Semalam hujan mampir sebentar namun aroma khasnya kental menyeruak tercium. Hari ini hari Minggu. Pagi tanpa jogging, tidak pula bergumul di kasur.
"Hai, good morning." senyumku.
Kala mentari malu-malu menampakkan sinarnya, aku sibuk dengan berbagai bunga.
Bukan! Aku bukan Ibu si penggemar tanaman bunga yang setiap paginya rajin menyirami atau memangkas daun kering.
Bunga yang ku maksud, bunga tujuh rupa yang acap kali dipakai ritual mistis. Mandi misalnya. Tapi aku sedang menggunakannya untuk ditaburkan di atas tempat peristirahatan Camill.
"Camill lo tahu gak? Ayah Same udah dateng." ceritaku. "Dan kayak yang lo minta, gue bakal nikah sama dia."
"Sumpah gue gak nyangka kalo dia dosen gue sendiri. Dia juga atasan di tempat gue magang. Lo harus tahu dia itu nyebelin banget ih!" menggebuku.
Mulutku bagai jalan tol, lancar bebas hambatan menceritakan ulang semuanya.
Mulai dari Saka yang sudah mengincarku dari dulu, Saka yang dengan hebatnya berpura-pura tidak terlibat, sampai Saka yang megundurkan diri dari kampus karena serius akan menikahiku.
Kemarin pas perjalanan pulang, Saka bilang katanya tidak enak kalau statusnya masih dosen, masa mau nikahin mahasiswi aktif.
"Menurut lo dia terbaik buat gue kan Cam?" kekehku. "Cuma kok gue ragu ya haha. Semoga dugaan lo bener deh."
"Oh ya Samella makin gede makin mirip lo. Agak sengklek gimana gitu, pikirannya dewasa lebih dini." ketawaku bercerita menggeser topik. "Hobinya nonton drama ketibang film kartun, persis lo dah pokoknya. Dia sampe bilang pengen jadi drama queen, apa-apaan coba? Gak mutu!"
Camill meninggal dua tahun lalu ketika usia Same 5 tahun. Jadi baik Same atau Camill pernah merengkuh hari bersama.
Mereka memiliki kenangan tersendiri walau aku ragu Same bisa mengingatnya. Dia sering kucekoki foto Camill sampai terbiasa dibawanya pergi tidur. Dia bilang biar tidurnya ditemani Camill atau biar mimpinya didatangi Camill.
"Gue juga punya berita yang bisa buat lo senyum-senyum manis ngingetnya." kataku lagi. "Gibran ada di Jakarta, dia jadi guru SMK. Makin kece aja mantan lo. Haha, mantan itu manis di ingatan ya Cam."
"Lo sama gue pasti masih ingat manisnya dia dulu saat jadi pacar. Aih kalo diceritain satu-satu gak bakal cukup waktunya. Tapi lo tenang aja, rasa gue udah mati kok."
Hal yang tidak pernah Gibran lakukan padaku ialah memberi cuma-cuma jaketnya demi menutupi jiplakan noda merah segede peta pulau kalimantan di rokku. Padahal ke Camil selalu langganan.
Gibran juga tidak pernah mencumbuku seberani mencumbu Camill. Dulu saat dimana aku dan Camill terdampar di hotel dengan tamparan kenyataan bahwa kami baru kehilangan mahkota, Gibran datang.
Di satu sudut remang, Gibran merengkuh Camill, menenangkannya. Camill dibiarkan tersandar penuh di dadanya, membiarkan pula Camill bercurah pedih karena momen kehilangan keperawanan.
Sama sepertiku, Camill ditinggalkan begitu saja setelah dinodai- tanpa menunggu dulu kami siuman. Pria brengsek rasanya!
"Haha, gue sampai iri ngintipin lo dicium membabi buta gitu sama Gibran." lucuku.
"Terakhir yang gak pernah Gibran lakuin ke gue ya dia gak pernah berani serius. Boro-boro ngotot mau nikahin gue kayak ngotot mau nikahin lo, disuruh minta izin ke mamah buat malam mingguan aja dia gak mau." kenangku terbahak-bahak.
Sepertinya aku betah di sini, tidak terasa sudah ngalor-ngidul bercerita seorang diri setengah jam lamanya.
Jika ada yang melintas, sudah pasti diterka kurang waras. Orang gila nyasar ke kuburan.
"Gue kangen lo Cam." kataku sambil menabur sisa bunga di keranjang.
"Kalo kangen kenapa gak coba nyusul?" seseorang berpenampilan serba hitam menghampiri. "Nyusul ke neraka!"
Ku lirik dia sinis. Mendengus meremehkannya. "Segitu luangnya waktu lo sampe bisa ngikutin gue?"
"Gue gak main-main." dia menghempas satu undangan tebal bernuansa hitam dan gold. "Lo bener-bener pelakor sejati!"
"Apa saking frustasinya cari ayah anak haram lo yang gak kunjung ketemu makanya lo nerima Saka begitu mudahnya?" kecamnya. "Hebat ya lo main percaya gitu aja. Gimana kalo seandainya Saka bukan ayah Same? Bego kalo kejadiannya begitu!"
.
.
.
***
Kurang dari lima undangan pernikahan mengatas namakan Saka dan Kara sudah tercetak, untuk sample saja katanya. Pasti itu alasannya Chelsea kalap.
Aku bisa apa selain menerima, toh dulu aku sudah sepakat akan menikah dengan ayah Same, bisa dibilang wasiat Camill juga.
Ego atau tidak aku kurang paham. Perasaan terdalamku juga inginnya mengingkari. Seburuk apapun sikap Chelsea, tapi hatiku masih aktif berempati padanya.
Ikut teriris, bisa merasakan sakitnya, karena wanita memiliki naluri yang sama.
"Lo seakan gak terbebani sama semuanya." ungkapku pada Saka. Kami sedang dalam perjalanan menuju butik.
"Maksudnya?" bingung Saka membagi fokus antara menatapku dan mengemudi.
"Pernikahan ini." kataku. "Chelsea misalnya."
"Masalah Chelsea gak usah diambil pusing lah Ra." santainya.
"Gak usah?" ulangku merasa kesal. Bukan apa-apa kesannya Saka menggampangkan perasaan wanita. "Saka lo mikir gak, lo punya anak cewek. Gak bisalah lo nyakitin cewek mana pun. Karma is real!"
"Asal jangan kamu aja yang aku sakiti. " entengnya menebar senyum, ku rasa dia tengah menggodaku. Kata ganti formalnya berubah menjadi aku.
"Bagaimana dengan Same? Dia rentan kena imbas karena perbuatan lo. Ya contohnya lo banyak nyakitin cewek sekarang, lo gak papa, gak nanggung rasa sakit. Tapi mungkin aja nanti Same yang ngerasainnya kelak kalo udah dewasa. Balasan Tuhan kan ada aja." cerocosku.
Saka tampak takjub melihatku. Iya, aku tahu ini kalimat terpanjangku mencurah padanya.
Rasa khawatirku beralasan. Samella tersakiti? Aku yang bakal dikuliti pertama kali oleh ibu karena tidak becus menjaga anak.
"Gak bakal Ra. Tenang aja." tenangnya.
"Iya gak bakal terjadi karena Same bukan anak kandung lo kan?" tiba-tiba aku curiga, tidak sih lebih tepatnya ingin mengetes. Ucapan Chelsea tadi pagi sedikit berbekas.
"Ya ampun Kara sayang kok mikirnya gitu." tak terima Saka.
"Lo cuma ngaku-ngaku biar bisa nikah sama gue. Chelsea bilang lo udah incer gue dari dulu." terangku.
"Aku ngincer karena kamu udah teridentifikasi sebagai ibu dari anakku. Kamu jodoh aku yang tertunda, Ra." urainya.
"Maaf, dulu aku langsung pergi." lanjutnya lirih.
"Camill apa kabar, lo gak nanyain dia sama sekali?" pancingku. Kalau dia benar ayah Same pasti tahu Camill. Camill pernah bercerita bertemunya di perusahaan pusat Amerika.
"Camill udah tenang di sisi Tuhan, Ra. Mengungkitnya hanya membuka luka, nanti bakal inget. Ujung-ujungnya yang udah ikhlas ngelepas malah ngerasa berat lagi." tuturnya sedih.
Di jeda menunggu lampu merah, ia merogoh ponselnya. Terlihat menscrol layar.
Benar, dia memang ayah Same. Aku tidak perlu meragukan. Dia menunjuk beberapa Fotonya dengan Camill. Memamer fotoku, proses lahirannya Same.
"Kalo perlu kita test DNA, Ra. Aku siap!" mantapnya.
Dalam seperkian detik aku tersentak. Bukan karena rencana basi yang melegen di drama perceritaan seperti yang diungkap Saka.
Tapi ada mobil bu Rose di sisi Saka. Itu bisa dilihat dari mobilnya yang mencolok bercat pink, kacanya juga transparan. Ini bahaya!
Bagaimana kalau bu Rose usil? contohnya seperti Sisca tempo dulu yang mengetuk kaca mobil Saka.
Aku belum bisa go-publick. Segera ku atur posisi jok, bersiap sedia memundurkan sandaran joknya.
Tok tok tok!
"Benar kan!!" kesalku mengarah ketukan tangan bu Rose.
Saat Saka membuka, mulai menyapa bu Rose. Aku sibuk mencari sesuatu yang bisa menutupi wajahku.
Alhamdulillah semesta berpihak padaku. Di jok belakang ada sebuah majalah, ku tutupi saja segera, pura-pura tidur.
"Eh sama siapa Pak?" ku dengar bu Rose bertanya.
Was-was rasanya, tanganku mengirim kode pada Saka berharap dia mengerti. Ku tepikan jari-jariku, mencubit sedikit daging pahanya.
"Oh, ini calon saya Bu." ucap Saka, awas saja kalo dia berani sebut nama. "Dia kecapean kayaknya makanya tertidur."
"Walah calon Bapak pasti masih ABG makanya belajar hal-hal intim begitu. Buat dipraktekin di malam pertama ya pak." suara bu Rose sedikit menggoda.
"Iya nih biar gak kaku. Banyak variasinya, seru-seruan lah di malam pertama." kekeh Saka.
Aku bisa mengerti arah pembicaraan mereka, tapi kok berasa aneh. Ada apa memangnya kok mendadak bahas tema 21++.
"Sepuluh posisi seks untuk memuaskan suami." lantang bu Rose. "Bilangin calonnya Pak kalo butuh buku panduan malam pertama, saya ada. Nanti boleh pinjem."
"Iya nanti dibilangin. Untuk sekarang biar belajar dulu dari majalah dewasa." berseri Saka. "Saya duluan Bu Rose. Udah ijo nih."
Dan saat mobil melaju, ku tegakkan badan. Meneliti apa yang otakku perintahkan.
"Astaga Saka!!!!!" kesalku melempar majalah ke arah belakang. "Kenapa lo harus ngoleksi majalah begituan sih? Gue yang kena malunya ini mah!!"