Aku ingat bunyi amplop itu saat diselipkan ke dalamku: ringan, tipis, tapi isinya berat. Aditya menatapnya lama sebelum memasukkannya dengan enggan. Kertas ulangan hasil simulasi. Tiga lembar, ditandai stabilo kuning oleh wali kelas, siap untuk dibawa pulang dan ditunjukkan kepada siapa pun yang menganggap angka sebagai cermin masa depan.
Aditya tidak bicara di perjalanan pulang. Bahkan headphone-nya ia biarkan diam. Aku tahu dia sedang memutar ulang pertanyaan-pertanyaan dalam kepala, bukan lagu.
“Nilai segini, gimana lo mau masuk negeri?”
“Anak laki-laki harus tangguh—nilai jelek itu malu.”
“Lo sibuk bikin video, tapi sekolah berantakan.”
Belum ada yang mengucapkan kalimat-kalimat itu. Tapi Aditya sudah lebih dulu mendengarnya di pikirannya sendiri. Dan aku ikut menggendong gema dari suara-suara itu, seperti selalu.
Kami tiba di rumah sore hari, sedikit terlambat dari biasanya. Nenek menyambut di depan dengan senyum lembut. Tapi tak lama setelah Aditya menyerahkan amplop itu, atmosfer di ruang tamu berubah. Nenek membuka perlahan, membaca, diam. Terlalu lama diam.
“Ini... nilai simulasi akhir?” tanyanya, akhirnya.
Aditya mengangguk, duduk bersila di lantai. Aku diletakkan di sisi kanannya, nyaris menempel pada dengkul.
Matanya tertunduk. Tapi bukan karena takut pada nenek. Lebih pada rasa malu yang tumbuh dari dalam.
Nenek meletakkan kertas-kertas itu ke meja. “Bahasa Indonesia oke. Tapi Matematika, IPA, IPS… kenapa turun semua?”
Aditya mencoba menjawab. “Aku... banyak persiapan buat podcast, dan—”
“Podcast?” Nenek memotongnya tanpa nada marah, tapi jelas. “Dit, kamu tuh mau jadi apa?”
Pertanyaan itu seperti hantaman di dada. Bahkan aku bisa merasakannya sampai ke resletingku. Suara yang lirih, tapi menikam. Seolah hobi yang dicintai Aditya adalah alasan dari segala kegagalan akademik yang kini ada di hadapan mereka.
Malamnya, Aditya mengurung diri di kamar. Ia tidak membuka laptop. Tidak menggambar thumbnail. Tidak menulis naskah. Ia hanya duduk, menatap dinding kosong. Aku tergeletak di sisi tempat tidur, sunyi bersamanya.
Dan saat akhirnya ia bicara, suaranya hampir tidak terdengar.
“Nenek sayang gue. Tapi dia juga pengin gue jadi kebanggaan keluarga. Gue ngerti.”
Ia mengusap wajah dengan dua tangan. Napasnya pendek-pendek. Lalu ia berbaring dan menarik selimut sampai menutupi kepala.
Besoknya di sekolah, Aditya tidak langsung ke kelas. Ia memutar dulu ke tangga belakang gedung lab komputer, tempat yang jarang dilewati guru. Tempat biasa ia datangi saat pikirannya penuh dan dadanya sesak. Ia duduk di sana, bersandar padaku, dan membuka HP. Membaca ulang DM dari seseorang yang pernah nonton videonya.
“Kak, terima kasih udah bikin podcast soal tekanan jadi ‘anak pintar’. Aku kuliah hukum karena disuruh, tapi sebenarnya aku pengen jadi ilustrator. Dengerin Teman Pagi ngebantu aku berani ngomong jujur ke orang tua.”
Aditya tersenyum tipis. Bukan senyum lega, tapi semacam pengingat: bahwa apa yang ia lakukan memang belum bisa menyenangkan semua orang—terutama keluarganya. Tapi itu bukan berarti sia-sia.
Di kelas, guru membagikan nilai secara terbuka. Arvin, dengan bangga, mengangkat kertasnya. “IPA gua 89, bro. Aman masuk negeri.”
Beberapa anak bersorak, memberi tos.
Raka juga dapat nilai bagus. Ayu, meski ekspresi wajahnya datar, mencatat setiap skor dengan rapi di buku kecil.
Aditya? Dia hanya melipat lembar nilainya dan menyimpannya diam-diam ke dalamku. Tak ada ucapan. Tak ada ekspresi. Tapi aku tahu, di dalamnya, ada badai yang belum reda.
Saat Teman Pagi berkumpul sore itu, mereka memutuskan untuk bahas tema yang agak sensitif: “Orang Tua dan Ekspektasi”.
Ayu membuka obrolan. “Gue enggak dimarahin pas nilai turun. Tapi nyokap cuma bilang, ‘Yah, sayang banget. Padahal kamu tuh bisa lebih dari ini.’ Itu malah lebih nyesek.”
Raka mengangguk. “Gue juga. Bukan soal teriak-teriakan. Tapi pandangan mereka pas ngelihat kertas nilai tuh kayak… kecewa yang enggak diucapin.”
Aditya diam. Lama. Baru saat sesi hampir berakhir, ia angkat bicara.
“Gue tahu, keluarga gue sayang sama gue. Tapi mereka juga punya bayangan tentang masa depan gue. Bayangan yang enggak selalu sama kayak bayangan gue sendiri.”
Seseorang di lingkaran itu bertanya pelan, “Kalau bayangan mereka beda banget, lo bakal milih yang mana?”
Dan Aditya menjawab lirih, “Mungkin... gue bakal bikin jalan sendiri. Tapi gue juga pengin mereka tetap bangga.”
Malam itu, Aditya menulis surat untuk nenek. Tulisan tangan, di kertas binder yang robek dari buku catatan. Ia melipatnya rapi, menyelipkannya di sampul depan tasku. Esoknya, ia menyerahkan tasku langsung ke nenek sebelum pergi sekolah.
Aku merasa seperti burung merpati pembawa pesan rahasia. Dan sepanjang hari, aku menunggu. Menanti apakah surat itu akan membuat segalanya lebih baik, atau malah memburuk.
Isi surat itu sederhana:
Nek, maaf kalau nilai Aditya belum bagus.
Tapi Aditya sedang berusaha. Bukan cuma jadi pintar, tapi juga jadi orang yang ngerti apa arti hidup.
Aditya suka podcast bukan karena mau jadi artis. Tapi karena itu satu-satunya tempat Aditya bisa bantu orang lain, sambil bantu diri sendiri.
Nenek dulu bilang, orang baik itu bukan yang paling kaya atau paling pintar. Tapi yang berguna.
Aditya belum sehebat itu. Tapi Aditya sedang berusaha ke arah sana.
Makasih karena masih mau percaya.
Sepulang sekolah, nenek memeluk Aditya tanpa bicara banyak. Tapi dari caranya mengelus rambut cucunya, aku tahu: kata-kata di surat itu sudah sampai. Tak menyelesaikan segalanya, tapi cukup untuk membuat mereka saling memahami lagi.
Malamnya, Aditya merekam podcast sendirian. Kali ini bukan sesi Teman Pagi, bukan kolaborasi. Hanya dia dan mikrofonnya. Suaranya pelan tapi mantap.
“Gue dulu kira nilai menentukan segalanya. Sekarang gue tahu, nilai penting, tapi bukan satu-satunya cara untuk jadi berguna. Kalau lo lagi gagal, bukan berarti lo nggak layak punya mimpi. Dan kalau mimpi lo ditertawakan, itu bukan berarti lo salah jalan. Mungkin lo cuma beda.”
Dan setelah selesai, dia menuliskan satu kalimat di buku jurnal yang ia sembunyikan di dalam diriku:
“Gue nggak akan jadi sempurna. Tapi gue mau jadi utuh.”
Aku, si tas hitam, akan terus menggendong surat-surat tak terkirim, jurnal-jurnal gelisah, dan mimpi-mimpi yang belum punya bentuk pasti. Karena di setiap benang kusut kehidupan Aditya, aku tahu—ada satu hal yang tak pernah hilang: keberaniannya untuk terus mencoba.
***