Loading...
Logo TinLit
Read Story - Halo Benalu
MENU
About Us  

Rhesya menutup kotak bekal yang di dalamnya penuh berisi pudding rasa alpukat yang begitu wangi dan cantik. Ia sudah memikirkanya matang-matang setelah pertemuanya dengan Genta di bukit belakang Gleen Café senja itu. Ia tidak akan egois lagi untuk siapapun. Wajah Genta yang membuatnya merasa jika pria itu memang begitu tulus dan baik. Beban di pundak pria itu yang tidak akan pernah ia biarkan pikul sendiri lagi. Rhesya akan meminta maaf secara formal pada Genta.

 “Apa itu?” tanya Ferdinan yang baru saja pulang dari kantornya di pukul 7 malam.

 “Pudding.” Rhesya buru-buru memasukkan kotak itu pada totebag biru muda.

 “Sya.”

 Rhesya mendongak, menatap Ferdinan yang jika dihitung menggunakan jari, baru kali ini mereka saling bertatapan setelah kejadian malam itu. Ferdinan berjalan mendekat pada Rhesya yang masih enggan juga berbicara padanya. Tetapi perlahan, Ferdinan menurunkan sedikit egonya. Ia mengelus pelan pundak Rhesya meski terasa sangat canggung dan kaku.

 “Maafkan Papa, ya.”

 Rhesya sangat terkejut mendengarnya. Maaf? Benarkah? Rhesya bahkan semakin terasa canggung ketika mendengar ucapan aneh itu dari bibir Ferdinan sendiri. Tetapi untuk membalasnya, Rhesya hanya menganggukkan kepala.

 “Jadi, Papa dimaafin?”

 “Iya. Rhesya juga minta maaf. Rhesya nyakitin Papa,” ujar Rhesya tanpa mau mendongak menatap Ferdinan yang justru tersenyum tipis, lantas mengangguk.

 “Kamu mau keluar?”

 “Mau ke rumah Kak Genta.”

 “Genta?” Ferdinan yang kini semakin terkejut mendengar ucapan Rhesya.

 “Rhesya mau minta maaf sama Kak Genta. Rhesya mungkin kelewatan.”

 “Mau Papa antar?”

 “Nggak usah, Pah. Papa pasti mau istirahat. Biar sama taksi aja. Nanti pulangnya…”

 “Genta pasti antar,” potong Ferdinan pasti.

 Rhesya hanya membalas ucapan Ferdinan dengan mengangguk sambil menyembunyikan senyum. Setelah berpamitan, Rhesya berlalu dari dapur menuju kamarnya untuk bersiap. Meskipun Rhesya merasa malu jika harus datang ke rumah Genta di malam hari begini seorang diri, namun Rhesya merasa ini adalah cara paling sopan untuk meminta maaf.

 Rhesya tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu sebuah taksi datang dan berhenti di depan gerbang rumahnya. Entah mengapa tetapi Rhesya merasa begitu gugup untuk bertemu dengan Genta. Ia berkali-kali meyakinkan hatinya, sambil melihat bulan dan bintang-bintang yang menari di antara langit gelap yang begitu cerah.

Bintang? Rhesya tiba-tiba teringat ketika duduk bersama Ethan di bangku teras minimarket. Bintang itu begitu mengingatkanya akan wajah Ethan. Rhesya masih mencintai pria itu, masih. Ia menundukkan kepala menatapi totebag biru di pangkuan. Sangking sibuk dengan pikiranya sendiri, Rhesya sampai ditegur sopir taksi tiga kali karena sudah sampai pada alamat yang dituju.

“Makasih, Pak.” Rhesya turun dari taksinya, sambil merapihkan penampilan di depan gerbang rumah Genta.

Tanpa Rhesya tahu, di dalam rumah yang akan ia masuki itu, Genta sudah membulatkan tekadnya untuk menyudahi kebohongan yang mengganjal perasaanya. Ia telah duduk berhadapan dengan Erlie dan Cakra di ruang keluarga.

“Ada apa, Ta?” tanya Erlie mencoba memastikan.

“Bun. Genta rasa, udah nggak bisa nerusin perjodohan sama Rhesya, Bun.” Genta berbicara hati-hati.

“Gitu? Alasanya?” Cakra nampak begitu khawatir dengan putranya, meskipun ia dapat menebak, siapa di antara mereka yang menolaknya terlebih dahulu.

“Genta rasa, nggak ada kecocokan di antara kita…” Genta tahu ini alasanya, tetapi mengapa begitu berat. Seolah ia pun telah membohongi dirinya sendiri.

“Kau yakin, Genta?” Erlie lebih lembut lagi menatap wajah Genta.

Ting… Tong…

Suara bel rumah mereka menghentikan obrolan serius keluarga Cakra di ruang keluarga. Genta terpaksa menelan ludahnya sendiri untuk menunda jawaban yang akan ia berikan pada Erlie.

“Sebentar, ya.” Erlie bangkit dari sofanya, menepuk pelan pundak Genta, lantas berlalu.

Erlie bergegas membuka pintu rumah, sebelum mendapati seorang wanita yang tengah berdiri di sana. Rhesya? Erlie berbinar seketika mendapati wanita yang sudah hampir satu minggu lebih lamanya tidak terlihat lagi datang ke rumahnya.

“Rhesya??”

Suara bahagia Erlie ketika menyebut nama Rhesya, sampai terdengar masuk ke ruang keluarga tempat di mana Genta dan Cakra duduk. Genta sempat terkejut beberapa detik ketika mendengar nama itu. Belum lagi suara Rhesya yang tampak terdengar samar. Ia beralih menatap Cakra seolah sedang memastikan jika ia tidak sedang berhalusinasi sendiri. Sedangkan yang ditatap, hanya menaikkan alis dan mengedikkan bahu, sampai akhirnya Genta telah memastikanya sendiri.

“Lihat siapa yang datang?” tanya Erlie di ruang keluarga.

Genta memutar kepala, mendapati Rhesya yang tengah tersenyum padanya dalam rangkulan lengan Erlie. Genta yakin ia tidak salah melihat wanita itu. Sedang apa dia datang disaat Genta sudah membulatkan tekad untuk berbicara pada kedua orang tuanya?

“Halo Rhesya… Haha. Sini-sini.” Cakra yang pertama tersenyum sumringah, untuk menyambut datangnya Rhesya ketika melihat putranya justru membengong seperti orang linglung di tengah mereka.

“Selamat malam, Yah.” Rhesya datang menyalami Cakra di hadapan Genta.

“Malam. Lama sekali tidak main ke rumah?”

“Iya Ayah, maaf.” Rhesya menunduk malu-malu, sebelum bola matanya menangkap pandang Genta. Pria itu tidak seperti dugaanya ketika ia datang. Ia malah lebih bingung dan sulit untuk berbicara. Ada apa?

Mengerti jika kedua anak itu membutuhkan waktu untuk mengobrol, Erlie bergegas membuka suara sambil mendekati Genta, “Ta. Ajak Rhesya ke atas aja. Biar enak kalian ngobrolnya.”

“Oh iya, Bun.” Genta mengangguk, kemudian menatap Rhesya lagi, “ayo, Sya.”

Rhesya tersenyum pada Cakra dan Erlie untuk berpamitan. Setelah disetujui kedua orang itu dengan senyum hangat, Rhesya berlalu mengikuti langkah Genta menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Entahlah, Genta terasa begitu pendiam malam ini, atau justru itu hanya pikiran buruk Rhesya saja?

“Masuk, Sya. Kenapa diem di situ?” tanya Genta ketika pintu balkon ruang musiknya telah terbuka.

“Iya.”

Rhesya langsung mendongak menatap langit-langit atap balkon yang begitu cantik. Belum lagi pemandangan gedung perkotaan di bawah sana. Ruangan paling favorit di rumah Genta. Rhesya duduk di sofa seberang Genta, yang sibuk menyalakan beberapa lampu neon cantik dan klasik di ruangan yang penuh akan tanaman Ferdinan. Lihatlah benalu yang tumbuh di batang pohon di ujung ruangan itu, juga pada sisi-sisi tembok yang terlihat begitu indah dipandang.

“Kenapa, Sya? Lo udah pernah masuk ke sini. Kenapa masih bingung gitu?” Genta menyunggingkan senyumnya sebelum duduk di sofa.

“Cantik banget. Gue suka lihatnya, Kak.”

“Nggak mau duduk di sebelah gue? Biar sambil lihat lampu-lampu kota itu?”

“Hah?” Rhesya tidak mungkin salah dengar bukan?

“Sini…” Genta menggeser posisi duduk, kemudian menepuk-nepuk sofa di sebelahnya menggunakan telapak tangan pada Rhesya.

Ada apa ini? Rhesya tidak menduga jika ada adegan semacam ini. Masih dengan gugup, Rhesya akhirnya duduk di sebelah Genta. Aroma tubuh pria itu sangat dapat Rhesya rasakan. Begitu menenangkan, yang membuat Rhesya menjatuhkan tubuhnya pada sandaran sofa sama seperti Genta.

“Bawa apa?” tanya Genta mengamati totebag biru di tangan Rhesya.

“Oh ini…” Rhesya menyelipkan rambut yang menutupi wajahnya ke belakang telinga, kemudian membuka isi totebagnya, “ta-ra! Ini pudding buatan gue sendiri lho. Gue sengaja pilih rasa alpukat, karena lo suka alpukat.”

“Buat gue? Wangi banget, Sya.” Genta tersenyum sambil ikut menerima sekotak bekal itu dari tangan Rhesya, lantas membukanya pelan-pelan.

“Buat lo dari gue. Sebagai ucapan minta maaf gue juga, Kak Genta. Maaf gue kelewatan. Maaf gue buat lo nunggu lama banget di rumah, tapi lo pulang nggak dapet apa-apa. Maaf mungkin gue kecewain lo.”

“Kenapa mesti repot-repot? Gue udah bilang nggak masalah.” Genta mencium-cium aroma alpukat pada sekotak pudding di tangan.

“Nggak papa. Gue juga pengen main ke rumah lo.” Rhesya mengambil satu sendok plastik dari dalam totebagnya untuk Genta.

“Satu doang?”

“Iya. Kan emang buat lo aja.”

“Kita makan barengan.”

“Ya udah gue ambil sendok dulu di dapur ya, Kak.” Rhesya hendak bangkit, sebelum Genta lebih dulu meraih pergelangan tangan Rhesya.

“Gue suapin lo aja.”

“Hah?”

Genta bersiap dengan sendok di tanganya. Pertama, pria itu menyuapi untuk dirinya sendiri, yang langsung membuatnya membulatkan mata. Hampir tidak percaya, ia kembali menyuapi mulutnya dengan satu sendok lagi untuk kedua kalinya.

“Enak banget, Rhesya.” Lihatlah wajah berbinar Genta malam ini.

“Kak Genta suka?”

“Suka banget. Lo mesti coba.” Genta mengambil satu sendok puddingnya, lantas ia sodorkan pada Rhesya yang mematung memandang matanya. Bola mata yang pernah ia pandang sedalam itu juga di bawah jingga petang. Denyut di jantung Genta berteriak lagi. Begitu pula dengan Rhesya yang merasa semua ini terasa begitu aneh dan dekat.

“Ayo…” Genta mengulas senyumnya, dengan sendok yang menggantung di udara.

Rhesya mengangguk, kemudian menerima suapan dari Genta. Rasanya begitu canggung, sekaligus hangat. Entah mengapa Rhesya begitu tenang dan nyaman di dekat Genta. Perasaan yang sulit ia tepis berkali-kali untuk menolak keberadaan Genta di sisinya.

“Enak, kan?”

“Enak, Kak.” Rhesya mengunyah dengan hati-hati, sambil menatap lampu-lampu bernada bising klakson kendaraan tepian kota yang padat.

“Sya, ada apa?” Genta meletakan sekotak pudding itu di atas meja.

“Apa gue egois, Kak?”

“Kenapa bilang gitu?” tanya Genta sambil menatap Rhesya yang lebih pada menatap lurus ke depan.

“Gue nggak mau lo ngadepin semua ini sendirian, tapi gue juga masih cinta dia. Dia cinta pertama gue, Kak.” Rhesya berusaha membahasnya. Berusaha mencari jalan keluar bersama Genta, jika masih bisa.

“Em, gue paham. Lo pengen gue nunggu lo?”

“Hah? Gue rasa nggak sejauh itu.” Rhesya merasa tidak enak hati dengan ucapan Genta barusan. Ia akan merasa sangat jahat jika membiarkan Genta melakukanya.

“Kenapa lo mesti dateng lagi, Sya? Gue udah mau nyerah padahal…” Genta menyunggingkan bibirnya sambil menyandarkan tubuhnya lagi pada sofa.

“Gue juga bingung kenapa gue di sini.” Rhesya menundukkan kepala dengan senyum tipis di bibirnya.

“Jangan dipaksa Rhesya. Jangan dipaksa.”

“Kak Genta juga jangan dipaksa buat mulai lagi sama orang lain kalau Kak Genta capek. Gue lebih sedih lihatnya.”

“Gue baik-baik aja, Rhesya. Sumpah.”

“Lo bohong…” potong Rhesya “Papa sayang banget sama lo tahu, Kak. Dia cuma mentingin lo, dan gue cuma bisa kasih luka ke papa. Tapi lo bisa banyak ngobrol sama papa. Sampai dia sesayang itu sama lo. Tempat ini, gue bisa ngerasain gimana papa banyak kasih luang waktunya buat lo, bukan gue. Gue nggak mau kecewain papa juga.”

Genta mengangguk mengerti. Memang ini banyak menyangkut pada keluarga mereka berdua, ketimbang mereka sendiri. Ada celah keluarga yang harus diperbaiki selain kepentingan perasaan mereka pribadi. Ada impian Genta untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Melihat cinta di mata mereka. Mengingat itu, Rhesya jadi tidak enak hati dibuatnya.

“Sekarang, boleh gue nanya sesuatu, Sya? Mungkin ini bakalan bikin lo mikir aneh-aneh, atau raguin perasaan lo sendiri. Tapi apa boleh?”

Rhesya menoleh menatap mata Genta yang juga sedang menatapnya. Mengapa Rhesya merasa degup jantungnya berdenyut aneh lagi. Ia merasa ragu akan mendengar kalimat Genta berikutnya, meskipun ia tetap menganggukan kepala.

“Rhesya, boleh gue tanya, tentang perasaan lo ke gue, Sya?”

“Apa?”

“Perasaan lo ke gue. Apapun.”

Rhesya tersenyum begitu manis. Sangat di luar dugaan Genta. Ia pikir Rhesya akan cepat mengatakan kata-kata penolakan, atau kata-kata semacam penegasan jika Rhesya hanya sedang mencinta seseorang, yang mana itu bukan dirinya.

“Gue nyaman di deket lo. Lo selalu perlakuin gue kayak anak kecil. Mungkin karena lo punya adik. Lo bisa jadi kakak yang baik buat jagain gue. Gue jadi ngerasa aman kalau deket sama lo,” jawab Rhesya.

Genta mengerti. Meskipun hanya sebatas itu, Genta dapat merasa sedikit lega akan perasaanya sendiri. Ia berhasil membuat Rhesya merasa aman. Setidaknya, membuatnya merasa nyaman. Genta merasa cukup. Berarti jika perjodohan ini gagal, ini bukan karena sikap dan perlakuanya yang mungkin menyebalkan pada Rhesya. Genta bahkan sudah sampai berusaha sejauh itu.

“Tapi gue takut…”

Genta kembali menatap punggung Rhesya yang duduk tegak menatap hamparan kota. Ia mulai fokus mendengarkan wanita itu berbicara lagi.

“Gue takut di kemudian hari bakalan lebih dari itu, sedangkan gue masih cinta sama dia. Gue takut jadi nggak tahu malu, Kak. Gue bingung harus ngobrol ke siapa. Sedangkan dia udah buat keputusan yang mestinya gue harus menyerah. Tapi kenapa ya, susah banget bikin gue sadar, kalau cinta itu udah hilang. Gue bingung.”

“Kalau gue bilang, gue suka lo, Sya?”

Rhesya merasa sedang mendengar gema-gema suara aneh di palung jauh sana. Sangat samar yang membuat angin ikut membantu mendesirkan perasaanya. Rhesya cepat menoleh ke belakang. Menatap Genta yang mulai ikut duduk tegak menatapnya begitu… dalam.

“Kalau gue bilang, gue mulai jatuh cinta, apa lo makin takut?”

“Lo ngomong apa? Kenapa tiba-tiba bilang gitu?”

“Gue bodoh banget, Sya. Gue minta maaf.”

“Sejak kapan, Kak? Lo bahkan nggak pernah bilang nerima perjodohan ini, kenapa tiba-tiba…”

“Iya, itu dia. Haha, maaf.” Genta terkekeh malu sekarang. Ini memang murni karena kebodohanya. Mengapa pula ia mesti menjebak Rhesya semakin dalam untuk perasanya. Mengapa?

“Lo bikin gue makin takut,” lirih Rhesya dengan bola mata sedikit berkaca.

“Iya, gue tahu. Gue emang bodoh.”

Tidak, Rhesya tidak merasa demikian. Rhesya tidak pernah menganggap Genta bodoh di sini. Bukankah ini memang karena kesalahanya? Karena ia yang perlahan mulai mencintai dua orang sekaligus? Rhesya lah yang patut disalahkan dalam hal ini.

“Mau kasih gue kesempatan lagi, Sya? Buat mulai lagi, semuanya.” Genta mengatakan dengan pasti.

Jantung Rhesya yang kini ikut berdegup lantaran gugup. Apakah malam ini, tadi itu, ia baru mendengar ungkapan cinta dan suka dari Genta padanya, begitu? Apa Rhesya tidak sedang salah dengar? Mengapa kini wajahnya ikut bersemu merah?

“Mau, Kak.”

Genta tersenyum hangat. Berarti malam ini bukan penolakan seperti yang Genta takutkan? Berarti malam ini justru adalah malam permulaan dari segala awal yang baru. Rhesya ikut tersenyum begitu manis pada Genta. Meskipun ia merasa akan sangat pecumah jika masih saja menyimpan nama Ethan di satu sudut hatinya, tetapi Rhesya akan mencoba lagi. Tidak ada salahnya untuk mencoba sesuatu yang sempat gagal.

“Makasih banyak, Sya.”

“Gue yang makasih.”

Genta mengusap lembut puncuk kepala Rhesya, sebelum jatuh di dadanya. Jatuh dalam dekapanya dan Rhesya yang juga ikut melingkarkan kedua tanganya di tubuh Genta. Ah, malam ini, pasti keduanya akan sulit tertidur. Meninggalkan pudding alpukat di atas meja balkon dengan angin yang menerbangkan rambut keduanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Epic Battle
435      336     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
Premonition
466      286     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2125      946     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Lovebolisme
142      124     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Paint of Pain
743      521     28     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Tanpo Arang
36      30     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Matahari untuk Kita
608      358     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Unexpectedly Survived
91      80     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
FAYENA (Menentukan Takdir)
285      240     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Ikhlas Berbuah Cinta
801      636     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...