Diam-diam Shila memerhatikan lelaki itu. Seragam pramuka yang begitu pas dengan warna kulitnya yang cerah, juga lesung pipit yang selalu mengiringi senyumnya.
“Ganteng kan orangnya?” tanya Mika yang sedang duduk di sebelah Shila, kebetulan Maura belum datang.
Shila kembali memerhatiakn lelaki tadi dari balik kaca jendela. “Lumayan.”
“Dia temen SD gue. Padahal dulu dia biasa aja tuh, bingung juga kenapa sekarang bisa jadi sekeren ini.”
“Viana juga pernah cerita ke gue soal dia.”
“Jadi, gimana? Masuk kriteria lo kan?” tanya Mika lagi. Mika adalah teman SMP Shila juga, dia dan Mika juga pernah satu kelas dan cukup akrab.
Shila hanya tersenyum. Dalam hatinya ia akui bahwa lelaki bernama Gibran itu memang tampan.
Sekolah baru, teman baru, dan suasana baru. Apakah harus ada pengisi hati yang baru juga? Shila memang bukan tipe cewek yang gemar berpacaran. Ia bahkan tergolong ke dalam cewek yang cuek soal percintaan. Semua itu karena ‘si cinta pertama’ yang belum bisa ia lupakan. Namun sebisa mungkin Shila akan berusaha untuk hal itu.
“Pagi, Shil,” sapa Maura yang baru datang. Mika yang sedang duduk di kursi Maura langsung bangkit.
“Tumben agak siang, Ra?” tanya Shila, mengingat biasanya Maura selalu datang pagi.
“Biasa lah, macet. Santai aja kali, Mik,” jawab Maura.
“Nggak papa, silakan duduk, Ra.” Mika kemudian ia kembali ke kursinya.
“Hello, every body. Good morning guys,” ucap Agas—siswa yang tempo hari memanggil Shilla dengan sebutan ‘sayang’. Sebagai perempuan normal, awalnya Shila sempat berpikiran yang aneh-aneh pada Agas. Tapi setelah tahu sifat asli lelaki itu yang memang absurd dan otaknya sedikit geser membuat Shila memakluminya.
***
Saat memulai tahun ajaran baru biasanya guru-guru yang masuk ke kelas hanya untuk sekedar berkenalan. Entah sudah berapa kali Shila menyebutkan nama dan alamat rumahnya. Lalu setelah sesi perkenalan selesai biasanya guru akan menyebutkan aturan-aturan belajar mereka masing-masing. Misalnya dalam cara penilaian, ada guru yang sangat menekankan nilai ulangan harian atau ada juga guru yang mendominasi nilai siswa dari tugas sehari-hari.
Bel istirahat telah berbunyi. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas untuk memanjakan perut mereka di kantin. Apalagi anak-anak kelas 10 yang memang masih mengeksplorasi lingkungan sekolah barunya. Mereka masih penasaran dan ingin mencoba semua jajanan yang ada di kantin. Berbeda dengan senior mereka yang mungkin sudah punya langganan masing-masing di kantin.
Shila pergi ke kantin bersama Maura, Mika, dan Yuna. Kantin yang begitu ramai membuat mereka bingung untuk memilih jajanan yang mana. Setiap kios penjual dikerumuni banyak siswa, belum lagi waktu istirahat yang tidak terlalu lama.
“Beli apa, nih?” tanya Shila.
“Nggak tau,” jawab Maura.
Mika dan Yuna kompak menggelengkan kepala mereka tanda tak tahu.
“Ke kiosnya Bu Ratih aja, yuk! Kayaknya nggak terlalu rame,” Maura memberi saran dan langsung disetujui oleh ketiga temannya.
Akhirnya mereka berempat hanya membeli minuman dingin dan beberapa bungkus makanan ringan. Sesampainya di kelas mereka disambut oleh suara tawa dari sekelompok siswi yang duduk di barisan paling belakang, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Ralat, sepertinya bukan sekelompok siswi karena ada seorang siswa yang duduk diantara mereka, yaitu Dipta. Entah hanya perasaan Shila saja atau memang kenyataannya begitu, akhir-akhir ini Shila sering melihat Dipta bersama perempuan. Mengobrol, bercanda, atau bahkan mengerjakan tugas bersama, tapi Shila tidak terlalu memusingkan hal itu karena Dipta itu tipe cowok supel yang bisa seenak jidat berteman dengan siapapun.
***
Mencintai adalah hak semua orang. Namun, bagaimana jika mencintai tanpa sepengetahuan orang tersebut? Istilah zaman sekarang adalah mencintai dalam diam. Shila begitu menyimpan rapat perasaannya pada dia, bahkan Shila akan sangat marah jika sahabatnya membeberkan curhatan Shila pada orang lain. Alasannya hanya satu, Shila malu jika sampai orang lain apalagi dia tahu soal perasaannya. Shila cukup tahu diri akan dirinya yang tak sebanding dengan lelaki itu.
Hingga rasa itu berimbas pada dirinya sendiri. Shila terlalu mencintai lelaki itu seolah sudah tak ada lagi lelaki di dunia ini. Ia menutup rapat hatinya, membiarkan satu nama itu bertakhta di dalamnya.
Tapi dirinya harus bangkit. Ia tak boleh terlalu larut mencintai lelaki itu. Mulai saat ini ia harus berusaha untuk melupakan cinta pertamanya itu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada hari esok.
“Shil?”
“Shila!”
“Arshila!”
Shila tersadar dari lamunannya. Ia mendapati Maura yang berdiri dan memasang wajah kesal di hadapannya.
“Malah ngelamun lagi. Nih, lo mau pinjem mukena gue nggak?”
“Eh, sorry, Ra. Gue nggak tahu kalo lo udah di sini.”
“Cepetan salat gih! Takut jam istirahatnya keburu abis,” perintah Maura.
Shila segera masuk ke dalam musala untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Bisa-bisanya ia melamunkan sosok itu lagi.