Tentang hari Minggu yang kurang menggebu. Biasanya bertemu hiburan, berhura-hura menghambur tawa. Tapi tidak untuk sekarang. Aku merenung bingung. Kenapa memilih ke sini dibanding menemani Samella nge-mall?
"Kediaman Pak Saka Draka Emerladie?" tanyaku pada satpam penjaga rumah.
"Loh?" dia tertegun mencermati wajahku di balik kemudi. "Ini kan nyonya mu,,,"
Aku mengernyit. Siapa aku bisa dianggap familiar olehnya? Bukan artis, bukan selebgram, bukan anak pejabat, status mahasiswi pun tergolong cupu.
"Ah, ayok masuk." katanya lebih ramah dari sebelumnya seraya membuka pagar lebar.
Menit berlalu mataku terpana. Waw, rumah rasa istana. Gaya mediteranian sekali. Dari luar saja sudah kelihatan, pagar menjulang tinggi, halaman rumah luas, pintu persegi dengan bentuk busur di atasnya, arsitektur jendelanya pun sama-sama melengkung.
Marmer lantainya juga mengkilat, jenis giallo imperial. Sekeliling dinding menjelma menjadi satu pemandangan yang sejukkan mata, berlapis rona gading dan putih.
Jangan lupakan beberapa tihang tegak menyangga, liukan tangga dan atap yang identik menawan hati.
Sayangnya otakku menolak tersanjung, ada hal sederhana mengalahkan kemewahan dalam mencuri hatiku.
Bingkai figura kayu berisi fotoku. Ah, atau itu bukan aku, hanya mirip saja? Pantas satpam di rumah ini begitu menghormatiku.
"Itu emang kamu." suara Saka mengalun jelas.
"Kok bisa?" bingungku.
Refleks jemariku memijat pelipis kanan dan kiri bergantian. Bodo amat pada Saka yang belum mempersilakan duduk tapi aku sudah menyambar sofa duluan. Ku sandarkan punggungku di sana, diam merileks-kan diri. Jadi benar, Saka itu ayah Samella?
Persetan dengan dia yang berani melakukan segalanya diluar sepengetahuan. Fotoku yang dia pajang adalah foto dua tahun silam dimana tiba-tiba ada fotografer menawariku mengiklankan produk sabun.
Pantes aneh! Gue yang bukan siapa-siapa ditawarin pemotretan iklan. Ternyata Saka dalangnya!
"Kenapa mau ke sini enggak bilang-bilang?" tanyanya duduk di sebelahku. "Kan berantakan rumahnya belum dibersihin. Bibi juga belum masak."
Aku mendeliknya sinis, dia pikir aku berkunjung sekedar mau minta makan?
"Lo sebenarnya siapa sih?" todongku serius.
Dia yang memang baru selesai mandi terlihat begitu fresh, tampangnya lumayan bertambah tampan saat sedang senyum seperti sekarang.
Tapi lagi-lagi aku tidak butuh disenyumin. Semanis apapun senyumnya sungguh takkan sanggup melelehkan rasa penasaranku.
"Lo sebenarnya siapa?" tegasku.
"Mahasiswi durhaka, masa lupa sama dosennya sendiri." santainya belum mau pudarkan lesung di pipinya.
"Gak ada dosen yang majang foto mahasiswanya sendiri. Lo bukan cuma dosen gue, lo siapa sih?"
Dia tetap tersenyum, bedanya kali ini tangan Saka sudah mengelus di pipiku seenaknya. "Ikutin kalo mau tahu!"
Dia beranjak, menyusuri tangga seraya mengusap rambut basahnya dengan handuk.
Gila, mataku sudah tidak waras. Harusnya aku keberatan melihat dia yang ternyata masih bertelanjang dada. Ini mata seolah sudah sah-sah saja melihat begituan. Ingat Chelsea! Gadis itu pasti akan marah.
"Masuk!" titahnya.
Diam sejenak, kakiku kaku. Untuk kedua kalinya dada ini berdetak tak tenang. Merasa akan ada bahaya menerjang.
Dia menyuruhku masuk ke dalam kamarnya. Logika ini bertanya-tanya, membenarkan segala macam pikiran negatif.
"Masuk Ra kalo mau tahu." lantangnya.
"Tapi,," raguku.
"Enggak akan diapa-apain, santai aja." dia menarikku cepat tanpa menutup pintu. "Paling mau nyuruh,,"
Astaga! Saka emang gila. Dia memberi sorot mata memerintah padaku dengan jahil. Tempat tidurnya berantakan. Dia berniat menukar informasi dengan jasaku membersihkan kamarnya.
"Apa arti dari rumah mewah, mobil kinclong kalo gak mampu bayar pembantu." sungutku mengikuti maunya.
"Nanti kalo udah beres, cariin kemeja pendek di lemari ya Ra." titahnya memandoriku.
"Apa?" kataku meninggi. "Lo emang niat ngerjain gue, dasar dosen gila! Baru tahu belangnya gue."
"Kalo enggak mau ya janganlah, Ra." timpalnya mendekatiku.
"Diem lo! Jawab pertanyaan gue aja minta imbalan. Kalo gak penasaran, gue gak mau." kesalku mulai mencarikan kemeja.
Setelah dicarikan, ia minta dikancingkan. Kentara sekali betapa Saka merindu perhatian seorang istri. Berbicara soal istri, penglihatanku belum menemu satu foto berbau pernikahan di rumahnya.
"Ra, saya baru tahu kalo kamu bisa sebawel ini." ujarnya. "Dikira hidupmu penuh dengan kejudesan."
Aku gagal menimpali, gerakan jemariku di kancing ketiga teratasnya berhenti sejenak. Ada sentuhan buatku tegang, dia meraih pinggangku, menguncinya di sana.
"El-lo,," gugupku karena jarak kami semakin terkikis.
"Kamu enggak sejudes dan sebawel ini ke Samella kan?" tanyanya menatap manikku dalam.
Deg! Jantungku berdentum hebat. Dia tahu Samella. Terbata-bata aku berucap. "Sa-samella?"
"Iya, Samella. Saka dan Caramella." ujarnya. "Itu kan arti nama anak kita?"
Aku terbengong. Camil yang berikan namanya, aku tidak tahu menahu tentangnya. "Sa-samella ana,,,"
"Anak lo." seseorang memotong kata terbataku. "Serius lo janda anak satu? Semuda ini?"
.
.
.
***
Khidmatnya terasa. Beberapa orang termasuk Samella ikut bersaksi dalam kesakralan tersebut. Acara yang disebut sebagai satu bentuk menyempurnakan ibadah itu dihias ketegangan. Sudah dua kali mempelai lelakinya salah berijab.
"Dibayar tunai." pamungkas si pria.
"Sah?" lantang si penghulu.
"Sah." kompak semuanya termasuk Samella.
Bahkan gadis kecil itu ikut mengangkat tangan, berdoa khusyu dengan raut gembira. "Amin. Alhamdulillah."
Aku jadi bergidig ngeri, Samella seperti dewasa sebelum waktunya. Disaat teman seusianya lebih mementingkan kartun, lah dia sebaliknya.
Pantas otaknya sudah jauh mengenal cinta dan sekumpulan kawannya. Nontonnya ftv, ftv remaja begitu.
"Bi, udah berapa kali sih saya bilangin gak usah ngajak Same kalo mau nonton drama!" omelku masih menenteng tas.
"Bibun kok baru pulang?" tanya Same berhambur memeluk pinggangku.
"Maaf Mbak, Non Same-nya yang maksa katanya seru." jelas bi Narsih.
"Bibun, Same suka nonton drama gitu. Same mau jadi drama queen boleh kan Bib?" tanyanya konyol.
Tuhan, ada apa dengan Samella? Pasti ini sifat buruk Saka yang turut serta mengalir dalam darahnya. Warisan sifat.
Tapi, kok merambat bawa-bawa Saka? Memangnya sudah fix bahwa Saka ayah yang dinanti Samella? Bisa saja dia bohong kan.
"Bib, papah sama bibun kapan nikahnya? Kok tidak ada foto-fotonya?" tanyanya. "Same pengen liat, Bib."
Kelu sudah lidahku. Harus jawab apa ini? Berpikirlah otak! Beri alasan logis agar otak Same memahami, tak melulu bertanya.
"Dulu kan belum secang,,," ceritaku langsung terpotong olehnya.
"Bib, jangan bilang Bibun udah cerai sama papah?" muramnya. "Teman Same juga ayahnya jarang pulang dan ternyata udah beristri lagi. Ibunya sekarang janda, Bib. Bibun bukan janda kan?"
Samella luar biasa, makin hari makin memusingkan. Nikah saja belum, bagaimana bisa jadi janda? Tapi, aku tidak mungkin membeberkannya.
Publik saja tahunya aku janda muda, padahal bukan. Iya, anak ayah kan memang nakal-nakal.
Hamil diluar nikah, melahirkan di luar nikah, membesarkan anak pun diluar nikah.