Jadi benar ya sekali umur bertambah maka berkali-kali lipat masalah pun tumbuh?
Aku merasa ingin kembali dimana bebanku hanya tentang berebut boneka berbie dengan Camil.
Semudah itu, tinggal pamerkan air mata, jeritkan tangis, masalahku beres. Ayah membelikan barbie baru, atau nanti ibu yang memaksa Camil mengalah.
Tapi ya ini perbedaannya sekarang dan dulu. Durasi waktu seakan mengujiku kuat atau tidak, semesta pun terus bersaksi, membisu tanpa membantu.
"Lo ngerti first impression gak sih,Ra?" greget Sisca.
"Cuma mau survei aja kan? Enggak bakal langsung magang hari ini? Jadi santai aja, gak usah ribet deh." malasku memasuki gedung bertingkat tinggi.
"Ya tetep aja kita harus keliatan antusias walau cuma pengenalan lingkungan." oceh Sisca. "Dapet materi tentang grooming dan wiraga- wiraga itu kan?"
Aku memintonkan raut lesu. "Saka, Sis."
"Saka?" tanya balik Sisca. "Kenapa dia?"
"Gue sebel sama dia!" emosiku mengingat segala penuturan Chelsea kemarin.
"Kenapa emang? Oh," Sisca membulatkan matanya sesudah menerka-nerka apa yang terjadi antara aku dan Saka. "Saka udah ubrak-abrik lo ya, dia mainnya hebat kan? Lo pasti puas."
Astagfirullah, tidak heran sih jika otaknya berspekulasi seperti itu. Kebanyakan makan micin, secara hobinya jajan otak-otak, basreng begituan. "Bukan itu!"
"Terus apa?" tanyanya sambil menebak-nebak lagi. "Oh, apa jangan-jangan Saka itu ayah dari Samella? Kayak drama-drama gitu, Ra. Kita cari kemana-mana eh tahunya dia yang di dekat kita. Ujug-ujug gitu, Ra."
"Kebanyakan nonton drama lo. Pacarku mantan suami teman ibuku, Aku dinikahi cucu dari ayahku." kataku menyebut judul-judul sinetron yang ngawur.
"Tapi beneran tahu Ra. Lo kan bilang si Saka itu aneh, dia mendadak ngedeketin dan tahu tentang lo segala. Bisa aja dia itu pernah ada di masa lalu lo." pendapatnya.
"Dia orang terniat yang mau masuk hidup gue. Kata Chelsea gue udah diincar Saka dari dulu makanya Saka tahu tentang gue." curhatku padanya.
Sisca membulatkan mata. "Serius?"
Sedikit ragu aku mengangguk. Sisca minim berekspresi. Aneh rasanya secara Sisca ini riangnya kelewat batas, mulutnya juga bawel tiada henti.
Entah mungkin dia ketempelan setan di gedung ini atau apa tapi dia begitu asing. Sisca beraut terkejut, air liurnya meneguk susah. Matanya mengerjap-ngerjap beralih dari satu sisi mengarahku.
"Ra, apa ini ada hubungannya sama Same?" tanyanya buatku bingung.
"Ngomong apa sih lo? Kita lagi bahas Saka kok larinya ke Same!" beteku.
Sahabat orokku masih pelit ekspresi, dia kokoh mempertahankan kecengoannya. Sekilas tangannya menunjuk satu ruangan.
Di sisi itulah tulisan 'Saka Draka Emerladie' tertera. Pada sebuah pintu coklat muda.
"Dia ayah Samella, Ra." yakinnya lagi.
"Lo emang udah enggak waras sih Sis!" desisku. "Enggak mungkinlah."
"Kata lo Saka udah ngincer lo dari dulu. Lo tahu alesannya kan?" tanya Sisca serius. "Karena dia ayah Same. Dia mau bertanggung jawab, Ra. Makanya dia gencar nyari tahu tentang lo, ngincer lo dari dulu."
Astagfirullah. Apa benar ini sebuah realita? Bukan sedang di alam mimpi? Sumpah, ini seperti kisah klasik yang banyak unsur kesengajaannya, terlalu dibuat-buat hingga mudah ditebak.
.
.
.
***
Hidup ini tentang apa yang sedang terjadi dan sudah terjadi. Di dalamnya ada kisah yang mungkin berbekas dan kemudian dinamakan kenangan.
Katanya kenangan itu awal dari sebuah rindu. Kita bisa rindu karena pernah bersama membingkainya.
Ada tawa manis melapisi. Tak aneh bila seseorang mengatakan indah. Ya, rindu itu indah. Tak seberat yang dipikir.
Tapi terkadang kita lupa pada kenangan buruk. Adakah yang rindu bila tentang masa terpuruk?
"Selamat mengemban tugas baru." itulah awal dari semuanya terjadi.
Entah berkah atau jadinya musibah, ibu dan ayah sama-sama dipindahkan tugas dengan posisi lebih tinggi.
Tahu bukan jika posisi meninggi, maka tugas pun menggunung. Imbasnya jelas mengena aku dan Camill.
"Gue tahu caranya bahagia kayak dulu. Ayok, ikut gue." ajak Camil dahulu kala.
Gerbang menuju kebebasan mulai diselami bahkan memberi kepuasan. Aku terperosok hingga terlanjur nyaman di dalamnya.
Hanya dengan meneguknya sebotol, kesenanganku membumbung tinggi, dunia khayalku berfantasi memberi hidup yang lebih baik.
Bayangkan dengan bermodal tetap bertahan di tempat itu aku bisa ditemani banyak orang. Dipeluk-peluk, diperlakukan manja, dicium mesra hingga ditiduri dengan efek luar biasa bahagia.
"Camill sudah bukan lagi gadis, Yah." satu kalimat yang kemudian menghentak sanubari ayah dan ibu. "Camil sudah tidak suci lagi, Camil pengen mati aja jadinya."
"Aku tidak mau sekolah lagi, perut ini semakin membesar, Yah. Malu sama teman sekolah." penyesalanku menjadi penyesalan orang tuaku juga.
Dari situlah semuanya hancur. Lewat kehancuran, titik balik pemikiran akhirnya tiba. Bukan lagi harta yang diutamakan, melainkan keutuhan keluarga.
"Andai dulu kita bersyukur, Bu. Tidak terlalu terobsesi pada harta dan tahta. Mungkin semuanya akan baik." sesal ayah pada ibu.
"Iya bener Yah. Penyesalan emang datangnya selalu belakangan." pilu ibu seraya menyeruput teh hangatnya.
Nostalgia terharam bagiku, tapi ayah dan ibu belum juga paham. Mereka masih sering membawanya ke permukaan, membuatku mau tidak mau ikut pula tenggelam.
Aku menutup laptop, mencukupkan tugas. Informasi mengenai tempat magang dan segala yang berkaitan sudah ku rangkum.
Tinggal enyah saja ke kamar dan menghapalnya, takut-takut akan ditanyakan saat magang nanti.
"Bibun kok pergi?" tahan Same yang baru datang bergabung. Rona sumeringahnya sedikit lunturkan lara ayah dan ibu.
"Di sini dulu." pintanya.
"Apa sih Same? Banyak tugas nih." ketusku merasa sebal.
"Bibun enggak malam mingguan?" tanyanya. "Ditinggal papah usaha udah kayak ibu toyib aja ya Bib? Berasa jomblo, kesepian."
Menganga sempurna. Waw rasanya, Samella sekecil itu sudah mengenal malam minggu, ibu toyib dan jomblo?
Apa ini karena kesalahanku? Terlalu sibuk kuliah dan sekarang berlanjut magang membuat Samella dibiarkan tumbuh bebas bersama lingkungan yang seadanya.
Kurang didikan. Ayah dan Ibu nyatanya tidak berperan penuh dalam mengawasi, mereka bekerja dan Samella dititip bibi yang selalu membawanya berinteraksi di lingkung perkomplekan.
"Same punya temen baru, dia ganteng Bibun. Nanti Same boleh main kan sama temen Same? Malam mingguan gitu Bib." nyelenehnya.
"Ngeri, turunan dari papahmu pasti." komentarku berdesis pelan.
Sama halnya sepertiku, Ibu melongo menatap tak percaya. Beliau mati kata saat Same mengalihkan izinnya pada ibu.
Sementara ayah lebih kalem merenungkannya. Bukan, sepertinya ayah tidak sedang mengupas topik yang sama.
Terbukti dengan matanya yang sesekali terpaku menatap judul tulisan di pangkuanku.
"Emerland Dieksparta Coorperation." eja ayah.
Ibu terkejut mendengarnya. "Tempat magang Camil di Amerika kan?"
"Kamu gak bilang bakal magang di satu company yang sama seperti kakakmu, Ra." ungkap ayah.
"Kara males kalo bilang. Nanti ayah sama ibu nginget-nginget yang lalu. Bikin galau." kataku.
Ibuku entah bertujuan seperti apa, dia bergeser pindah kedudukan mendekatiku.
Samella dibiarkannya kebingungan. Ibu lebih fokus mengelus rambutku, membisikan sesuatu.
"Tuhan kiranya udah jawab doa kita. Ini satu jalan buat cari tuan yang kakakmu maksud." tenang ibu. "Emerland company itu pemiliknya Emerladie family. Kakakmu sempat bercerita sedikit tentang asal-usulnya. "
Oke, tidak salah kok jika keningku menaut bingung. Ada kesal kemudian. "Kenapa Ibu enggak bilang dari awal. Mungkin aku akan lebih mudah mencari kalo udah ada titik jelasnya."
"Ibu kira kamu udah tahu. Bukannya Camill cerita pas ada kamu juga? kalo dia emang berasal dari keluarga Emerladie, kakakmu juga pernah bertemu sekilas sebelumnya di company itu?" cerita Ibu.
Iya, emang aku lupa. Otakku tidak cukup ruang untuk mengingat jika terus ditekan-tekan. Ayah kan selalu nekan aku agar segara menemukannya.
Dan gilanya Saka, jika benar dia yang jadi ayahnya Same harusnya dia bilang saja. Jangan membuatku harus ketar-ketir mencarinya padahal dia ada di dekatku.
Karena aku dulu mabuk, jadi tidak tahu. Yang paham kan Saka, jadi dia yang salah.