinya kehilangan sang ibu pun, dia bahkan tidak bisa menangis meski ingin.
Jarum jam terus bergerak. Monik duduk sebentar sambil terus melihat wajah dan tubuh sang ibu yang raga dan jiwanya sudah tidak ada lagi. Di tengah kepedihan hatinya, secara tidak sengaja, dia melihat sesuatu yang aneh. Pada kepala bagian kanan Rina, sang ibu, Monik melihat rambut yang mernggerumbul secara tidak wajar.
Dia tiba-tiba teringat saat kepalanya terkena pecahan kaca dan harus menerima beberapa jahitan. Rambutnya sama dengan milik sang ibu sekarang. Dengan detak jantung yang makin cepat, Monik memajukan wajahnya. Dengan teliti dia melihat apakah ada bekas luka menganga yang membuat rambut ibunya seperti itu.
Benar saja, Monik menemukannya. Dia memejam, mencoba mengingat setiap detail yang ditemukannya di rumah dan dia menyadari bahwa sprai berwarna-warni yang telah diganti oleh ibunya dua hari yang lalu telah diganti. Meski demikian, Monik masih merasa curiga. Di tengah kekalutannya, dia membuka baju sang ibu perlahan-lahan.
Tubuhnya gemetar dan kepalanya seketika merasa pening ketika dia melihat ada bekas cakaran yang masih baru.
“I-ibu … Ibu … Ibu ….”
Dadanya kini berdebar-debar lebih cepat dari biasanya. Sekuat tenaga dia menahan tangis, tetapi tidak bisa. Luka-luka dalam tubuh ibunya membuatnya tak lagi dapat menahan perasaan sedih yang bercampur amarah. Berulangkali dia mencoba mengusap air mata yang turun, nyatanya tidak bisa. Mungkin dia tidak akan begitu terpukul jika saja sang ibu meninggal karena sakit yang telah diderita selama bertahun-tahun. Akan tetapi, jika sesuatu terjadi lebih buruk dari itu, dia tidak akan tinggal diam.
***
Pembukaan yang menarik, semangat Bundo 😍
Comment on chapter KAFE