Tiger balm? Dia pikir aku nenek-nenek yang rentan terkena penyakit pegal linu? Aku tidak setua itu.
"Patung merlion." singkatku.
"Masa patung merlion?" aneh Saka. "Gak mungkinlah Ra."
"Tadi aja maksa mau dibawain apa." kataku.
Di sore menjelang maghrib ini, Saka menelpon. Dia bilang mau oleh-oleh apa. Aku yang sejujurnya tidak ingin dibelikan apapun malah dipaksa menyebutkan satu barang.
Dasar Saka nyebelin, sebuntu-buntunya cari barang oleh-oleh, tidak balsam juga dong. Masa dia menawarkan balsam khas Singapura. Balsam dimana-mana sama, panas, ada camphora nya.
"Makanya gak usah maksa kalo gak mau. Giliran gue minta oleh-oleh patung merlion aja lo keberatan." kesalku segera menutup sambungan.
Aku tidak serius. Saka bukan Bandung Bondowoso yang menurut sejarah bisa membuat seribu candi teruntuk Roro Jonggrang. Masalah patung Merlion biar jadi angin lalu.
Lembayung mulai memenuhi langit, beberapa speaker masjid sudah melantunkan puji-pujian. Ku rasa sebentar lagi adzan berkumandang.
Beberapa deru mobil di parkiran berlomba meninggalkan gedung, ingin cepat pulang. Hanya satu deru yang buatku menjatuhkan perhatian teramat dalam. Suara motornya semakin mendekat.
Aku ragu itu ojek online yang ku pesan. Terlalu kece untuk jadi tukang ojek. Lagi pula tidak beratribut.
"Mba Kara bukan?" tanya dia di balik helm full face-nya. "Maaf ya tidak pakai atribut."
Aku mengangguk seraya menyamakan deret plat nomornya dengan plat nomor di aplikasi. Tidak sama. "Pak Abdullah bukan?"
"Iya. Maaf juga ya motornya beda sama yang di aplikasi. Motor baru nih." ungkapnya masih menutup helm full-facenya. "Ayok naik!"
"Ah gak asik lo, basi. Gue tahu siapa lo!" kataku menaiki motornya.
Move on itu bukan berarti harus melupakan semua tentangnya. Masalah aroma parfum misalnya, padahal hal sepele tapi aku masih mengingatnya.
Bukan soal aromanya melainkan kisah dibaliknya. Aku yang pertama kali memberi parfum aroma ini saat ulang tahun Gibran, sampai akhirnya dia terlanjur jatuh cinta memakainya terus menerus.
"Makan dulu lah! Nyicip gaji lo boleh dong?" ungkapku seraya membatalkan pesanan ojek online di ponsel.
Gibran hanya mengangguk keheranan. Jangankan Gibran, aku saja merasa aneh dengan sikapku.
Biasanya aku selalu canggung. Teman yang memutuskan untuk jadi sepasang kekasih lalu berakhir dengan perpisahan ya begini.
Sempat terbesit sesal telah memilih berpacaran dibanding bersahabat. Endingnya tidak enak jika putus, keakraban sebagai teman menguap seketika. Beruntung kami tidak bermusuhan setelahnya.
"Makan di resto terdekat aja." putusku.
"Ra sumpah ini bukan lo." ujarnya. "Mana Kara yang judesnya selangit itu?"
"Lo paham gak sih kalo orang tuh bisa berubah?" ketusku.
"Iya yang jahat jadi baik, yang udah baik harus lebih baik lagi. Gitu kan?" tanya Gibran memasuki area parkiran resto.
"Nah lo tahu." ungkapku menuruni motor gedenya.
"Haha." dia ketawa lantas mencabut kunci motornya. "Tapi gue kenal lo. Lima tahun kita pacaran masa masih gak tahu kalo lo tiba-tiba berubah tandanya apa?"
Aku menghampiri kursi kosong dekat jendela. "Apa emang?"
Dia duduk santai membuka buka menu. "Lagi ada maunya. Lo kan gitu."
Aku menulis beberapa menu lantas bergilir Gibran yang menulis sebelum diserahkan pelayan.
Ya, lima tahun itu lebih dari cukup untuk mengenalku. Bilang saja cinta monyet, MOS SMP awal dari semuanya.
Gibran itu si pemberi kalung rempah-rempah ketika aku kehilangnya, dia jga pembela saat aku dimarahi senior karena telat. Dia si penanggung hukuman yang seharusnya aku dapatkan. Sesederhana itu caranya menarik perhatianku.
"So, lo lagi mau apa dari gue?" tanyanya menyerbu minuman yang baru datang.
Aku ikut mencomot kentang goreng yang dipesan Gibran. "Lo udah nganterin data-data murid lo ke bu Rose ya?"
"Bukan itu yang lo mau. Gue tahu itu, ada urusan lain kan?" tanya Gibran mulai menyantap pesanannya.
Gibran memang paling mengerti aku. Siapa pun perempuan yang nanti jadi jodohnya pasti beruntung. Aku sama Camill saja yang bukan jodohnya merasa sangat beruntung pernah menjadi perempuannya.
Gibran perhatian, baik lagi.
"Soal Chelsea?" tanya Gibran. "Lo mau gue peringatin dia buat enggak nyinyirin lo?"
"Bukan, gue gak mau itu." tolakku.
Gibran tersenyum. "Gue bangga jadi mantan lo. Cewek yang gak pernah mau peduli sama nyinyiran orang lain."
Sejujurnya aku tidak berniat minta apa pun pada Gibran. Hanya saja setelah meneliti motor lebih tepatnya plat motornya, pikiranku jadi berubah haluan.
Jika bi Narsih tidak mau mengaku mengenai Same pergi dengan siapa sepulang sekolah selama belakangan ini, maka pak Budi supir Same bisa diandalkan.
Dia memberi plat nomor yang ternyata sama dengan kepunyaan Gibran. Menurut pengakuan Pak Budi plat nomor itu milik Om-nya Radit.
"Ada salam dari bi Narsih. Masih ingat kan?" ujarku.
"Haha." dia terbahak. "Gila gue ganteng banget kayaknya Tuhan sampe-sampe adik kakak sekaligus ART keluarga Delaxa naksir gue njir!"
"Lo kasih Bi Narsih apa sampe dia gak mau jujur ke gue?" tanyaku.
"Maksudnya?" tanyanya.
"Gak usah pura-pura!" tegasku. "Gi, Samella itu anak gue."
"Gue tahu Ra." katanya.
"Kenapa lo diem-diem nemuin dia dibelakang gue? Lo harusnya minta izin gue dulu." kesalku.
Dia menggeser piringnya, selera makannya nampak amblas. Sorot yang tadi ceria kini tragis dipenuhi lara. Aku tahu tatapan dia, tatapan terluka karena masa lalu. Huh, masa lalu kami memang pernah dijajah sembilu.
"Gue takut gak dibolehin. Maaf buat semua perlakuan keluarga gue yang udah nyinggung kedudukan keluarga lo." lesu Gibran.
.
.
.
***
Merepotkan! Tidak ada Saka membuat semua pihak menghubungiku. Mulai dari bagian percetakan, cathering, gedung, butik, sampai WO.
"Mba semuanya udah beres, apa bisa diambil sekaligus lunasi kekurangan biayanya?" tukang cetak undangan memberi tahu.
"Mba Kara gedung udah fix ya tanggal 26. Untuk Dp yang sudah disepakati bersama bisa ditransfer atau ke gedung langsung." beritahu pihak gedung.
"Mba Kara konsepnya udah mateng kan? Pakai adat sunda kental? Nanti resepsinya modern klasik aja?" menggebu pihak WO. "Tidak ada tambahan lain?"
Aku melirik jam di dinding, sudah jam 8 malam. Samella masih berkutat dengan PR Matematika yang belum terpecahkan jawabannya.
Kalau bukan karena Same aku tidak mau menjalani semuanya. Ribet, memusingkan. Sejauh Saka handle, aku bisa tenang. Tapi ini Saka tidak ada.
"Lo kapan pulang sih?" kesalku memutuskan menghubunginya.
"Kenapa? Kangen ya?" goda dia dibalik sambungan telpon.
"Tukang cetak undangan, WO, Cathering noh yang kangen lo. Gila gue pusing ngurusinnya." sungutku.
Dia terkekeh renyah sementara hp ku bergetar menandakan pesan masuk. Ku lihat siapa pengirimnya. Tidak bernama. Saat ku lihat isi pesannya ada seberkas sesal telah membaca.
"Mba Kara bagaimana mengenai souvenir? Pak Saka maunya payung geulis seperti souvenirnya pernikahan kahiyang putri presiden itu. Tapi kan waktunya mepet. Apa bisa diganti dengan yang lain?"
"Saka lo ribet banget sih masalah souvenir juga!" makiku frustasi.
"Ini yang terakhir Kara." ujarnya. "Setelah denganmu tidak akan ada pernikahan lagi bersama yang lainnya."