Aku tidak tahu jam berapa sekarang.
Ponselku mati. Layarnya hitam, seperti bagian dari pikiranku yang ikut padam sejak dua hari lalu.
Hari ini hari ketujuh di Jepang.
Seminggu lalu, aku datang ke sini untuk liburan setelah wisuda.
Kupikir itu hadiah pantas setelah perjuangan panjang kuliah, dan sedikit pelarian dari rutinitas yang melelahkan.
Tapi tidak pernah kupikir, justru di sini aku akan menyaksikan hidupku perlahan runtuh dari kejauhan.
Hari kelima, ponselku bergetar.
Ada panggilan dari Ibu. Suaranya serak, nyaris tak bisa dikenali.
“Arya… rumah kita dijarah…”
Waktu seolah berhenti.
Aku tidak langsung merespons. Hanya duduk diam di pinggir jalan di Kyoto, sementara kereta cepat melintas entah ke mana.
Ibu bercerita secepat yang ia bisa, meski suaranya gemetar.
Papa dibawa paksa ke pos keamanan. Rumah rusak. Warung kami habis dilempar batu, dijarah, dibakar.
Orang-orang marah. Tapi bukan pada kami.
Pada presiden. Pada kebijakan-kebijakannya.
Pada sistem yang sejak dua tahun terakhir makin menguntungkan mereka yang korup, yang berkuasa, yang kotor.
Tapi karena warung kami pernah viral oleh seorang influencer yang sekarang dikenal sebagai loyalis presiden itu, kami ikut kena imbasnya.
Kami tidak pernah minta itu.
Kami bahkan tidak tahu siapa dia saat datang.
Waktu itu siang terik. Warung kami, seperti biasa, penuh aroma ayam goreng yang baru diangkat dari wajan. Ibu sibuk di dapur kecil di belakang, sementara Ayah menyambut pelanggan di meja kasir. Aku membantu mengantar pesanan ke meja-meja, sesekali menyeka keringat dengan serbet yang disampirkan di bahu.
Lalu dia datang, seorang gadis muda dengan kamera kecil tergantung di leher, mengenakan dress dan kacamata hitam meski cuaca begitu terik. Tidak memperkenalkan diri. Tidak terlihat mencurigakan. Hanya pelanggan biasa, pikir kami.
Ia memesan semua menu utama kami. Ayam goreng original, ayam sambal rempah, nasi gurih, tahu goreng, es teh manis. Lengkap. Kami pikir dia lapar atau memang ingin mencoba semuanya. Ibu bahkan sempat berkata sambil bercanda, “Mau makan sendiri atau buat lomba?”
Dia hanya tersenyum tipis dan bilang, “Saya mau cobain semua. Dengar-dengar enak banget.”
Waktu makan, ia mulai merekam. Kami lihat dari jauh, kamera kecil ditaruh di atas gelas, ponsel diselipkan di rak, ada suara-suara gumaman seolah sedang memberi ulasan. Tapi kami tidak terlalu peduli. Banyak orang sekarang hobi bikin konten. Kami sudah biasa melihat pelanggan selfie dengan sepiring ayam panas.
Beberapa jam kemudian, setelah dia pergi dan kami kembali sibuk melayani pembeli, notifikasi di ponsel Ayah berbunyi terus-menerus. Grup-grup WhatsApp mulai heboh. Teman Ayah mengirimkan tautan video.
Ternyata orang tadi adalah seorang influencer makanan dengan jutaan pengikut. Ia merekam pengalamannya di warung kami dan mengunggahnya dengan caption panjang penuh pujian.
"Hidden gem terbaik tahun ini! Ayam gorengnya gila enaknya, sambalnya nagih, suasana warungnya jujur, hangat, lokal banget. Ini baru UMKM juara. Pemerintah seharusnya dukung yang begini!"
Kami semua terdiam membaca caption itu. Campur aduk antara senang dan bingung. Keesokan harinya, antrean panjang di depan warung tak bisa dihentikan. Wartawan lokal datang. Ada yang mewawancarai Ibu. Ada yang hanya motret dan pergi. Kami belum pernah sesibuk itu.
Tapi baru belakangan kami tahu… ternyata influencer itu terafiliasi kuat dengan salah satu tokoh politik, seorang presiden yang kala itu masih baru dua tahun menjabat, dan sejak itu banyak kebijakan kontroversialnya mulai memancing kemarahan rakyat.
Kami tidak tahu. Kami tidak pernah cari tahu. Kami bahkan tidak peduli.
Bagi kami, dia hanya pelanggan.
Tapi ternyata, untuk sebagian orang, satu video itu cukup untuk menandai kami. Dan dua tahun kemudian, tanda itu menjadi alasan untuk menghancurkan apa yang kami bangun selama puluhan tahun.
Rakyat yang marah tidak peduli.
Bagi mereka, semua yang pernah terlihat dekat dengan simbol-simbol kekuasaan ikut bersalah.
Dan sekarang, rumahku jadi korban dari amarah yang tidak bisa diarahkan dengan tepat.
Setelah panggilan Ibu berakhir, aku membuka media sosial.
Berita demi berita muncul seperti ombak: kerusuhan, penjarahan, pembakaran, penangkapan.
Di salah satu video, terlihat sekelebat dinding warung kami, aku hafal betul karena aku yang mengecatnya waktu SMP.
Di grup keluarga dan tetangga, semua orang panik.
Sebagian menyalahkan. Sebagian bingung. Sebagian hanya bisa mengetik doa.
Kupikir aku bisa membantu dari sini. Tapi yang bisa kulakukan hanya duduk diam dengan sinyal penuh dan koneksi yang tidak bisa menjangkau kenyataan.
Aku ingin pulang. Tapi Ibu bilang jangan dulu.
Kacau. Tidak aman. Polisi pun tidak bisa diandalkan.
Dulu kami tidak punya apa-apa.
Ayah dan Ibu memulai dari nol, membawa resep ayam goreng warisan nenek.
Kami berjualan dari trotoar, ditertawakan, diabaikan.
Tapi kami terus jalan. Roda hidup kami bergerak pelan, tapi pasti.
Sampai akhirnya bisa sewa ruko. Sampai aku bisa kuliah dan lulus.
Dan sekarang, roda itu berhenti. Bukan karena kami menyerah. Tapi karena ditendang dari jalurnya.
Aku duduk di bangku taman dekat stasiun Shinjuku.
Ini bukan malam pertama, tapi malam pertama yang terasa benar-benar gelap.
Orang-orang di sekitarku berlalu cepat. Mereka punya tempat dituju.
Aku hanya punya ransel, jaket berdebu, dan kepala yang berat karena penuh pikiran.
Shinjuku terang malam ini. Tapi bukan terang yang hangat.
Cahayanya seperti neon ruang tunggu rumah sakit.
Dingin. Tak peduli.
Dan aku duduk di bawahnya, menatap langit kota asing, berharap ada jawaban.
Aku tidak tahu harus pulang atau tidak.
Tapi untuk pertama kalinya sejak datang ke sini, aku tidak merasa sedang liburan.
Aku merasa sedang kehilangan tempat pulang.