"Ethan?”
Aureen menghampiri pria yang sedang bersandar pada mobil putih, di depan rumahnya. Ketika mendengar suara yang datang memanggil, Ethan perlahan menegakkan tubuh, menatap Aureen yang tampak terkejut sekaligus berseri ketika mendapati dirinya berdiri di pavingan ini.
“Ayo masuk. Ngapain di sini?” Aureen begitu berbinar, sambil mencoba meraih pergelangan tangan Ethan, sebelum pria itu lebih cepat menepisnya.
“Gue nggak lama,” jawab Ethan.
“Kenapa? Lo nggak pernah lagi kabarin gue, Than. Nggak pernah lagi bales pesan-pesan gue.”
“Dari awal pun gitu. Gue cuma nolong lo, Reen. Nggak lebih.”
“Lo mau bahas soal Hito?” tanya Aureen to the point.
Aureen mulai mengerti. Dari segala tingkah Ethan yang mulai perlahan menjauhinya, enggan menemuinya, malas hanya untuk sekedar membalas pesan-pesanya. Aureen merasa jatuh untuk kesekian kali. Jadi, ia pun paham jika kedatangan Ethan ke sini pasti bukan untuk menemuinya, melainkan urusan Hito.
“Lo tahu Hito mau pulang ke Jepang?”
“Hah? Nggak, Than.”
“Lo bisa cegah dia? Gue mohon, Reen. Gue kehabisan akal buat Hito. Dia kelewatan, gue minta udahin. Kita nggak ada apa-apa kan, Reen dari awal? Iya, kan?” Ethan meraih pundak Aureen supaya fokus pada arah pembicaraanya kali ini.
“Sakit banget tahu, Than.” Aureen mendadak berkaca memandang mata Ethan yang mendesak dirinya untuk cepat menjawab.
“Aureen…” Ethan melepas cekalanya dari pundak Aureen, sambil mengacak rambutnya frustasi, “ini bukan tentang lo doang, Aureen. Ini pertemanan kita. Ngapain dia pulang ke Jepang disaat genting gini? Dia mau kabur gitu aja setelah buat pertemanan kita hancur cuma gara-gara cewek?!”
“Lo ngomong apa Ethan, astaga.” Kali ini suara Aureen mulai serak. Ia menahan tangisnya kuat-kuat, “apa salah gue mutusin dia, karena gue ngerasa gue harus lindungin mental gue sendiri, Than?”
“Nggak ada yang salah, Reen. Nggak ada…” Ethan menatap Aureen tajam, “tapi dia nuduh kita berdua ada main di belakang dia. Bisa lo jelasin? Seenggaknya kalau lo mau mutusin dia, jangan bawa dia sampai sebenci ini sama yang lain, apalagi basket yang nggak ada sangkut pautnya, Aureen!”
“Terus lo suruh gue apa, Ethan! Lo suruh gue apa?!” Aureen memukul pundak Ethan keras berkali-kali, “apa yang bisa gue lakuin buat lo, hah?!”
Ethan memainkan lidah di dalam mulutnya, sambil menatap Aureen dengan saksama. Meskipun perempuan itu menangis di hadapanya, seperti sebelum-sebelumnya, Ethan tidak akan ambil pusing lagi untuk membicarakan perihal hati. Ia akan memilih bersikap seolah dirinya adalah Lana yang tidak menimang perasaan atas keputusanya.
“Apa masih ada kesempatan, Ethan?” suara Aureen melirih, namun menusuk di hati pria yang sempat mematung beberapa detik itu, “berapa kemungkinannya? Berapa banyak lagi gue harus korbanin hati gue sendiri, Ethan! Gue capek banget, Than. Sumpah. Gue cuma cinta sama lo, apa salahnya?! Kalau lo nggak bisa kasih perasaan lo ke gue, jangan pernah sekali lagi lo campurin perasaan gue sama Hito. Gue muak!!” Aureen berteriak sekencang-kencangnya dengan air mata yang membanjir di pipi.
Bahkan sikap perempuan itu berhasil mencuri perhatian penjaga kebun rumah dan satpam yang duduk dengan secangkir kopi di pos penjaga. Meskipun mereka tahu jika majikanya tengah menangis lantaran bertengkar, namun tidak ada yang berniat menghentikanya sendiri, setelah mengetahui jika lawan bicara Aureen adalah Ethan. Mereka lebih memilih membiarkan, karena merasa ini hanya masalah pribadi remaja. Siapa pula yang akan mengusir manusia semacam Ethan?
“Kenapa lo putusin dia gitu aja tanpa ada komunikasi sama dia, Aureen. Dia jalanin cintanya sama lo selama ini dengan rasa curiga, siapa yang betah juga. Gue udah belain lo di depan Hito malam itu, walau akhirnya tetep gue kena pukul dia. Aureen, lo ninggalin dia secara sepihak, ninggalin kebencian di hati Hito. Jadi gue minta lo bicara baik-baik sama dia, Reen.”
“Gitu?” Aureen mengusap kasar air mata di pipinya yang cantik, seolah tidak ada bakteri atau kotoran semacamnya yang hinggap. Bagaimana bisa ada manusia diberkahi anugerah itu, hanya untuk mencintai manusia yang bahkan tidak akan pernah menatapnya dengan cinta? Bagaimana kebodohan ini membuat Aureen perlahan diselimuti rasa muak dan marah.
“Gue minta, Reen. Gue nyerah.”
Aureen menganggukkan kepala. Ethan memang terlihat sangat terpukul kali ini di mata Aureen. Tidak seperti biasanya. Kini, pria itu seolah kehilangan jiwanya sendiri untuk menjadi Ethan yang menggila. Mata Ethan terlihat mengibarkan bendera putih pada Aureen.
“Gue dapet apa setelahnya, Than? Gue nggak sebodoh itu lagi sekarang. Karena gue pun tahu lo nggak akan pernah bales perasaaan gue, terus apa yang bisa jadi imbalan gue, hah?” Aureen berbicara seolah melantur, menatap Ethan sayu.
Ethan menghela napas. Apa lagi yang harus ia berikan pada Aureen, sedangkan dulu, Ethan selalu meluangkan waktunya untuk Aureen, jika perempuan itu datang dengan air mata. Lantas, kini apa yang akan Ethan gadaikan untuk situasi serumit ini?
“Apa yang lo mau, selain kemustahilan itu?” Ethan tidak lebih pasrahnya ketika berbicara demikian.
“Cium gue.”
“Lo gila?! Gue pulang. Nggak sudi.”
Ethan hendak membuka pintu mobilnya, sebelum Aureen lebih cepat menahan tubuh pria itu dalam pelukanya. Hal yang sempat membuat Ethan begitu lama memroses kinerja otaknya, untuk cepat menepis tubuhnya dari dekapan Aureen.
“Than! Apa kurangnya gue di mata lo, Than. Gue harus gimana lagi?!” Aureen lebih kuat mendekap Ethan yang terus berusaha menepisnya.
“Jangan sampai gue kasar, Reen!”
“Kenapa? Sekali aja, Ethan.”
“Reen!” Ethan kali ini mendorong kasar tubuh perempuan itu sampai jatuh ke pavingan. Ia tidak peduli sama sekali, bahkan sampai satpam rumah Aureen datang menghampiri mereka.
“Den Ethan. Maaf jika begini, Den Ethan harus keluar,” ujar satpam itu masih mencoba sesopan mungkin pada Ethan, sambil membantu Aureen berdiri.
“Emang gue mau pergi.” Ethan membuka pintu mobil, lantas masuk ke dalamnya, tanpa meninggalkan sepatah kata atau kalimat lagi pada Aureen yang mengacak rambut panjangnya sendiri sambil tergugu.
“Ethan jangan pergi. Gue bakalan lakuin apapun, Ethan. Percaya sama gue…” Aureen masih berusaha meraih kap mobil Ethan yang perlahan mundur meninggalkan dirinya yang jatuh lagi pada pavingan layaknya orang gila.
Ethan sudah tidak peduli. Ia cepat menancap gasnya, keluar dari halaman rumah itu. Meninggalkan Aureen yang meraung sambil memukul-mukul pavingan, meskipun satpam rumahnya telah membantu menenangkan.
Tanpa Aureen sadari, ada seseorang yang tengah berdiri di teras rumah, sambil menatap nanar dirinya yang terlihat begitu bodoh dan memalukan. Jemarinya terkepal di udara. Siapa lagi jika bukan mama Aureen, Luciana. Wanita itulah yang selama ini mengontrol penuh kehidupan Aureen. Melihat putrinya lagi-lagi ditolak oleh pria yang ia inginkan menjadi menantu di rumahnya, membuat perlahan ia menuruni anak tangga dengan raut wajah kecewa, namun mendominasi geram pada Aureen.
“Bodoh sekali, bahkan sampai tidak mendapatkan apapun dari Ethan. Bodoh!”
***
“Lesu banget kampret, kalian pada kenapa, dah.” Alvian membuka pembicaraan dalam satu perkumpulan di warung tongkrongan sederhana sore hari sepulang sekolah.
“Lo lihat si cupu itu.” Ethan mulai menimpali, padahal justru Alvian juga sedang berbicara pada dirinya yang lebih banyak diam sedari tadi, “mukanya kayak mau ujian sakaratul maut.”
Genta mendongak, menatap Ethan yang mulai menertawai dirinya. Tidak ada yang bisa Genta lakukan selain menghela napas, lantas menunduk lagi. Tidak bisa ia melihat wajah menyebalkan Ethan ketika mood-nya begitu buruk akhir-akhir ini.
“Lebih kayaknya.” Izal ikut bergabung dalam obrolan.
“Oh ya, gue udah nggak lihat lo sama cewek itu lagi. Anaknya Om Ferdinan,” celetuk Saka yang sibuk dengan korek api untuk memantik sebatang rokok pada selipan kedua bibirnya.
“Lah, emang gue mesti sama dia mulu?” Genta tahu jika ucapanya terdengar begitu konyol untuk ditanggapi.
“Berantem kan, lo? Tapi kok lama, hampir dua minggu gue nggak lihat kalian barengan.” Izal sang pakar cinta pun mulai terbawa suasana.
“Nggak tahu. Emang dari awal gitu.”
“Kan lo bilang misal dijodohin sama dia. Otomatis lo lagi masa pendekatan dong sama dia, “Alvian menjeda ucapanya, untuk melepaskan asap rokok ke udara, “terus, sekarang? Apa dibatalin?”
“Jadi bener lo dijodohin sama dia, Ta?” Ethan kini bertanya, bahkan terlihat begitu serius yang membuat Genta menatap pria itu.
“Lo tahu sendiri, Than.”
Ethan tiba-tiba teringat hari terakhir ia bertemu dengan Rhesya di hysteria. Ethan tidak akan lupa bagaimana cara Rhesya begitu cepat mengalihkan ekspresi dan mood-nya ketika membicarakan Genta. Ethan memiliki dugaan lain, meskipun ia pun tidak begitu yakin.
“Haha, kayaknya dia jatuh cinta sama cowok lain deh,” kekeh Ethan begitu meledek Genta, “lagian mana ada sih yang mau sama lo? Celana dalem aja nggak pernah lo cuci. Jorok.”
Semua orang tertawa kecuali Genta dan Lana. Jangan tanyakan bagaimana Lana begitu banyak diam di antara mereka karena sibuk dengan game online di ponselnya.
“Sembarangan lo. Gue cuci pakai sunlight!”
“Sunlight buat cuci piring, bego.” Saka menoyor kepala Genta lirih, yang memang duduk persis di sebelahnya.
“Pantat dia kayak pantat wajan kali, item,” tawa Ethan yang sukses disambut tawa juga dari anak-anak lain, bahkan Lana sampai ikut menyunggingkan bibirnya meskipun masih tetap pada fokus utamanya. Game online.
“Parah banget,” tawa Alvian dan Izal bersamaan.
Tidak ada tanggapan dari Genta. Ia memilih fokus berpikir dengan apa yang bisa ia lakukan setelah ini pada hubunganya dan Rhesya yang telah sampai di ujung perpisahan.
“Jadi itu beneran, Ta?” tanya Alvian lagi, “dibatalin?”
“Santai aja kalau gue.” Genta mencoba menarik senyumnya sambil meminum es kopi di atas meja.
“Halah, lemah!” celetuk Ethan tanpa berbasa-basi lagi melihat ekspresi di wajah Genta yang membuatnya serasa ingin muntah.
“Berisik lah.” Genta mencoba menampik rasa malunya karena pernyataan spontan Ethan yang membuat semua orang kini menertawainya.
“Yah, baru aja seorang Genta dapet gandengan cewek…” Izal menahan tawanya, “langsung pupus aja belum ada apa-apa.”
“Cupu, ya cupu aja sih.” Ethan terkekeh kecil.
“Emang siapa cowok yang dia suka, Ta?” Lana kini meletakkan ponselnya di atas meja setelah memenangkan game-nya. Ia fokus menatap Genta yang memang terlihat begitu murung.
“Mana gue tahu. Bukan urusan gue.”
Ethan menggelengkan kepala melihat reaksi Genta yang seolah tak peduli pada pria yang kini terlihat mengisi hati Rhesya. Tetapi Ethan tidak bodoh untuk mengetahui jika Genta rupanya tengah merasa khawatir akan sesuatu. Padahal rasanya baru kemarin Ethan berbicara pada Rhesya di parkiran, terkait pesanya untuk tidak mengecewakan Genta.
“Terus berarti batal?” tanya Saka, karena tidak juga menemukan jawaban.
“Mungkin.”
“Aman, lo masih punya kesempatan kan, Ta?” Alvian menepuk pundak sahabatnya.
Kesempatan? Ethan jadi teringat pembicaraanya semalam dengan Aureen. Kesempatan, ya? Ethan sungguh tidak yakin jika kesempatan kedua itu ada di dunia ini. Jika pun iya, Ethan bahkan tidak akan jauh berbeda dengan Genta. Ia akan mempergunakan kesempatanya sebaik mungkin untuk mengulang waktu, dimana Hito masih duduk di tengah perkumpulan ini, bersama mereka.