Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Aku terbaring di atas meja belajar, menyaksikan Aditya menatap layar laptop yang menyala setengah. Word dokumen terbuka, kursornya berkedip-kedip di atas halaman kosong. Tapi tangannya belum bergerak. Ia hanya duduk di sana, menatap kosong, sementara suara dari ruang tamu terdengar samar—Pakde sedang menelepon seseorang, entah siapa.

Sudah dua hari sejak pertengkaran itu. Rumah menjadi sunyi yang tidak nyaman. Tidak ada lagi teguran ringan saat makan malam, tidak ada lagi ucapan "udah belajar belum" yang biasanya terdengar setiap Pakde berkunjung. Tapi yang lebih mengganggu dari suara keras, adalah diam yang dingin.

Aditya menarik napas panjang. Lalu mengetik perlahan.

Kepada Pakde,

Aku tahu Pakde marah. Dan aku tahu nilai-nilaiku memang belum bisa dibanggakan. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa lagi pura-pura jadi orang lain cuma buat menyenangkan orang.

Ia berhenti. Menatap layar.

Aku ikut bimbel kalau memang itu yang harus kulakukan. Tapi izinkan aku tetap lanjut Teman Pagi. Izinkan aku bikin podcast, sekali seminggu saja. Bukan karena aku males belajar. Tapi karena di sanalah aku ngerti pelajaran yang nggak diajarin di sekolah—tentang dengerin orang, tentang ngerawat diri, tentang jadi manusia.

Seketika, kursor berhenti. Ia menggigit bibirnya sendiri. Tak lama kemudian, ia save file itu, lalu mencetaknya. Kertas itu dilipat, diselipkan ke bawah gelas kopi Pakde di meja makan.

Sore itu, langkah Aditya ringan saat berjalan ke sekolah. Di tasku, ia menyimpan satu salinan tulisan itu. Mungkin untuk berjaga-jaga kalau kertas di rumah dibuang.

Di sekolah, kami tiba sebelum bel masuk. Aditya langsung menuju ruang BK, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Bu Ratih membuka pintu dan tersenyum lembut.

“Sendirian?” tanya beliau.

Aditya mengangguk. “Boleh ngobrol sebentar, Bu?”

Aku diletakkan di kursi ruang BK. Dari sinilah aku menyaksikan Aditya membuka suara untuk hal yang lebih sulit dari sekadar cerita: meminta bantuan.

“Bu, saya nggak bisa pilih antara sekolah dan... hidup saya sendiri.”

Bu Ratih memiringkan kepala. “Maksudnya?”

Aditya menarik napas. “Saya lagi seneng-senengnya ngerjain podcast dan komunitas. Tapi di rumah, saya ditekan buat fokus total belajar. Saya ngerti maksudnya, tapi... saya takut kehilangan yang udah saya bangun.”

Bu Ratih diam sesaat, lalu berkata pelan, “Kadang, yang kita perlukan bukan memilih satu dan meninggalkan yang lain. Tapi cari cara supaya keduanya bisa jalan beriringan. Kamu punya hak untuk merawat mimpi kamu. Tapi kamu juga perlu penuhi tanggung jawab.”

Aditya mengangguk. Wajahnya terlihat sedikit lebih lega.

“Kalau kamu mau, Ibu bisa bantu mediasi sama keluarga. Nggak harus sekarang. Tapi kapanpun kamu siap.”

Hari itu, di jam istirahat, Teman Pagi berkumpul seperti biasa. Tapi kali ini, wajah Aditya lebih tenang, meski kantung matanya tampak makin gelap. Ia membuka catatan kecil dari saku tasku, lalu berdiri.

“Gue punya ide,” katanya. “Gimana kalau kita bikin podcast episode spesial. Isinya: tekanan dari keluarga soal masa depan.”

Semua menoleh.

“Gue rasa, banyak di antara kita yang punya cerita tentang itu. Tentang disuruh jadi sesuatu yang nggak kita ngerti. Tentang bingung ngebuktiin ke orang tua kalau jalan yang kita pilih juga valid.”

Raka mengangkat tangan. “Gue ikut. Nyokap gue juga pengin gue jadi arsitek. Padahal gue pengin jadi ilustrator game.”

Ayu berseru, “Oke, kita bikin. Tapi konsepnya diskusi terbuka. Kita rekam rame-rame, nggak usah studio, cukup pakai HP.”

Minggu sore, mereka duduk di taman kota. Aku berada di tengah-tengah lingkaran itu, jadi alas bagi handphone yang merekam suara mereka. Angin sore berhembus, suara kendaraan lalu-lalang jadi latar.

Podcast episode itu merekam sesuatu yang baru: suara-suara yang selama ini cuma disimpan sendiri.

“Gue capek jadi anak ranking terus,” ujar Naya lirih. “Tapi kalau nilai gue turun, nyokap nangis seharian.”

“Bokap gue nggak mau gue masuk jurusan seni karena katanya ‘nggak punya masa depan’,” kata Raka.

“Gue pengin jadi guru TK. Tapi di rumah, profesi itu dianggap ‘nggak sebanding’ sama pengorbanan mereka.”

Dan ketika giliran Aditya, ia berkata:

“Gue juga lagi bingung. Tapi pelan-pelan gue sadar, mimpi orang tua itu penting. Tapi jadi diri sendiri juga penting. Kita cuma harus cari jembatan, bukan tembok.”

Hening.

Lalu, mereka tertawa. Tawa ringan, bukan karena lucu, tapi karena lega.

Malam itu, Pakde duduk di ruang tengah. Ia memegang kertas yang ditinggalkan Aditya, membaca pelan-pelan. Aku tahu karena Aditya mengintip dari sela pintu. Tak ada kemarahan. Hanya diam. Tapi diam yang berbeda dari hari sebelumnya.

Besoknya, di meja makan, Pakde berkata lirih, tanpa menatap langsung:

“Kalau kamu bisa buktiin kamu tetap tanggung jawab sama sekolah, Pakde nggak akan ganggu kegiatan kamu. Tapi jangan buang waktu. Dunia keras.”

Aditya mengangguk. “Terima kasih, Pakde.”

Di dalam tasku, ia menyelipkan catatan baru:

Gue nggak mau jadi anak yang membangkang. Tapi gue juga nggak mau jadi anak yang hilang. Dan mungkin... kompromi adalah jalan sunyi yang paling berani.

Dan aku tahu, langkah Aditya kali ini bukan tentang melawan. Tapi tentang berdiri di tengah dan tetap teguh memegang jati diri—tanpa harus kehilangan siapa pun. 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Deep End
98      89     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Tumbuh Layu
897      564     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
3143      1700     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Rumah?
103      98     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
FaraDigma
3706      1370     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
84      75     1     
True Story
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
796      406     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Glitch Mind
79      71     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Perahu Jumpa
538      412     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
TANPA KATA
77      71     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.