Tokyo Station, sore hari.
Gerbong padat, orang-orang berdesakan dalam formasi diam dan terburu-buru seperti koreografi tak tertulis.
Aku berdiri di dekat pintu, menggenggam kertas pesanan bahan dapur dari Yamamoto-san. Tinta di kertasnya sudah sedikit luntur karena keringat di telapak tanganku. Pikiran kosong, tubuh otomatis.
Pergi ke pasar grosir, ambil telur, tahu, cabai. Balik ke restoran. Selesai.
Itu rencananya.
Tapi Tokyo tidak pernah bekerja sesuai rencana. Hari ini seperti hari-hari lain yang penuh kekhawatiran, tapi masih bisa dilewati. Aku mencoba untuk berpikir bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja, meskipun ada secercah ketegangan yang mulai menyusup dalam setiap gerakanku. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang mengintai, menunggu momen yang tepat untuk muncul.
Ketika aku hampir keluar dari gate, tepat di depan pintu keluar, seseorang menepuk bahuku.
"Sumimasen. Chotto ii desu ka?"
Refleks, aku menoleh.
Dua orang pria, berjaket biru tua dengan lambang yang sudah terlalu sering kulihat di forum imigrasi, berdiri di belakangku.
Petugas imigrasi.
Seketika tubuhku membeku. Tanganku langsung terasa dingin. Suara-suara stasiun yang riuh seolah menghilang, seperti volume diturunkan paksa. Semua yang ada hanya desiran darah yang bergemuruh di telingaku, dan detak jantung yang semakin cepat. Aku bisa mendengar setiap detik berlalu, menghitung waktu dengan rasa takut yang semakin mencekam. Ini tidak akan berakhir dengan baik.
"Paspor atau kartu identitas, tolong," kata yang satu, nada sopan tapi tidak ramah. Aku merasa seperti sebuah benda yang sedang diperiksa, tak lebih dari sekadar objek untuk dicatat.
Aku membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Ada begitu banyak kata yang ingin kukatakan, tapi semuanya terasa menumpuk di tenggorokan. Tanganku bergerak menuju saku jaket, menggenggam dompet, tapi, saat itu juga, aku sadar: aku tidak membawa tas kerja. Tidak membawa map. Tidak membawa surat dari restoran.
Yang ada hanya salinan paspor fotokopi, dan selembar kartu perpustakaan Tokyo.
Aku menyerahkan kartu itu.
Petugas melihat. "Ini bukan ID resmi."
Aku mencoba berbicara. "Sumimasen... tourist. I’m… visiting friend."
Petugas menatapku. Lama.
Kemudian dia melirik temannya. Aku bisa melihat bagaimana satu dari mereka hendak mengambil sesuatu dari kantong rompinya. Aku tahu itu. Aku tahu persis apa yang akan terjadi.
Satu detik.
Dalam satu detik itu, semuanya berubah.
Aku membayangkan semuanya. Aku bisa melihatnya dalam kepala:
Aku ditahan. Dibawa ke kantor. Ditanya tanpa penerjemah. Dicatat. Dicap.
Dideportasi.
Dan Sakura... ditinggal tanpa penjelasan.
Aku hampir bisa merasakan beban itu menimpa kami berdua. Rasanya seperti dunia runtuh di hadapanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah berlari jauh di dalam pikiranku, berusaha mencari cara untuk menghindari nasib itu.
Tapi tiba-tiba, speaker stasiun mengumumkan kedatangan kereta cepat.
Kerumunan bergerak. Semua orang mulai bergerak, terdorong ke depan. Dan dalam kebingungannya, aku bisa melihat mereka kehilangan fokus hanya dalam sepersekian detik.
Aku mengangguk cepat, meskipun suara yang keluar dari bibirku hampir seperti bisikan. “Sorry. No understand. I go. Bye.”
Aku melangkah. Bukan lari, tapi cukup cepat.
Cepat. Agar aku bisa menjauh.
***
Aku tidak berhenti sampai dua blok dari stasiun.
Keringat membasahi punggung. Nafas pendek. Tangan masih gemetar. Setiap langkah terasa seperti medan pertempuran, dan setiap detik yang terlewati adalah detik yang penuh dengan ketegangan yang membuat dada ini semakin sesak. Rasanya aku sedang berlari dari seluruh dunia yang mengejarku, meskipun aku tidak tahu apa yang sedang aku lari dari.
Aku berusaha mengatur napasku, menenangkan diri, tapi sulit. Setiap bayangan tentang petugas imigrasi itu tetap mengikuti, menempel di kepala, berputar-putar dalam kegelapan pikiran. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa terus hidup seperti ini, dengan bayang-bayang ketakutan yang selalu ada di balik setiap sudut Tokyo.
Malam harinya, Sakura datang ke restoran. Aku duduk di tangga belakang, wajahku tertutup tangan. Rasanya aku tidak bisa menatap siapa pun. Terlalu banyak rasa bersalah, terlalu banyak ketakutan yang menghimpit. Aku merasa hancur, seperti sesuatu yang sangat rapuh dan hampir tak mampu bertahan.
Saat ia melihatku, ia tahu. Tidak tanya apa-apa.
Hanya duduk di sampingku.
***
“Ada petugas,” kataku pelan. “Stasiun. Hampir.”
Dia menggenggam lututnya. Wajahnya pucat, jauh lebih pucat daripada biasanya. Sakura selalu tenang, selalu bisa mengendalikan perasaan, tapi kali ini, aku bisa melihat ketegangan di wajahnya. Seolah ia tahu bahwa semuanya sudah hampir terlambat.
"Aku nggak bisa hidup begini, Sak," bisikku. "Setiap hari... takut."
Kata-kata itu keluar seperti aliran sungai yang tiba-tiba pecah, membawa segala yang terkandung dalam diriku. Aku ingin menenangkan diri, tapi rasanya tidak ada yang bisa kulakukan. Tidak ada yang bisa kuubah. Aku sudah terperangkap dalam situasi ini, dan aku tidak tahu bagaimana caranya keluar.
Dia tidak menjawab. Tapi aku tahu dia mengerti.
Karena tangannya mencari tanganku.
Dan memegangnya erat.
Di tengah ketakutan yang menggulung kami, aku tahu satu hal:
Kami tidak bisa terus bersembunyi. Kami tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang. Tapi entah bagaimana, dengan tangannya yang menggenggam tanganku, aku merasa sedikit lebih tenang. Meskipun jalan ke depan tetap gelap, setidaknya kami akan menghadapi semuanya bersama-sama.