✦ Meeting Terakhir ✦
[Ruang Rapat – Sore Hari, Kantor Keep House]
Lampu gantung menyala hangat di ruangan rapat utama. Di ujung meja, Steven duduk tegak dengan jasnya yang rapi. Di sampingnya, Christian membuka slide presentasi final dengan tangan masih sedikit gemetar—entah karena gugup atau karena ini akan jadi presentasi terakhirnya di kantor ini.
Di seberang meja, duduk Cindy, Jefta, Popi, sitty dan dua anggota kreatif lainnya.
> “Christian, silakan mulai,” ucap Steven.
Christian berdiri. Ia memulai pemaparan hasil kolaborasi proyek branding "Rumah Rasa"—sebuah kampanye digital baru untuk properti berkonsep tematik keluarga.
Slide demi slide mengalir. Data engagement, desain visual, video pendek, hingga testimoni klien.
> “Dan hasilnya...”
Christian menekan clicker terakhir, menampilkan grafik melambung.
“Adalah konversi terbesar tahun ini untuk proyek dengan durasi terbatas. Terima kasih untuk kerja samanya, terutama tim kreatif.”
Semua tepuk tangan. Cindy tersenyum—senyum yang menyimpan rasa kehilangan yang belum sempat dijelaskan.
> Steven mengangguk puas. “Presentasi yang bagus, Christian. Kamu bukan cuma tamu di proyek ini. Kamu bagian dari Keep House.”
Christian tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak Steven.”
> Jefta mengangguk pelan dari tempat duduknya, matanya menatap layar—menghindari pandangannya bertemu Christian.
---
✦ Pesta Perpisahan ✦
[Rooftop Kantor – Malam Hari]
Lampu hias menggantung di antara tiang-tiang rooftop. Meja panjang penuh makanan ringan, es krim, minuman soda, dan satu kue besar bertuliskan: “Goodbye is just another Hello in disguise.”
Semua orang hadir: tim kreatif, staf admin, bahkan Bu Atik dari keuangan. Musik akustik mengalun lembut.
> “Christian! Ini minumanmu—es jeruk favorit kamu!” teriak Popi sambil menyodorkan gelas.
> “Thanks, Pop. Kamu masih ingat.”
> “Aku ingat semua yang kamu suka. Tapi kamu tetep milih pulang ke Berlin. Dasar!”
Cindy datang belakangan, mengenakan cardigan hitam dan jeans. Rambutnya dikuncir sederhana.
Jefta sudah lebih dulu berdiri di sudut rooftop, menyesap soda, pura-pura menikmati pemandangan kota padahal dari tadi tak henti melirik ke arah Christian dan Cindy.
> “Cin,” sapa Christian ketika Cindy mendekat.
“Kamu telat.”
“Aku tahu. Aku butuh waktu buat... siap.”
Christian menyerahkan kotak kecil. “Buka nanti, ya. Tapi janji jangan nangis.”
Cindy tertawa kecil. “Kamu pikir aku bakal nangis?”
> “Kamu selalu sok kuat.”
Mereka tertawa lagi. Tapi heningnya terasa lebih panjang.
---
✦ Beberapa Jam Kemudian ✦
Steven memanggil semua berdiri mengelilingi kue.
> “Rekan-rekan, malam ini kita melepas Christian. Terima kasih sudah jadi bagian dari Keep House, meski hanya sementara. Tapi jejakmu—di desain, strategi, dan semangat tim—akan tetap tinggal.”
Tepuk tangan riuh.
Lalu giliran Christian berbicara:
> “Aku datang ke Jakarta hanya untuk proyek. Tapi aku pulang dengan lebih dari itu. Teman baru. Pelajaran hidup. Dan... beberapa kenangan yang mungkin akan lama tinggal di hati.”
Ia menatap Cindy sebentar, lalu menunduk.
> “Terima kasih. Semoga kalian terus membangun rumah, bukan hanya secara fisik… tapi juga rumah yang terasa.”
✦ Pesta Perpisahan: Versi Tak Terlupakan ✦
[Rooftop Kantor – Pukul 21.30]
Suasana sudah makin cair. Musik ’90-an diputar, lampu hias berkedip seperti disko mini, dan kue perpisahan tinggal separuh. Gelas-gelas soda, jus, dan entah minuman apa lagi bertebaran.
Steven berdiri di tengah lingkaran sambil mengangkat satu botol berlabel mencurigakan.
> “Oke, ini khusus tamu kehormatan dan tim terbaik!” serunya sambil menuang ke dua gelas.
Tanpa sepengetahuan Cindy dan tim kreatif lainnya, Steven sengaja menuang campuran sparkling juice dan sedikit wine putih ke gelas Christian dan Jefta.
> “Minum! Demi keberhasilan proyek dan... kehidupan cinta yang penuh misteri!”
Christian dan Jefta—yang terlalu sopan untuk menolak dan terlalu penat untuk curiga—angkat gelas.
> “Cheers, bro.”
“Cheers, rival cinta.”
“HAH?”
“Eh? Nggak. Maksud gue rival presentasi. Hahaha.”
---
✦ 40 Menit Kemudian ✦
[Area Sofa Pinggir Rooftop]
Cindy sedang asyik ngobrol dengan Popi dan Sitty, saat dari kejauhan terdengar suara teriakan kecil.
> “AKU NGGAK CEMBURU! AKU HANYA... AKU HANYA HERAN! Aku paham dia rumah lama-mu kan? Tapi cobalah datang ke rumahku kamu pasti betah"
Itu suara Jefta.
Cindy menoleh. Popi langsung menepuk bahu Cindy pelan, “Cin, itu jefta dan Christian... mulai error.”
Christian tak kalah kocak. Ia berdiri di atas kursi sambil menunjuk langit.
> “BINTANG! Liat! Di Berlin langitnya kayak gini juga. Tapi gak ada... gak ada kamu, Cindy. GAK ADA!Cindy… aku rumah. Tapi Jefta tuh... ruang tamunya yang nyaman. Percaya deh sama Aku" Lalu dia pingsan
Steven menahan tawa di pojokan sambil merekam semuanya.
> “Ini... akan jadi arsip legendaris. ‘Ketika ketua tim dan kolaborator internasional mabuk karena cinta."
✦ Hari yang Sepi Tapi Ramai ✦
[Pagi Hari – Kantor Keep House]
Ruang kantor masih sepi ketika Cindy datang. Tapi suara notifikasi grup sudah ramai. Grup Team Kreatif Keep House banjir dengan video-video pesta tadi malam.
> 📹 Video Jefta teriak “AKU NGGAK CEMBURU!”
📹 Video Christian menunjuk langit, “GAK ADA KAMUUU!”
📹 Jefta dan Christian nyanyi bareng lagu "Separuh Aku" dengan fals sempurna.
Popi kirim voice note:
> “Cin, kalau kamu gak jodoh sama salah satu dari mereka, aku lapor ke netizen!”
Cindy mendesah sambil senyum. “Kenapa harus dua-duanya bikin bingung sih…”
Ia menatap meja kosong di sampingnya. Meja yang kemarin dipakai Christian selama proyek. Kini bersih. Sudah kosong.
> Tapi hatinya? Justru makin ramai.
✦ Setelah Pesta: Headache dan Heartache ✦
[Pagi Hari – Kantor Keep House]
Jefta duduk di meja kerjanya sambil memegangi kepala. Kopi hitam di tangannya sudah habis setengah, tapi pusingnya masih utuh.
> “Kenapa aku semalam nurut-nurut aja dilkasih minuman sama Steven sih...”
Notifikasi grup kreatif Keep House bunyi lagi. Kali ini bukan chat, tapi video.
📹 Video berdurasi 14 detik
Jefta, berdiri di atas kursi, dengan mata setengah merem dan suara serak:
> “AKU GAK CEMBURUUU! AKU CUMA... GAK SUKA LIAT DIA SAMA COWOK LAIN YANG BUKAN AKU!”
Satu detik hening.
Lalu Jefta menjatuhkan diri ke bean bag sambil nyanyi, “Kau begitu sempurnaaaaa...”
Wajah Jefta langsung memerah. Ia menyandarkan kepala ke meja dan berteriak pelan:
> “YA AMPUN, APAAN ITU?!”
Popi datang dari belakang sambil nyengir.
> “Selamat pagi, artis utama pesta semalam.”
> “Kamu yang rekam itu?!”
> “Gak cuma aku. Satu kantor udah simpen di galeri. Mau aku kirim versi slow-mo-nya?”
Jefta menutup wajah pakai map presentasi.
> “Bumi, buka dong... mau aku masukin kepala ke intinya.”
Jefta menutup wajahnya lagi.
> “Udah, Popi! Upload aja sekalian ke TikTok. Biar seluruh dunia tahu penderitaan batinku.”
> “kamu gak tahu??. Bahkan ada yang edit pakai background bintang-bintang dan filter air mata loh!” menutup mulutnya menahan tawa
✦ Perpisahan Tanpa Drama ✦
[Bandara – Siang Hari]
Christian berdiri di depan pintu keberangkatan. Kali ini, tak ada pelukan panjang seperti waktu dulu. Hanya senyum, dan beberapa detik saling tatap.
> “Kali ini aku gak akan bilang 'kita ketemu di versi terbaik'... karena kamu udah jadi versi terbaik dari dirimu sendiri.”
“Dan kamu?”
“Aku masih... versi yang cari jalan pulang.”
Mereka saling tersenyum. Lalu Christian masuk ke ruang keberangkatan. Tak ada air mata. Hanya kelegaan, bahwa mereka telah saling melepaskan… dengan utuh.
--
---
✦ Cindy dan Tawa yang Tak Ditahan ✦
Cindy kembali dari bandara, sambil membawa dua gelas teh tarik.
> “Jef… kamu gapapa?”
“Gapapa dari mana? Nama baikku rusak.”
“Kamu emang punya nama baik?”
“Aku serius…”
Cindy tertawa.
> “Tapi lucu sih. Kamu mabuk tapi masih mikirin aku.”
Jefta melirik Cindy.
> “Kamu gak marah? Aku... ngomong yang gak jelas semalam.”
> “Aku gak marah. Aku cuma kaget. Selama ini kamu cool banget. Ternyata di dalamnya... meleyot juga.”
Mereka tertawa bareng.
Lalu Cindy menatap Jefta lebih serius.
> “Tapi Jef, terlepas dari kamu ngomong apa semalam… kamu beneran gak suka aku deket sama Christian?”
Jefta menelan ludah.
> “Aku gak suka. Tapi aku juga sadar… kita gak punya status apa-apa.”
> “Iya. Belum.”
Jefta mendongak.
> “Belum?”
Cindy menyeruput tehnya pelan, lalu tersenyum.
> “Kira-kira menurutmu kita harus bagaimana?"