Angin Pantai dan Rasa yang Tak Pernah Libur
Liburan kantor tahunan akhirnya tiba.
Tujuan tahun ini: Pantai Nusa Gentala, tempat tersembunyi dengan pasir putih dan air sebening kaca. Tim kantor serempak bersorak waktu Steven mengumumkan, “Biaya ditanggung perusahaan. Tapi kerjaan tetap harus selesai dulu, ya!”
---
Bus, Tawa, dan Tatapan Terselip
Perjalanan ke pantai memakan waktu tiga jam. Di dalam bus, semua tertawa, karaoke, dan rebutan cemilan. Cindy duduk di samping Jefta karena… Popi dan Sitty sengaja mengatur bangku.
> “Ayo, biar Jefta jaga kamu kalau kamu mabuk darat,” bisik Popi genit.
Cindy melempar tatapan tajam, tapi tetap duduk. Setengah jam berlalu, dan ia mulai mengantuk. Tanpa sadar, kepalanya bersandar ke bahu Jefta.
Jefta diam. Tapi ada senyum kecil di bibirnya.
---
Sampai, Selfie, dan Sedikit Drama
Mobil travel berhenti di sebuah penginapan tepi pantai. Udara asin menyambut. Angin membawa suara ombak dan aroma laut yang khas. Begitu pintu terbuka, Popi langsung melonjak keluar.
> “Liburan! Hidup!”
Sitty menyusul dengan kamera instan. “Satu, dua, tiga—smileee!”
Cindy turun pelan-pelan. Sinar matahari menyilaukan matanya. Ia baru mau membuka koper ketika suara yang familiar terdengar.
> “Cindy, koper kamu berat banget sih. Isinya batu?” Jefta sudah mengangkat kopernya ke penginapan.
> “Aku bisa bawa sendiri,” Cindy menepis, tapi Jefta sudah jalan lebih dulu.
Wina menyipitkan mata dari belakang, matanya mengunci pada Cindy dan Jefta. Dia menyentuh kalung kecil di lehernya—hadiah dari Jefta saat mereka masih SMA. Kenangan lama berdesakan naik ke permukaan.
> “Dulu cuma aku yang bisa bikin dia tertawa…”
Hotel tempat mereka menginap langsung diserbu. Para pegawai sibuk foto-foto, mengganti baju, dan… mulai menyebar ke pantai. Cindy berjalan santai sambil membawa kamera saku. Saat itulah, Wina muncul.
Wina adalah staf HRD. Tidak Tinggi, manis, dan penuh gaya.
> “Kamu kelihatan cocok banget sama pantai, Jef,” ujar Wina saat mereka berkumpul di tepi dermaga.
> “Masa?” Jefta tertawa. “Aku lebih cocok sama kubikel kantor kayaknya.”
> “Kamu bisa cocok di mana aja, asal... ada yang temani.”
Nada Wina terdengar dalam. Cindy yang mendengar dari belakang, sontak berhenti.
---
Cemburu dalam Diam
Sore harinya, saat semua berkumpul untuk main volley pantai, Cindy bersandar di pohon kelapa sambil memperhatikan Wina dan Jefta bermain di satu tim. Mereka terlihat kompak. Tertawa. Salting.
Dan entah kenapa, dada Cindy terasa sesak.
> “Cind,” panggil Sitty sambil menyodorkan kelapa muda, “mau nonton doang atau mau ikut main?”
> “Males gerak,” jawab Cindy datar.
> “Atau… males ngeliat mereka?” goda Popi tiba-tiba muncul.
> “Enggak.”
> “Matamu,” cibir Sitty. “Kamu tuh jelas-jelas jealous, tapi gaya denial kayak aktris FTV.”
---
Api Unggun dan Bayangan Hati
Malamnya, api unggun dinyalakan. Semua berkumpul, duduk melingkar. Wina duduk dekat Jefta.
Cindy duduk jauh. Tak ikut bercanda.
Tiba-tiba Jefta berdiri, mengambil gitar. Semua hening.
> “Lagu ini… buat seseorang yang... terlalu keras kepala untuk menyadari kalau dirinya penting.”
Ia menatap sekilas ke arah Cindy. Lalu mulai menyanyi.
🎵 "Kita terlalu sering menyimpan, padahal hati cuma ingin bicara..." 🎵
Mata Cindy membelalak. Lagu itu—lagu yang dulu mereka putar bareng saat lembur.
> “Dia nyanyiin lagu itu...” gumamnya lirih.
Popi dan Sitty saling sikut, menahan teriakan. Tapi Wina… memeluk lututnya erat, menunduk. Air mukanya berubah.
Pagi Ceria dan Lomba Wangi
Setelah sarapan bersama dan bermain voli pantai, Steven berdiri sambil membawa dua kantong kain dan papan tulis kecil.
> “Sekarang saatnya lomba unik kita!” serunya. “Pertama: Blindfold Scent Match! Kalian akan kami tutup matanya, dan harus menebak siapa orang di balik aroma yang kalian cium. Bisa sabun, parfum, atau bau alami—tapi tidak boleh bicara! Tebakan paling akurat menang.”
Semua langsung heboh. Tawa pecah di mana-mana.
Popi berbisik ke Sitty, “Kalau baunya amis, pasti Dandy.”
Sitty tertawa. “Atau Jefta. Kan dia suka wangi-wangian maskulin tapi keras.”
> “Pertama, Cindy.”
Cindy pun ditutup matanya. Panitia menggiring lima orang ke depannya, salah satunya Jefta.
Hidungnya pelan-pelan mencium aroma dari bahu mereka. Yang pertama bau sabun bayi. Yang kedua seperti bedak bayi. Yang ketiga... ia terdiam.
Hangat. Khas. Ada aroma kayu manis samar-samar. Dia hafal benar.
> “Nomor tiga. Itu Jefta.”
Semua bersorak. Jefta senyum tipis dari tempatnya.
Wina mencibir pelan. “Tentu saja dia hafal. Mereka satu devisi malam-malam lembur terus.”
> “Selanjutnya, Jefta!”
Jefta ditutup matanya. Popi yang iseng malah pakai parfum Sitty biar menipu. Tapi saat Cindy berdiri di depan Jefta... dia langsung tersenyum.
> “Nomor empat. Itu Cindy. bau Jasmine orange, kayak di taman bunga”
Cindy tertawa.
Jefta nyengir. “Tuh kan. Hafal.”
Dan di pojok, Wina menggertakkan gigi. “Cih... nyebelin.”
---
Surat Cinta Paling Gagal —
Malam itu di bawah lampu tenda, semua duduk melingkar. Steven berdiri sambil membawa setumpuk kertas pastel.
> “Sekarang kita masuk lomba kedua: Surat Cinta Paling Gagal Tapi Menyentuh! Kalian cuma punya waktu lima menit. Jangan tulis nama. Nanti kita bacain satu-satu dan tebak siapa pengirimnya!”
Semua langsung sibuk. Bunyi bolpoin dan gumaman mengisi udara. Sitty tertawa-tawa sambil mencoret kertasnya. Popi pura-pura menulis tapi malah menggambar hati besar.
Setelah waktu habis, Steven mulai membaca satu per satu dan memilih yang paling menarik.
---
Surat 1:
> Kepada kamu yang rambutnya kayak oppa Korea tapi senyumnya bikin pusing.
Dulu aku mikir kamu nyebelin, sekarang juga. Tapi ada satu hal yang berubah:
Hatiku. Dari keras, jadi leleh kayak es krim yang disuruh jaga anak-anak.
—Dari orang yang selalu kamu isengin tiap pagi.
Semua menoleh ke Cindy. Popi langsung nuduh, “Ini kamu banget, Cin!”
Cindy cuma nyengir. “Kalau iya, kenapa?”
---
Surat 2:
> Kalau aku jadi email, kamu pasti spam. Sering muncul tapi bikin jantung deg-degan.
Tapi ternyata kamu bukan spam. Kamu notifikasi harian yang bikin aku hidup.
—Yang selalu duduk dua meja darimu.
Jefta melirik Cindy. Steven berusaha nahan tawa. “Ini siapa yang nulis? Jago juga metaforanya!”
surat 3 dari Wina:
> “Aku suka kamu sejak kita SMA. Aku ingat kamu pinjam pulpen tapi gak pernah balikin.
Aku gak butuh pulpennya, aku cuma butuh alasan buat ngobrol sama kamu.
Tapi sekarang kamu malah sibuk senyum ke orang lain.
—Dari yang pertama kali jatuh hati sebelum yang lainnya muncul.”
---
Semua terdiam dan menebak-nebak siapa ini siapa itu...
Surat 4 — Surat dari Dandy:
> Aku tahu kamu suka kopi pahit tapi tak terlalu pahit, tapi kamu selalu bilang suka pahit biar kelihatan kuat.
Aku tahu kamu nggak suka hujan, tapi kamu sering diam-diam berdiri di dekat jendela waktu hujan datang.
Aku tahu kamu sering capek, tapi kamu selalu bilang ‘enggak apa-apa’.
Aku nggak tahu kenapa aku tahu semua itu. Tapi mungkin… karena aku terlalu sering ngeliatin kamu.
—Dari yang biasanya cuma natap dari jauh.
Begitu surat ini selesai dibaca, suasana hening.
Popi berbisik, “Manis banget. Tapi… ini siapa ya? Gak mungkin Jefta, gak kayak Dandy juga. Apa Steven ya, tapi buat siapa?”
Sitty manggut-manggut. “Bisa jadi Steven. Gaya tulisannya dewasa.”
Cindy dalam hatinya. "Siapa ya kira-kira"
Jefta menggigit bibir. “Siapa pun yang nulis ini… dia peka banget.”
Wina mencibir pelan. “Terlalu peka biasanya cuma buat jadi teman.”
Sementara itu, Dandy duduk di sudut, menatap laut gelap. Tak ada yang menoleh padanya. Dan ia pun tak menoleh ke siapa-siapa—kecuali satu orang.
Cindy.
Yang tak sadar, surat itu ditulis oleh seseorang yang sejak lama hanya mengisi galon, mengisi tinta printer.
---
Api Unggun, Kebohongan, dan Reaksi Jefta
Angin malam mulai dingin saat api unggun mulai mengecil. Sebagian peserta sudah kembali ke tenda. Tinggal beberapa orang yang masih duduk, termasuk Wina, Jefta, dan Popi yang asyik membakar marshmallow.
Jefta menatap api kosong-kosong. Suara-suara tawa di sekelilingnya terdengar jauh.
Wina, yang sedari tadi memperhatikan, mendekat pelan sambil berpura-pura merapatkan jaket.
> “Kamu mikirin surat tadi ya?”
Jefta diam sejenak. “Yang surat terakhir itu?”
> “Iya. Yang tentang kopi pahit dan hujan. Puitis banget, ya.”
“Banget,” gumam Jefta. “Kayak bukan dari anak kantor kita.”
Wina tersenyum kecil—senyum menang.
> “Tapi kamu tahu gak… aku sempat lihat. Waktu semua lagi ribut, aku ngintip sebentar… tulisan tangan Steven.”
Jefta menoleh cepat. “Steven?”
> “Iya. Tulisannya rapi banget, kan? Sama persis. Lagian, siapa lagi yang bisa nulis sedalam itu kalau bukan dia?”
Jefta mengerutkan kening. Matanya langsung terarah ke Cindy, yang saat itu sedang berjalan ke arah tenda, memeluk jaketnya erat-erat, rambutnya agak berantakan, wajahnya penuh pikiran.
> Steven, ya…?
Ada sesuatu yang menyesak di dada Jefta. Entah cemburu, atau… semacam kecewa.
"Kemarin Christian sekarang Steven. Apa aku cukup mampu bersaing menerobos benteng hatinya?" Gumam dalam hatinya
Wina pura-pura menghela napas. “Aku kasihan sama kamu sih, Jef.”
Jefta menoleh, matanya menyipit. “Maksud kamu?”
Wina tersenyum manis tapi menusuk. “Cindy itu… kamu tahu kan dia dari dulu suka jadi pusat perhatian. Dari zaman SMP aja, dia selalu bikin cowok berebut. Sekarang, mungkin kamu juga cuma satu dari daftar itu.”
Jefta berdiri pelan, suaranya tenang. “Wina, aku nggak tahu kamu lagi mainin apa, tapi satu hal yang aku tahu... orang yang benar-benar tulus, nggak pernah pakai luka orang lain buat mendekat.”
Wina terdiam. Ekspresinya berubah, tapi ia menutupinya dengan tawa kecil. “Kamu pikir terlalu dalam, Jefta. Aku cuma... peduli.”
Jefta tak membalas. Ia melangkah meninggalkan api unggun.
---
Sementara itu, Dandy duduk sendirian di dekat dapur umum kecil di ujung area camping. Ia menatap langit, lalu menunduk.
Dia tidak tahu Wina melihat surat itu. Dia hanya tahu satu hal: surat itu sudah dibaca, dan tak ada yang menebak namanya.
Tapi... entah kenapa, matanya malah mencari satu sosok.
Dan saat Cindy lewat, sejenak mata mereka bertemu.
Cindy menunduk. Lalu tersenyum.
Hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat malam terasa sedikit lebih hangat bagi Dandy.
---