Seorang siswa sedang berbicara di hadapan teman-teman sekelasnya. Penampilannya terlihat lebih rapi dari siswa lainnya. Kemampuan berbicaranya sangat piawai juga memiliki kharisma yang kuat. Tak heran jika ia dipercayai untuk menjadi ketua kelas.
“Berarti deal ya, kita bayar uang kas tiap hari kamis,” ucap lelaki itu.
Semua penghuni kelas mengangguk setuju.
“Oke kalau gitu, terima kasih atas perhatiannya.” Lelaki bernama Bayu itu menyudahi acara musyawarah kelas.
Semua murid kembali pada aktivitasnya masing-masing.
“Shil? Lo kenapa?” Maura menyadarkan Shila yang setengah melamun.
“Eh, nggak papa.” Shila tersenyum kikuk.
“Gue bilang juga apa, si Bayu itu emang cocok banget jadi ketua kelas. Apalagi gue denger dia juga mantan ketua OSIS waktu dia SMP,” jelas Maura.
“Hm, iya juga. Dia berwibawa.”
“Awas naksir lo,” canda Maura.
Di hari ke tiga ini Shila mulai merasa nyaman dengan teman-teman barunya. Meski belum semuanya Shila kenal, tapi suasana di kelas sudah tak terlalu canggung. Apalagi kebanyakan murid kelasnya adalah temannya saat SMP.
Shila juga sudah tak sependiam dulu. Ia kini sedikit lebih berani mengutarakan pikirannya. Tak seperti dulu yang selalu memendam keinginan. Dalam hal belajar pun Shila jadi lebih aktif. Kini kehadirannya terasa lebih dianggap.
***
Di kelas tinggal ada beberapa orang murid, salah satunya Shila. Hari ini adalah jadwalnya Shila piket. Shila melirik jadwal piket yang tertempel di dinding kelas, harusnya yang piket hari ini ada tujuh orang tapi yang ada hanya empat orang. Hal seperti ini rupanya sudah menjadi kebiasaan setiap siswa, istilahnya hanya numpang nama.
Shila bertugas menyapu kelas bagian dalam bersama Aliya, sedangkan satu orang siswi lagi menyapu bagian luar kelas.
“Nyapunya udah?” tanya Bayu, ia juga piket hari ini.
“Udah,” jawab Shila.
Shila sedikit heran melihat Bayu yang masuk ke kelas sambil membawa ember berisi air. Lalu tanpa disuruh lelaki itu mengambil alat untuk mengepel lantai, kemudian mengepel. Baru kali ini Shila melihat ada seorang siswa yang mau melakukan ini. Entah Bayu melakukannya dengan ikhlas atau bisa jadi hanya sebatas pencitraan sebagai seorang ketua kelas.
“Bayu, gue udah selesai piketnya. Pulang duluan ya?” tanya Alya.
“Iya, nggak papa,” jawab Bayu sambil memeras kain pel.
“Gue juga, ya,” kata Shila.
Bayu mengangguk.
***
“Mel, lo tahu si Bayu nggak?” Shila membuka pembicaraan. Sekarang ia sedang menunggu angkot bersama Amel. Meski tidak satu kelas, tapi mereka masih tetap pulang bersama. Kadang Amel yang menunggu Shila atau sebaliknya.
“Yang dapet predikat peserta MOS terbaik itu?”
“Iya, Mel. Gue nggak nyangka lo, ternyata dia orangnya emang the best. Sopan, rajin, berani, pokoknya jarang lah ada cowok kaya dia.”
“Masa sih?”
“Tadi aja dia piket bareng gue, terus masa dia ngepel kelas. Biasanya kan cowok itu paling susah kalau disuruh piket.”
“Terus, lo suka sama dia?” terka Amel.
“Ih, apaan sih. Nggak lah, Mel.”
“Lagian lo semangat banget ceritanya, terus pake senyum-senyum segala lagi. Kan gue jadi curiga.”
Shila mengerucutkan bibirnya tanda tak suka. Maksudnya itu baik, Shila hanya memuji Bayu. Tapi sahabatnya yang satu itu malah salah tangkap.