Hari itu, angin pagi membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Aku tersampir di bahu kiri Aditya, seperti biasa. Tapi dari cara jalannya, dari bagaimana ia menarik napas sebelum melangkah ke gerbang sekolah, aku tahu—ada yang mengganjal di kepalanya.
Beberapa siswa melirik ke arahnya. Sebagian tersenyum ramah. Tapi yang lain berbisik-bisik, melihatnya dari ujung mata. Aditya mencoba tidak peduli. Tapi aku bisa merasakan punggungnya menegang. Seolah tubuhnya bersiap untuk menahan sesuatu yang tak terlihat.
Begitu masuk kelas, hal itu menjadi nyata.
“Eh, Dit,” suara Arvin terdengar. Suaranya santai, tapi ada nada mencurigakan di baliknya. “Lo semalem live ya? Serius banget ngomongin ‘toxic masculinity’...”
Beberapa anak di belakang tertawa kecil.
Aditya tersenyum kaku. “Iya. Gue lagi coba bahas hal-hal kayak gitu di channel gue.”
“Wah,” kata Arvin sambil mengangkat alis. “Ternyata lo sekarang aktivis ya. Gue pikir lo gamer.”
Tawa kecil lagi. Aku bisa merasakan Aditya menggenggam tali ranselku lebih erat. Tapi ia tak menjawab. Ia duduk, menyalakan laptop, dan mencoba fokus ke materi pelajaran. Tapi sejak awal, konsentrasinya sudah buyar.
Dan hari itu, rasanya seperti berjalan dalam kabut.
Sejak podcast Teman Pagi mulai dikenal, channel YouTube Aditya ikut terdampak. Bukan viral, tapi perlahan meningkat. Subscriber-nya naik jadi tujuh ribuan. Salah satu video reflektifnya—tentang tekanan untuk selalu kelihatan kuat—ditonton dua puluh lima ribu kali. Komentar-komentar datang dari siswa SMA, mahasiswa, bahkan orang dewasa yang tak ia kenal.
Namun, komentar itu tak semuanya manis.
“Gamer kok baperan.”
“Isi videonya bagus sih, tapi kayaknya dia cuma cari simpati.”
“Dulu seru nonton Roblox-nya, sekarang isinya curhat mulu.”
Dan komentar yang paling menyakitkan datang dari akun anonim:
“Lo pengin kelihatan peka, tapi sebenernya lo cuma haus perhatian.”
Aditya membacanya malam-malam. Cahaya laptop menyorot wajahnya yang lelah. Aku tergeletak di lantai kamar, tak jauh darinya, mendengarkan deru napasnya yang berat. Jari-jarinya sempat berhenti di atas keyboard. Sejenak, aku kira ia akan mematikan laptop. Tapi justru ia membuka tab baru. Dan menulis naskah video.
Judul: Ketika Dunia Maya dan Dunia Nyata Tabrakan
Aku tahu, naskah itu tidak akan tayang dalam waktu dekat. Tapi ia menulis. Dan menulis. Sebuah kebiasaan baru yang muncul sejak Teman Pagi berdiri: mengubah kegelisahan menjadi sesuatu yang bisa diurai, bukan sekadar ditelan.
Rabu siang, sekolah mengadakan simulasi ujian. Tapi sebelum masuk ruang kelas, Aditya dipanggil ke ruang BK. Bu Ratih menunggu di dalam, ditemani seorang guru baru yang belum kukenal. Rambutnya dikuncir, wajahnya serius tapi tidak galak.
“Aditya, ini Bu Maya, guru literasi digital,” kata Bu Ratih. “Beliau lagi observasi anak-anak yang aktif di media sosial.”
Aditya duduk. Aku ia letakkan di lantai, di samping kursi.
Bu Maya membuka pembicaraan. “Saya lihat beberapa video kamu cukup powerful. Tapi saya juga lihat kamu dapet cukup banyak respon negatif. Gimana perasaan kamu tentang itu?”
Aditya menarik napas. “Kadang capek, Bu. Gue bikin konten yang gue pikir bisa bantu orang, tapi yang nonton malah bilang gue berubah. Atau lebay. Atau sok dewasa.”
Bu Maya mengangguk. “Itu konsekuensi jadi konten kreator. Identitas digital kita kadang tumbuh lebih cepat dari diri kita sendiri. Ada saat di mana orang menilai kita dari potongan kecil. Dan kita jadi harus mempertanggungjawabkan semua, bahkan yang bukan maksud kita.”
“Saya ngerasa kayak dua orang, Bu,” ujar Aditya. “Di YouTube, saya bisa ngomong hal-hal yang saya nggak bisa keluarin di dunia nyata. Tapi di sekolah, orang liat saya aneh karena saya bukan gamer doang sekarang.”
Bu Ratih tersenyum. “Aditya, kamu bukan dua orang. Kamu satu orang yang sedang berkembang. Dan itu wajar. Dunia memang belum terbiasa lihat laki-laki remaja bicara soal perasaan tanpa dituduh cari perhatian. Tapi itu bukan salah kamu.”
Sepulang sekolah, Aditya mengurung diri di kamar. Ia membuka laptop, menonton video lamanya—video Roblox, reaction meme, bahkan prank kecil yang pernah ia buat bareng Raka. Wajahnya tampak nostalgia, tapi juga canggung.
Lalu ia membuka folder baru: “Video Baru – Refleksi dan Game”.
“Gue mau coba gabungin dua dunia ini,” gumamnya pelan. “Gue main, tapi sambil cerita.”
Dan aku tahu, itu bukan usaha untuk menyenangkan semua pihak. Itu caranya menyatukan potongan-potongan dirinya. Identitas digital dan nyata yang selama ini terasa terpisah, kini mencoba dijahit dengan benang keberanian.
Malam itu, Aditya live streaming. Tapi berbeda dari biasanya. Ia main Roblox, iya. Tapi setiap jeda, ia bercerita:
“Soalnya tadi siang gue baru ngomong sama guru BK, dan dia bilang identitas digital itu kayak topeng. Kadang ngebantu, kadang nyakitin. Gue ngerasa itu bener.”
Komentar datang deras.
“Ini format baru ya?”
“Keren, bro. Kayak curhat bareng sambil main.”
“Gue juga sering ngerasa beda di dunia nyata sama pas online.”
Dan satu komentar membuat mata Aditya berkaca:
“Lo nggak sendirian. Terus terang, gue cuma bisa jujur pas pakai username palsu. Tapi lo bisa jujur pakai nama asli. Hebat banget.”
Besoknya di sekolah, Aditya sempat ragu. Tapi saat Ayu dan Raka menghampirinya di koridor, mereka tersenyum.
“Gue nonton live lo semalam,” kata Ayu. “Gue nggak ngerti Roblox, tapi gue ngerti rasanya pengin jadi diri sendiri tapi takut.”
Raka menambahkan, “Ternyata lo bisa keren juga walau nggak pake background musik keras.”
Mereka tertawa kecil. Bukan ejekan, tapi dukungan.
Hari Jumat, Teman Pagi mengadakan sesi diskusi privat. Topiknya: “Diri Kita Online dan Offline, Sama Nggak?”
Aditya duduk bersila, mencatat poin-poin di papan tulis kecil yang biasa ia simpan di tasku.
Anak-anak mulai bicara:
“Gue lebih jujur di DM Instagram daripada ngomong langsung.”
“Di rumah gue diem, tapi di Discord gue bisa ngakak bebas.”
“Aku kayak punya dua versi diri. Satunya takut. Satunya... sembunyi.”
Dan Aditya menutup sesi dengan satu kalimat:
“Kita bukan sedang pura-pura. Kita lagi cari ruang yang aman untuk muncul apa adanya.”
Malamnya, Aditya menulis jurnal:
Kadang gue ngerasa hidup di dua dunia. Tapi ternyata, bukan tentang memilih salah satu. Tapi belajar jadi utuh di antaranya. Dunia nyata dan digital sama-sama nyata. Yang penting, kita tetap pegang siapa kita di keduanya.
Jurnal itu ia selipkan di tasku. Bersama headphone-nya, naskah podcast minggu depan, dan stiker baru bergambar kartun dirinya dengan tulisan kecil:
“Nggak harus viral. Yang penting jujur.”
Dan aku tahu, langkah-langkah Aditya makin mantap. Bukan karena ia sudah bebas dari kebingungan. Tapi karena ia tidak lagi sembunyi dari perbedaan yang membentuknya.
Aku, si ransel hitam, akan terus menggendong keberanian itu. Berat? Kadang. Tapi selama Aditya terus berjalan, aku pun akan terus menjadi saksi setiap versi dirinya yang tumbuh.
***