Loading...
Logo TinLit
Read Story - Alumni Hati
MENU
About Us  

✦ Isi Kotak Kecil ✦

 

Cindy akhirnya memutuskan membuka kotak beludru hitam yang diberikan Christian. Tangannya sempat ragu, tapi ada rasa penasaran yang mengalahkan segalanya.

 

Saat kotaknya terbuka, Cindy menemukan sebuah gantungan kunci mungil berbentuk kompas, dengan bingkai kayu bergaya vintage. Di belakangnya tertulis rapi nama:

 

“CINDY”

 

Ada secarik kertas kecil di bawah gantungan itu. Cindy tersenyum begitu membaca tulisannya:

 

> “Biar kamu selalu ingat arah pulang, meskipun bukan aku yang nemenin.”

— Christian

 

 

 

Alih-alih menangis, Cindy justru tertawa kecil, menatap gantungan itu sambil mengusap matanya. Bukan sedih, tapi haru bercampur lega.

 

> “Kamu memang selalu mikirin aku sampai detail…”

 

 

 

Ia menaruh kompas itu di tas kerjanya, menepuknya pelan — seolah merayakan masa lalu yang tetap berharga, tapi tak lagi menahannya untuk melangkah ke masa depan.

 

Cindy merasa jauh lebih ringan. Seperti diingatkan: ia boleh mencintai kenangan, tapi tetap punya arah sendiri untuk melangkah.

✦ Amarah yang Sudah Lama Tertahan ✦

[Kantor – Ruang Meeting Samping, Sore Hari]

Setelah video mabuk Jefta viral dan semua orang menertawakan, Wina menunggu Jefta sendirian di ruang meeting kecil. Begitu Jefta masuk, Wina langsung menutup pintu dan bersedekap, wajahnya tegang.

> “Jef, kita bicara.”

> “Wina? Ada apa?”

> “Ada apa? Kamu nanya??” suara Wina meninggi, matanya berkaca-kaca.
“Kamu pikir aku gak malu liat kamu kayak gitu? Viral! Semua orang ngetawain kamu!”

Jefta menghela napas, menunduk.

> “Itu cuma kecelakaan, Win. Aku gak maksud—”

> “Sejak kapan Jefta yang aku kenal jadi sembrono begini?” bentak Wina lagi.
“Dulu kamu elegan, tegas, jaga sikap. Sekarang? Berantakan. Semua orang ngomongin kamu, Jef!”

Jefta terdiam.

> “Aku cuma… lagi nyari cara buat bahagia, Win.”

Wina menahan napas, berusaha meredam emosinya.

> “Bahagia? Atau kamu sekadar kehilangan arah karena perempuan itu?”

Jefta menatap Wina, agak terluka.

> “Maksudmu Cindy?”

> “Iya, Cindy!”
Wina menahan air matanya agar tak jatuh.
“Sejak dia datang, kamu berubah. Kamu gak lagi jadi Jefta yang... aku kagumi.”

Sesaat hening.

Jefta mencoba bicara pelan.

> “Win… aku minta maaf kalau kamu ngerasa aku berubah. Tapi aku juga manusia, Win. Aku berhak jatuh cinta, berhak salah, berhak belajar lagi.”

Wina menunduk, bibirnya bergetar.

> “Aku cuma takut kamu lupa siapa kamu, Jef.”

Jefta mendekat, menepuk pundaknya perlahan.

> “Makasih udah ngingetin. Tapi izinin aku jatuh, Win. Biar aku belajar berdiri lagi.”

Wina menoleh dengan mata berkaca-kaca, akhirnya menyerah,

> “Jangan sampai kamu nyesel, Jef…”

Lalu ia pergi keluar meninggalkan Jefta sendirian, menatap jendela dengan perasaan campur aduk.

✦ Wina, Cindy, dan Harga Diri yang Retak ✦

[Kantor – Pantry, pagi hari]

Wina berdiri di depan dispenser, menatap gelas kopi yang masih mengepul dengan wajah dingin. Cindy masuk, mencoba meraih gelasnya sendiri. Ada jeda canggung yang menegangkan.

> “Pagi.”
Cindy berusaha bersikap biasa saja.

Wina mendengus pelan, matanya tak berpaling sedikit pun.

> “Pagi? Sejak kapan kita perlu pura-pura ramah?”

Cindy menarik napas, menahan nada jengkel yang nyaris meledak.

> “Aku gak pura-pura ramah. Aku cuma… profesional.”

> “Profesional?” Wina tertawa sinis.
“Sama kayak kamu rebut perhatian semua orang sejak SMP, termasuk sekarang? Gak pernah berubah, ya.”

Cindy terdiam. Ada luka lama yang tersulut di sana, sejak masa sekolah dulu mereka sering bersaing — ranking kelas, organisasi, bahkan cowok yang sama-sama mereka sukai diam-diam.

> “Aku gak pernah niat rebut apa pun darimu, Win.”

> “Bohong,” potong Wina cepat.
“Sekarang Jefta juga. Kamu bikin dia kacau. Kamu bikin reputasinya jatuh.”

Cindy meremas gelasnya erat-erat, berusaha mengendalikan emosinya.

> “Aku gak pernah maksud bikin Jefta kayak gitu.”

> “Tapi kamu tetap berhasil, kan? Seperti biasa. Kamu selalu menang di mata orang, dan orang kayak aku cuma jadi bayangan.”

Cindy terpaku. Ingin menjawab, tapi tak sanggup — terlalu banyak luka lama yang menyeruak.


✦ Jefta dan Steven: Permintaan Maaf yang Tertunda ✦

[Ruang Meeting – pagi hari, setelah pesta perpisahan]

Jefta menunduk menatap meja rapat, wajahnya kaku. Di layar, presentasi berjalan, tapi pikirannya tak fokus. Ia masih kepikiran video mabuk yang tersebar semalam.

Steven, yang duduk di depannya, terlihat ragu sejenak, sebelum akhirnya bicara dengan nada pelan — jauh lebih kalem daripada biasanya.

> “Jef… Aku mau minta maaf soal semalam.”

Jefta menoleh, kaget.

> “Minta maaf?”

> “Iya. Aku memang sengaja bikin suasana cair, biar Christian gak tegang sebelum pulang, dan… ya, biar kalian berbaur. Tapi aku gak nyangka bakal jadi bahan ketawaan seluruh kantor.”

Jefta menarik napas, menahan rasa malu yang masih menyesakkan dadanya.

> “Ya… udah kejadian juga.”

Steven menatap Jefta serius, nada tulus

> “Aku sungguh gak ada niat bikin lo jatuh. Aku tahu kamu orang yang jaga harga diri banget. Aku salah.”

Jefta menahan diri, mencoba menelan egonya.

> “Gak apa-apa. Aku juga kebablasan.”

Steven tersenyum tipis, menepuk bahu Jefta.

> “kamu masih orang kepercayaan aku. Fokus di proyek ini. Biar semua orang lihat kalau kamu lebih dari sekadar video viral.”

Jefta akhirnya mengangguk, menegakkan punggungnya lagi.

> “Iya, aku harus buktiin itu.”


✦ Presentasi Besar: Saat Jefta Bangkit ✦

[Ruang Auditorium – Presentasi Project Keep House]

Hari itu, Keep House mengundang banyak klien besar dan juga beberapa mitra baru. Steven duduk di kursi VIP.
Popi, Sitty, dan para anggota tim kreatif lain. Duduk di meja lain.. QSuasana menegangkan.

Nama Jefta dipanggil untuk memimpin presentasi proyek digital marketing baru — proyek yang jadi taruhan reputasinya setelah video mabuk itu beredar.

Jefta berdiri tegak, setelan rapi, wajahnya jauh lebih tenang daripada yang orang lain kira. Cindy, yang berdiri di belakang tim kreatif, menatapnya dengan diam-diam, menahan napas.

> “Lo bisa, Jef,” gumam Cindy pelan.

Jefta mulai membuka presentasi dengan suara mantap, menyapa audiens satu per satu. Slide demi slide mengalir lancar, strategi digital yang ia susun bersama tim disampaikan runtut, jelas, tanpa terbata.

Bahkan beberapa klien mencatat serius, tertarik dengan ide kolaborasi influencer dan teknologi VR yang Jefta bawa.

Sesekali, Jefta menoleh ke arah Steven, seperti menegaskan:

> “Lihat, gue bukan cuma bahan ketawaan.”

Steven mengangguk bangga, menepuk tangan pelan.

Cindy pun ikut berdecak kagum dalam hati.

> “Ini Jefta yang gue kenal — fokus, pintar, penuh semangat…”

Saat sesi tanya jawab, seorang klien mencoba mengetes Jefta dengan pertanyaan sulit tentang target engagement yang realistis.

Jefta menatapnya tegas, tanpa gentar, lalu menjawab dengan angka, data, dan contoh konkret. Bahkan ia berani menantang balik klien itu dengan:

> “Kalau Bapak mau, kita bisa buktikan hitungan ini lewat studi kasus tiga bulan ke depan. Siap?”

Ruangan hening, lalu terdengar tepuk tangan spontan.

Setelah semua berakhir, Jefta menarik napas lega, dan Steven menepuk bahunya sambil terkekeh:

> “Balik lagi jadi Jefta yang Aku kenal.”

> “Thanks, Ketua,” jawab Jefta, menahan senyum kecil.

Cindy maju mendekat, menatap Jefta dengan kagum.

> “Kamu keren banget barusan,” bisiknya.

Jefta menatap Cindy, masih terharu, tapi berusaha santai:

> “Harus, dong. Masa kalah sama video mabuk…”

Mereka berdua tertawa kecil, menepis sedikit rasa canggung.


✦ Setelah Presentasi, Hati yang Masih Gantung ✦

Selesai acara, suasana kantor mulai lebih rileks. Orang-orang memuji Jefta, beberapa bahkan menepuk pundaknya dengan bangga. Jefta seolah berhasil mengambil kembali reputasinya.

Tapi di sudut ruangan, Cindy hanya berdiri menatapnya. Ada rasa lega karena Jefta berhasil, tapi juga ada rasa aneh — semacam nyeri halus yang muncul ketika melihat Jefta kembali bersinar, seolah jauh lagi dari genggaman hatinya.

> “Dia kayak gak butuh siapa-siapa,” pikir Cindy sambil menunduk.

Jefta sempat menghampiri Cindy.

> “Cin, makasih ya. Kamu udah percaya sama aku.”

Cindy mengangguk, menahan senyum tipis.

> “Iya… kamu hebat banget tadi.”

> “Nanti kalau sempet, makan bareng yuk? Buat ngerayain,” kata Jefta.

Cindy mengangguk lagi, tapi di dadanya muncul keraguan.

> “Makan bareng? Teman… atau lebih? Kenapa dia gak pernah jelas?”

Dan sebelum Cindy sempat membalas apa-apa, Jefta sudah diseret lagi oleh rekan-rekan kantor yang ingin menanyai detail proyek. Cindy hanya berdiri menatap punggungnya menjauh, menahan perasaan yang campur aduk.

> “Dia baik, dia perhatian, tapi dia juga bikin aku bingung…”

Cindy menoleh ke jendela kaca kantor, menatap pantulan dirinya sendiri.

> “Apa aku harus nunggu? Atau cari jalan sendiri?”

Ia menunduk, teringat semua yang sempat ia bagi dengan Jefta, dan sekarang — seolah tak bisa benar-benar memilih.

> “Kenapa ya, hati ini gampang banget diacak-acak?”

Dan di sinilah Cindy berdiri, diantara dua cerita, dan satu ruang kosong dalam hatinya yang belum menemukan jawab.

✦ Setelah Membuka Kotak ✦

Besoknya, Cindy berangkat kerja lebih awal. Gantungan kompas itu sudah menempel di resleting tasnya. Ada rasa aneh — semacam keberanian baru, campur sedikit deg-degan.

Saat sampai kantor, Popi langsung menatapnya curiga.

> “Cin, itu gantungan baru ya? Lucu banget!”

> “Oh… ini dari Christian,” jawab Cindy pelan, tersenyum tanpa beban.

Popi menaikkan alis. “Wah, kamu kelihatan happy banget. Gimana rasanya? Masih galau?”

> “Nggak juga. Entahlah, aku kayak diingetin… walau Christian pernah jadi ‘arah’, sekarang aku bisa nemuin jalanku sendiri.”

Popi manggut-manggut sambil menepuk bahu Cindy. “Bagus. Kamu pantas bahagia, Cin. Lagian…”

Popi menoleh pelan ke arah lorong kantor, tempat Jefta baru saja datang dengan kemeja biru navy rapi dan rambut yang ditata lebih klimis dari biasanya.

> “…ada orang lain yang kayaknya masih mau jadi bagian arah hidup kamu, tuh.”

Cindy refleks menoleh. Jefta sedang sibuk mengutak-atik file di meja kerjanya, pura-pura tidak melihat Cindy — padahal ekor matanya jelas mencuri pandang.

> “Popi, jangan mulai…” Cindy tertawa kecil, menunduk.

> “Lah, aku cuma bilang fakta,” cengir Popi.


---

Sementara itu Jefta, yang melihat gantungan kompas itu di tas Cindy, sempat mengerutkan kening.

Kompas.
Christian.
Kenangan.

Ada rasa tak nyaman yang menyelinap di dadanya.

> “Dia masih nyimpen sesuatu dari Christian…”

Jefta menarik napas, mencoba fokus ke pekerjaannya, padahal pikirannya berantakan. Cindy terlihat lebih cerah hari ini, dan Jefta lega sekaligus… takut.

Takut kehilangan momentum, takut kalau kompas itu benar-benar mengarahkan Cindy ke orang lain.


---

> “Gue nggak boleh kalah…”

Jefta meremas jemarinya. Dia bertekad, tak mau hanya jadi penonton di hati Cindy.


✦ Makan Malam yang (Tak) Biasa ✦

Hari itu, Steven — masih merasa bersalah — mengajak semua tim inti Keep House makan malam di restoran semi-formal. Katanya sebagai apresiasi setelah proyek kolaborasi sukses, sekaligus menebus rasa tidak enaknya gara-gara video mabuk tempo hari.

Cindy sempat menolak, tapi Popi narik tangannya.

> “Cin, gratis! Kamu nggak mau rugi kan?”

> “Popi…”

> “Gratis, Cin. Sekali lagi… G-R-A-T-I-S.”

Akhirnya Cindy menyerah.

Restoran itu bergaya hangat dengan lampu temaram. Steven sudah duduk duluan, ditemani Jefta, yang tampak masih agak canggung sejak kejadian mabuk beberapa hari lalu.

> “Cin, sini duduk,” Steven menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Popi dan Sitty ikut nimbrung. Obrolan awalnya tentang kerjaan, deadline yang menumpuk, dan rencana presentasi ke klien.

Cindy mencoba tersenyum meski pikirannya masih terpaut sedikit ke Christian — yang sudah kembali ke Berlin beberapa hari sebelumnya. Ia sempat menatap gantungan kompas di tasnya, hadiah perpisahan Christian.

> “Dia udah balik ke sana… dan aku harus move on,” gumamnya dalam hati.

Pelayan datang mencatat pesanan. Popi kalap memesan banyak, Steven cuma geleng-geleng kepala, dan Jefta diam menekuri ponselnya. Sesekali ia mencuri pandang ke Cindy.

> “Jef, kamu pesan apa?” tanya Cindy, berusaha ramah.

Jefta mendongak, agak terkejut, lalu buru-buru menjawab, “Apa aja deh. Ikut kamu aja.”

Popi langsung nyeletuk, “Ih, manis banget jawabnya!”

Cindy menunduk, sedikit salah tingkah. Sementara Sitty tertawa geli, Steven hanya mengangkat alis melihat adegan mini-drama itu.

> “Pokoknya malam ini santai, nggak ada bahas video viral, apalagi drama patah hati. Deal?” kata Steven sambil menegaskan.

> “Deal!” balas Popi mantap.

Makan malam berjalan hangat. Obrolan ngalor-ngidul, tentang gosip kantor, tentang liburan, tentang drama Korea favorit Sitty. Cindy kadang-kadang terdiam — memikirkan Christian, lalu menatap Jefta, lalu bingung sendiri.

> “Jefta memang belum pasti, tapi… entah kenapa aku nyaman.”

Jefta pun sesekali terlihat ingin bicara, tapi mengurungkan niat. Ia sadar posisinya belum jelas di hati Cindy.

Makanan datang. Gelak tawa mewarnai suasana.

Saat dessert tiba, Popi teriak kegirangan karena pesanannya gratis dihadiahkan pihak resto — menambah suasana tambah cair.

Dan di tengah kehebohan itu, Cindy meremas gantungan kompasnya pelan.

Kompas itu masih di sana.
Tapi arah hatinya belum jelas.

Jefta memperhatikan Cindy diam-diam. Ada keraguan, ada harapan — bercampur jadi satu.

Karena malam itu, mereka semua sama-sama belajar:
Kadang pulang ke hati seseorang butuh keberanian…
lebih dari sekadar menunggu waktu yang tepat.

 

...

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Train to Heaven
1073      692     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
Before You Go
431      292     2     
Short Story
Kisah seorang Gadis yang mencoba memperjuangkan sebelum akhirnya merelakan
Dua Warna
650      448     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
SENJA
563      436     0     
Short Story
Cerita tentang cinta dan persahabatan ,yang berawal dari senja dan berakhir saat senja...
Dunia Sasha
6473      2186     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...
Sahara
22761      3435     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
The Alter Ego of The Ocean
538      376     0     
Short Story
\"She always thought that the world is a big fat unsolved puzzles, little did she knew that he thought its not the world\'s puzzles that is uncrackable. It\'s hers.\" Wolfgang Klein just got his novel adapted for a hyped, anticipated upcoming movie. But, it wasn\'t the hype that made him sweats...
the Overture Story of Peterpan and Tinkerbell
14064      9163     3     
Romance
Kalian tahu cerita peterpan kan? Kisah tentang seorang anak lelaki tampan yang tidak ingin tumbuh dewasa, lalu seorang peri bernama Tinkerbell membawanya kesebuah pulau,milik para peri, dimana mereka tidak tumbuh dewasa dan hanya hidup dengan kebahagiaan, juga berpetualang melawan seorang bajak laut bernama Hook, seperti yang kalian tahu sang peri Tinkerbell mencintai Peterpan, ia membagi setiap...
Senja di Sela Wisteria
442      280     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Rindu Yang Tak Berujung
569      401     7     
Short Story
Ketika rindu ini tak bisa dibendung lagi, aku hanya mampu memandang wajah teduh milikmu melalui selembar foto yang diabadikan sesaat sebelum engkau pergi. Selamanya, rindu ini hanya untukmu, Suamiku.