Hujan turun sejak sore dan belum berhenti.
Restoran kosong malam ini.
Lampu dapur menyala setengah, membuat bayangan sendok dan botol kecap memanjang ke dinding.
Bunyi tetsu–tetsu dari atap logam jadi latar belakang monoton yang entah menenangkan atau menyiksa. Suara air hujan yang menderu di luar terasa seolah mengalir begitu deras, tapi di dalam, restoran ini sunyi. Hampa. Hanya ada kami, Yamamoto-san yang tengah duduk di meja bar, membolak-balik koran bekas yang warnanya sudah keabu-abuan, dan aku yang berdiri di dapur, menyusun ulang botol bumbu yang sudah rapi sejak dua jam lalu.
Tak ada pelanggan sejak pukul tujuh. Tak ada suara selain hujan, koran, dan detak jam dinding yang terus berkata waktu masih berjalan meskipun aku tidak. Aku merasa seperti sebuah benda mati di sini, tidak bergerak, tidak hidup, seperti restoran ini yang menunggu untuk dipenuhi suara, tapi tidak ada yang datang.
Aku ingin bicara.
Sudah lama sebenarnya.
Ingin bilang bahwa aku kerja di sini secara ilegal. Bahwa aku mungkin sebentar lagi tidak bisa datang lagi. Bahwa aku telah membohongi dia, orang pertama di Tokyo yang memberiku atap dan makan tanpa banyak tanya. Aku ingin bilang bahwa ini bukan hanya soal aku yang takut dideportasi. Ini lebih besar dari itu. Ini soal kehilangan semua yang sudah kubangun dengan satu kata jujur.
Tapi lidahku seperti terikat. Tenggorokanku terasa kering, dan seolah ada sesuatu yang membekukan seluruh tubuhku. Rasa takut itu mengalir perlahan, menyesak, hingga aku merasa seakan tubuhku ingin melarikan diri, tapi pikiranku tetap terperangkap di sini, di restoran ini, bersama Yamamoto-san yang tidak tahu apa-apa.
Karena jika aku bicara, itu bukan hanya tentang kehilangan pekerjaan. Itu tentang kehilangan kepercayaan. Dan aku tidak yakin bisa hidup dengan itu. Tidak yakin bisa menghadapi matanya yang selama ini penuh kebaikan, yang selalu menatapku tanpa pernah mempertanyakan.
***
Yamamoto-san menurunkan korannya, lalu berdiri pelan.
Dia berjalan ke dapur tanpa suara, tanpa ekspresi. Hanya gerakan tubuhnya yang sudah begitu familiar bagiku, seperti rutinitas sehari-hari yang tidak perlu dipikirkan lagi. Dia membuka rice cooker, menyendok nasi ke dua mangkuk dengan gerakan yang hati-hati, seolah tahu betul bahwa setiap langkah di restoran ini punya makna.
Lalu dia mengeluarkan telur, telur yang kami beli dari pasar di ujung jalan, yang selalu kami gunakan untuk membuat hidangan sederhana yang terasa begitu berharga di tengah kehidupan yang penuh ketidakpastian. Dia menggorengnya dengan gaya khasnya, minyak sedikit, panas besar, satu gerakan balik, dan selesai. Segala sesuatu yang dia lakukan tampak sempurna dalam kesederhanaannya.
Dia menyendokkan sup miso dari panci besar, meletakkannya di samping nasi, dan menyodorkan satu set ke arahku tanpa sepatah kata pun.
“Tabemasu.”
Aku mengangguk. “Hai.”
Kami duduk berseberangan di meja kecil itu. Tidak ada percakapan. Tidak ada pertanyaan. Hanya suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan mangkuk, dan suara hujan yang terus berdetak di luar sana, jauh di bawah kesunyian kami.
Dalam keheningan itu, aku merasa tubuhku mengeras. Seperti ada beban yang semakin berat di setiap detak jantungku, semakin lama kami tidak bicara, semakin keras suara di kepalaku sendiri. Suara itu seperti menggema, membuatku ingin melompat keluar dari tubuhku dan berteriak, tapi aku tahu, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa mengatakan apa yang sebenarnya ingin aku katakan.
Aku ingin bilang, maaf.
Ingin bilang, saya akan pergi sebelum polisi datang.
Ingin bilang, kalau bisa dilahirkan ulang, saya ingin kerja di tempat ini sebagai manusia penuh, bukan bayangan.
Tapi semua itu hanya sampai di ujung lidah. Tak bisa keluar. Terjebak, seperti perasaan yang sudah lama terkunci. Aku tahu bahwa kata-kata itu akan menghancurkan segalanya, akan membuat Yamamoto-san tahu bahwa dia telah memberi kepercayaan kepada seseorang yang ternyata tidak pantas untuknya.
Aku bisa merasakan ketegangan itu, bukan hanya karena aku yang merasa bersalah, tapi juga karena Yamamoto-san tahu. Dia pasti tahu ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Entah dari cara aku menghindari pandangannya, atau dari kesunyian yang terlalu lama menguasai kami.
***
Ketika makan selesai, Yamamoto-san menghabiskan tehnya dalam satu teguk, lalu bangkit.
Saat melewati bangku tempatku duduk, ia berhenti sebentar. Menepuk bahuku satu kali, gerakan yang sederhana, tapi terasa begitu berat. Aku merasakan kehangatan dari sentuhan itu, meskipun hanya sesaat. Kemudian dia melangkah, berjalan naik ke lantai dua tanpa berkata apa-apa.
Dan aku duduk di sana, menatap mangkuk kosong. Perutku hangat, tapi dada terasa dingin.
Aku tahu bahwa keheningan yang ada di antara kami bukan hanya karena kata-kata yang tidak terucapkan, tetapi juga karena kepercayaan yang sudah mulai retak. Kepercayaan yang diberikan kepadaku tanpa banyak syarat, tanpa pertanyaan, sesuatu yang aku tidak bisa balas dengan cara yang benar.
Karena kadang, yang paling menyakitkan bukan bentakan atau kemarahan.
Tapi kepercayaan yang diberikan... tanpa ditanya, tanpa syarat. Dan tahu bahwa mungkin, kita tidak bisa membalasnya.
Aku mengangkat wajah, menatap langit yang masih diguyur hujan di luar sana, berharap bisa menemukan jawaban atas segala kebingunganku. Tapi yang kutemukan hanyalah siluet bayangan diri yang mengambang di dalam restoran yang kosong ini. Tidak bisa kembali, tapi juga tidak bisa maju.