Hari itu udara dingin tapi tidak menusuk.
Langit Tokyo diselimuti awan putih tipis, seperti perasaan yang tidak enak tapi belum cukup konkret untuk disebut firasat.
Aku sedang mengupas bawang di dapur belakang ketika Sakura datang.
Dia tidak biasanya muncul jam segini, belum sore, belum istirahat. Tapi wajahnya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar lelah. Ada sesuatu yang tak bisa dia sembunyikan.
“Arya,” katanya pendek, suara tegas yang entah kenapa terasa lebih berat dari biasanya.
Aku menoleh, dan melihat map kecil di tangannya, map yang sepertinya tidak hanya berisi kertas biasa.
Aku melihat matanya, dan di situ aku melihat harapan. Tapi juga ketakutan yang sulit dipahami. Seperti ada sesuatu yang sangat penting dan juga sangat berbahaya yang harus dibicarakan.
“Aku baru pulang dari rumah Om-ku,” lanjutnya, duduk di bangku lipat dekat pintu dapur.
“Dia… punya restoran juga. Lebih besar. Di Shibuya. Dan mereka… butuh orang.”
Tanganku diam di tengah kupasan bawang, seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Seperti ada sebuah kebisingan yang tiba-tiba menghilang, menyisakan aku dan Sakura dalam ruang yang sunyi.
“Kerja dapur?” tanyaku pelan, hanya untuk memastikan aku tidak salah dengar.
Dia mengangguk, dan wajahnya mengencang sedikit.
“Dan mereka punya jalur sponsor visa. Legal. Tapi…”
Aku sudah tahu sebelum ia selesai bicara.
“Satu posisi,” jawabku sebelum dia sempat melanjutkan.
Dia mengangguk, dan ada keheningan sejenak.
“Dan banyak yang mau.”
Aku meletakkan pisau, mengusap tangan ke celemek, dan duduk di seberangnya. Saat ini, semuanya terasa seperti detak jantung yang terlalu cepat, dan aku tahu, aku harus membuat keputusan yang besar.
“Tapi aku udah bicara... mereka mau lihat kamu. Interview. Hari Sabtu. Tapi kalau kamu nggak datang, mereka kasih ke orang lain,” katanya akhirnya, sambil memegang map itu lebih erat.
Hari Sabtu. Empat hari lagi.
Semuanya tiba-tiba menjadi terlalu nyata, terlalu mendesak.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan tubuh yang mulai kaku.
“Kerjanya pasti berat.”
Sakura mengangguk, matanya tidak bergerak dari wajahku.
“Pasti.”
“Tempatnya jauh,” tambahku, ingin tahu lebih banyak tentang apa yang aku hadapi.
“Jauh.”
“Mereka tahu aku belum legal?” tanyaku pelan, ada keraguan yang menyelip di antara kata-kataku.
Dia diam beberapa detik, lalu menjawab, “Aku nggak bilang. Tapi mereka bisa bantu urus kalau kamu masuk.”
Aku menatap meja dapur yang sudah begitu banyak retakannya. Retakan kecil di kayunya terlihat seperti peta, tapi entah ke mana arahnya. Aku tahu, kali ini, peta itu akan mengarah pada sebuah pilihan yang tidak bisa ditarik kembali.
***
“Raka juga masih nunggu jawabanku,” gumamku, mengalihkan pandanganku ke langit yang makin mendung di luar jendela. “Kalau aku ambil jalannya, langsung bisa kerja. Tanpa seleksi. Tanpa takut gagal.”
Sakura menegang. Tetapi dia tidak berkata apa-apa.
Aku bisa merasakan ketegangan itu, ada sesuatu yang ada di sana, di antara kami. Entah itu ketakutan, atau perasaan yang lebih dalam lagi, yang tak bisa diungkapkan begitu saja.
Tapi aku melanjutkan, meski aku sudah tahu jawabannya.
“Tapi… bukan legal. Dan… berisiko.”
Sakura tetap diam. Aku bisa mendengar suara mesin pendingin yang berdengung konstan di sudut dapur. Rasanya, waktu terus berjalan, tapi aku merasa terhenti di tengah ketidakpastian.
Kami diam lama.
Di luar, suara sepeda lewat, roda-roda yang memutar dalam keheningan yang semakin dalam. Kami berdua seperti terperangkap dalam ketakutan dan harapan yang membalut.
Aku tahu, di dalam hati, aku tidak bisa berlama-lama seperti ini. Tidak bisa terus ragu. Tapi… bagaimana bisa aku memilih satu jalan tanpa mengkhianati diri sendiri?
Tiba-tiba, aku bertanya, “Kalau aku gagal di interview itu… kamu kecewa?”
Aku menatapnya, mencoba menelusuri kedalaman matanya, mencari jawaban yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Sakura menatapku lama, seolah dia sedang mempertimbangkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar jawaban yang aku minta.
Lalu, dengan lembut, dia berkata, “Kalau kamu nggak coba… aku kecewa.”
Kata-katanya tajam, dan ada keheningan yang mengisi ruang kami. Seperti ada kebenaran yang sulit diterima, namun harus diterima.
Aku mengangguk perlahan, dan dalam hati, aku merasakan sesuatu yang menegaskan:
Mungkin ini bukan tentang legal atau tidak, atau apakah tawaran itu lebih mudah.
Tapi tentang siapa aku ingin jadi, di hadapan Sakura, dan di hadapan diriku sendiri.
Apakah aku berani menatap cermin dan menerima siapa aku jika aku memilih jalan yang lebih aman, atau jika aku melangkah ke dalam ketidakpastian?
***
Sabtu. Empat hari lagi.
Dan aku harus memilih:
Berjalan di jalan sempit yang sah, atau melompat ke jurang yang katanya punya jaring di bawahnya, walau tak ada yang benar-benar bisa melihatnya.
Aku tahu tidak ada yang bisa menjamin apapun dalam hidup ini, terutama dalam keadaan seperti ini. Keputusan ini, yang semula terasa seperti hanya sebuah pilihan biasa, kini berubah menjadi satu titik yang menentukan seluruh arah hidupku.
Di luar sana, dunia terus berjalan, mereka yang punya status, yang punya izin, yang punya kehidupan yang jelas. Tapi aku… aku bukan bagian dari dunia itu. Aku memilih untuk menjadi bagian dari dunia yang penuh risiko ini.
Aku memandang Sakura, yang duduk di seberang meja, matanya yang dulu cerah kini tampak penuh pertanyaan. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sebuah jaminan, mungkin sebuah harapan. Tapi yang bisa keluar dari mulutku hanyalah sebuah tanya besar yang tak terjawab:
Apakah aku sudah siap menanggung segala konsekuensinya?