"Bib jujur deh," suara Same di sela waktu makan malam keluarga. "Bibun gak selingkuh kan? Tadi Same liat Bibun sama cowok lain di mall"
Terbatuk-batuk, aku bergegas meneguk segelas air minum. Plong! Tidak ada lagi makanan menyangkut di tenggorokan.
Menarik napas dalam lalu bersiap cerita. Bahwasanya Same telah mengejekku, pacar saja tidak punya, masa bisa selingkuh. Saka pacar Chelsea, bukan milikku.
"Duh, Bib kasihan Papap. Jauh-jauh merantau cari nafkah buat kita tapi Bibun malah main belakang." katanya. "Oke gak papa kalo dua minggu ini Bibun nolak nemenin Same nge-mall, tapi bukan untuk selingkuh gitu dong!"
Aku bungkam seribu bahasa. Selama ini yang bertanggung jawab atas nafkahku dan Same ya ayah sama Ibu. Saka tidak ada di dalamnya, tidak menyumbang sepeser pun.
Alah bagaimana mau memberi nafkah? Dia bahkan berdiam diri, menutup rapat pengakuan. Baru sekarang dia jujur. Sangat amat telat.
Dan gue masih kesel soal itu!
Kembali ke Samella, dia enggan meneruskan makan malamnya. Tablet yang ia pentingkan hanya sebatas untuk bermain game nampaknya mulai dialih fungsikan. Ia menghubungi seseorang, terbukti dari tabletnya yang ia tempelkan ke kuping.
"Same minta dibeliin kartu perdana. Dia langsung isi pulsa katanya buat telpon Saka." jelas Ibu selepas kepergian Same.
"Biar aku samperin Same." kataku penasaran pada apa yang akan diperbincangkan Same dengan seseorang yang dihubunginya.
"Eh tunggu dulu!" cegah Ibu mendudukan badanku lagi. "Bener tadi sama cowok? Siapa? Jangan bilang emang kamu selingkuh!"
"Bi Narsih yang tadi nemenin Same makanya ibu gak tahu." sambungnya lagi.
"Tadi Saka, Bu. Dia ngajak beli perhiasan buat mas kawin." jujurku.
"Loh bukannya tadi ngurus baju pernikahan?" kernyit ayah.
"Dua-duanya." singkatku.
"Maafin ayah ya Ra. Kamu masih muda sebenarnya." lirih ayah. "Andai,,"
"Camill yang harusnya menikah. Usia dia kalau masih ada lebih ideal untuk menikah dibanding Kara." potong ibunya
Jika sudah ada hilir-hilir lirih menepi, selanjutnya pasti ada bau masa lampau menguarkan kekelaman. Aku harus kabur, sedang tidak ingin menyelami.
Kakiku perlahan berderap, satu dua dan tiga berhati-hati menapaki arena kamar Same, pintunya sedikit terbuka.
Dia terdengar bercerita panjang lebar mengenaiku. Ada isak tangis tatkala menyeruakan kata selingkuh, hubungan gelap dan pengkhianatan.
Siapa yang dia telpon? Saka? Sayangnya telingaku normal, tidak bisa menjangkau frekuensi lebih tajam ala-ala telinga kucing. Aku sebatas bisa mendengar Same saja, lawannya tidak.
"Nanti sepulang sekolah temenin Same ke cafe ya. Same ceritain semuanya lebih rinci." ujarnya. "Udah dulu ya, see you!"
"Bibun!" seruak Same.
Mataku mengerjap, ketahuan nguping deh. "Siapa tadi?"
"Temen Bib." jawabnya jutek.
"Ya siapa? Rena, Kiara, Radit atau Faras?" tanyaku mengabsen daftar teman Same yang ku ingat.
"Bukan urusan Bibun." kesalnya.
"Siapa Same? Kalo kamu diculik gimana? Yang jelas biar gak khawatir!" seruku ikut duduk di samping ranjangnya.
"Radit Bib." singkatnya membuang muka.
Entah, hasratku berkata lain tidak percaya pada ucapannya. "Bukan mau ketemu Saka kan? Awas aja kalo iya! Dia harus izin dulu, enak aja!"
Samella tersetrum semangat, dia menggebu mempertanyakan. "Papap udah di Jakarta? Kok Bibun ngomongnya gitu sih?"
Keceplosan telah menjerumuskanku. Terbata aku menjawab, bingung mau beralasan apa. Samella tahunya Saka bekerja di luar negeri.
Baru terpikirkan juga mengenai pernikahan. Gadis kecil ini pasti bersikeras mempertanyakan realita dari kerumpangan masalah ini.
Pasalnya aku dan Saka diketahuinya telah menikah, jika mendadak dikasih tahu aku akan menikah lagi dengan Saka rasanya aneh.
Alasan anniversarry pernikahan? Bukan ide bagus! Mana ada orang merayakan anniv dengan melakukan ijab kembali?
"Bib, papah apa? Dari tadi ngomongnya eu eu an aja!" sebal Same. "Yang jelas dong!"
"Duh, pokoknya papap kamu bakal datang tapi gak tahu kapan!" ungkapku. "Katanya kangen sama kamu."
"Sama Bibun enggak?" tanya Same sambil memainkan tabletnya. "Duh Tuhan jangan bilang Bibun sama papap udah gak serasa lagi makanya Bibun selingkuh."
Lama-lama aku kesal. Gadis kecil ini turunan siapa sih? Aku tumbuh normal, mengurusi urusan yang sepadan dengan usiaku.
Lah dia? Kebangetan banget pikirannya. Ngurusin hubungan orang lain bukan ranah anak sekecil itu!
.
.
.
***
Chelsea sudah dua hari bekerja denganku di gedung yang sama, bersyukurnya tidak sedevisi denganku.
Aku masih berkutat pada data berpuluh-puluh karyawan bagian produksi. Menyortir masa kerja mereka yang hampir habis.
Perlu pergantian atau malah diperpanjang itu bukan urusanku. Tugasku hanya mendatanya untuk diserahkan kepada bu Rose.
"Kuy lah turun laper nih." ajak Sisca.
"Belum selesai nih, lo duluan aja! Nanggung nanti gue nyusul." kataku.
Di sudut lain ada sepasang telinga yang ternyata mengamati. Dia tiba-tiba ikut menanggapi ucapanku. "Jago banget cari muka! Sok rajin biar disayang bos, eh gue lupa kan udah berhasil ya! Bosnya sampe cinta mati gitu."
Aku mendelik sekilas, berbeda dengan Sisca dia justru mengabaikan. "Tahu gak? kemarin gue ketemu seseorang."
Aku mengernyit, bersikap sama halnya seperti Sisca yang tidak mempedulikan nyinyiran Chelsea. "Siapa?"
"Tebak dong!" ceria Sisca. "Gue berhasil dapet nomornya, sempet tukeran WA kemaren."
"Siapa sih?" tanyaku. Ekor mataku masih menemukan Chelsea di tempatnya sedang memasang telinga.
"Gila makin ganteng tahu. Gue syok tiba-tiba dia nyapa gue.Hahaa masih inget aja dia ke gue. " cerita Sisca. "Padahal kita udah lama gak ketemu."
"Elah, paling si Ronal bebek mantan lo." kataku.
"Ih najis, gak ada sejarahnya Siscaila muji mantan. Mantan tuh sampah gak usah diinget-inget." ujarnya.
"Tapi biasanya kalo udah jadi mantan suka lebih ganteng atau cantik loh. Banyak yang ngakuin." ujarku mematikan komputer.
Rupanya Chelsea masih setia di tempatnya. Agak aneh mestinya dia lebih mementingkan Saka dibanding mengurusiku. Saka sebentar lagi terbang ke Singapura, mengurusi bisnisnya. Chelsea memangnya tidak ingin menemuinya?
Lima hari katanya. Kekasih mana yang tidak akan rindu, apalagi ABG macam dia. Lagi lebay-lebaynya menanggapi urusan asmara.
"Iya sih lebih ganteng, lebih maskulin dibanding pas sama lo." kata Sisca lagi. "Ini mantan lo si Gibran. Gue ketemu dia kemarin, supprise banget."
"Gibran?" tanyaku memastikan.
"Iya, dia. Masa dia banyak nanyain tentang lo sih padahal yang dia temuin kan gue. Nanya-nanya tentang gue kek, ini mah enggak!" manyunnya.
"Dia sempet minta nomor lo." ungkap Sisca. "Dia kayaknya masih ada rasa sama lo, Ra. Tapi gue bingung masalahnya lo udah mau nikah sama Saka, ya udah deh gak dikasih."
"Dia terus maksa, untungnya gue bisa buat dia berhenti mohon-mohon gitu." lanjutnya. "Mantan yang datang tidak tepat waktu dia tuh. Bukannya dari dulu kek."
Aku yang terdiam kemudian terlonjak kaget. Gebrakan buku di meja menarik perhatian. Sisca cepat berlalu, wajahnya kesal setengah mati. Emosinya juga terlihat memuncak.
Jika ada atasan mungkin dia sudah ditegur. Seenaknya membanting barang kantor. Walau dia pacar Saka tapi bukan berarti bisa seenaknya.
"Caramell, kamu disuruh ngadep ke atas." berita karyawan yang baru masuk bersama temannya.
"Gila ganteng banget emang. Paling ganteng di kantor sepertinya." cekikikan mba Almira, karyawati tadi.
"Beruntung jadi Chelsea. Dia pacar Chelsea katanya. Chelsea yang cerita gitu." ungkap Intan temannya mba Almira.
Baik aku maupun Sisca tidak peduli. Kami beriringan keluar ruangan. Tepat di pintu lift, terpaksa aku menyuruh Sisca duluan.
Saka pasti mengamuk jika tidak segera ditemui. Si Saka pacarnya Chelsea yang kata mba Almira ganteng itu belum bisa membuatku biasa saja.
Gue masih kesel sama dia! Mau apalagi sih dia manggil-manggil gue?