Aku terbangun bukan karena sinar matahari atau suara kota yang berdenyut, tapi oleh seekor lalat kecil yang menari-nari di atas mukaku.
Gerakannya lincah dan mengganggu, seperti seniman jalanan yang tak diundang, melakukan pertunjukan gratis yang cuma aku yang harus menontonnya.
Rasanya, aku ini jadi instalasi seni kontemporer gagal yang malah bikin penonton bingung.
Aku mengayunkan tangan secara refleks, berusaha mengusir makhluk kecil itu.
Tapi lalat itu cuma tertawa dalam diam, terbang mengelilingi kepala sebelum dengan santai mendarat di lututku.
Seolah dia bilang, “Santai saja, aku juga bagian dari taman ini sekarang.”
Badan ini masih berat, kepala berdenyut seperti ada drum yang dipukul di dalamnya.
Leherku terasa seperti kabel-kabel kusut yang dipelintir tanpa arah. Aku tak berani menggerakkan badan terlalu cepat, takut rasa sakit menyerang dari semua sudut
Malam yang panjang dan dingin di bangku kayu ini memang bukan pilihan terbaik, tapi inilah kenyataannya.
Di sekitar, suara-suara pagi Tokyo mulai menyelinap masuk ke dalam kesadaran: kendaraan yang melaju pelan, langkah kaki yang bergegas, dan gemerisik daun yang ditiup angin halus. Udara segar tapi sedikit berdebu menyentuh kulitku, menandai awal hari yang baru, yang entah seperti apa ujungnya nanti.
Aku menatap lalat di lututku. Makhluk kecil ini, yang sepertinya punya hidup lebih bebas daripada aku sekarang, seperti sahabat aneh yang menemani pagi yang sepi dan penuh ketidakpastian.
Aku mencoba duduk perlahan, tapi tubuhku seperti protes keras. Kepala masih terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menekan hingga membuat pikiranku kabur. Leherku? Rasanya seperti kabel-kabel kusut yang dipelintir dengan kasar, tiap gerakan membuatnya berdecit nyeri.
Aku merasakan setiap otot punggung yang kaku, menjerit seolah menuntut balas karena semalaman bersandar di bangku kayu keras yang dingin.
Tangan dan lututku tak kalah parah. Lutut seperti terbungkus lapisan perih, setiap gesekan dengan lantai semen seperti sembilu kecil yang menjalar ke seluruh tubuh. Rasanya seperti baru saja dilindas truk besar.
Aku memejamkan mata, berusaha mengingat bagaimana aku bisa sampai di titik ini. Malam itu, aku berusaha mencari posisi tidur terbaik di bangku sempit taman, berguling sedikit demi sedikit untuk menghindari rasa sakit, tapi usahaku sia-sia.
Sebuah refleksi pahit: tidur di tempat yang bukan rumah, dengan tubuh yang bukan milik sendiri lagi.
Di antara derita fisik itu, ada rasa lelah mental yang mengendap. Seolah seluruh keberadaan ini adalah tumpukan sakit yang mengikatku tanpa ampun. Aku bertanya-tanya, berapa lama lagi aku harus bertahan?
Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa duduk di sana, merasakan nyeri yang nyata dan dingin yang merayap masuk, sambil menunggu dunia di sekitarku terus bergerak tanpa peduli.
Aku membuka mata perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang tak terlalu cerah tapi cukup untuk membangunkan pikiran. Langit Tokyo pagi ini biru pucat, tipis dan kusam seperti mata yang belum sempat tidur. Udara taman membawa aroma campur aduk: wangi bunga yang samar, asap kendaraan yang jauh, dan bau tanah basah yang segar setelah hujan semalam.
Di sekelilingku, kehidupan mulai bergerak. Orang-orang berlalu lalang di seberang jalan, berjalan dengan tujuan masing-masing. Mereka seperti karakter dalam simulasi kehidupan yang berjalan otomatis, tak ada jeda, tak ada salah langkah.
Seorang pria dengan jas rapi melewati taman, membawa kopi di tangan, langkahnya cepat dan mantap. Pasangan muda berjalan bergandengan tangan, tersenyum kecil sambil saling berbisik. Anak-anak sekolah bersepeda dengan seragam putih dan biru yang rapi, wajah mereka cerah meski pagi masih dingin.
Aku duduk di sana, di antara keramaian yang tak pernah benar-benar menyadari keberadaanku. Koperku masih erat kugenggam di pangkuan, satu-satunya benda yang kurasa masih mengikatku pada sedikit harapan.
Di tempat lain, taman ini mungkin terlihat seperti spot piknik yang nyaman, dengan bangku-bangku dan pohon rindang.
Tapi bagiku, tempat ini lebih mirip level tutorial untuk jadi tunawisma level 1: tempat di mana mimpi-mimpi dan kenyataan bertabrakan dengan keras.
Aku bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku merasa seperti bagian dari dunia yang berputar dengan tujuan? Mungkin dulu, saat aku memimpikan hidup di Tokyo, aku membayangkan suasana berbeda, kemegahan kota, kesempatan yang tak terbatas.
Tapi kenyataan mengajarkanku hal lain: hidup di kota besar tak selalu berarti punya tempat atau tujuan. Kadang, itu hanya soal bertahan.
Kupungut sisa roti yang terselip di dalam plastik lusuh di tas kecilku. Roti itu sudah mengeras, seperti hatiku yang lama terluka.
Kupegang potongan kecilnya, menyobek dengan perlahan sampai jariku terasa dingin dari kontak langsung dengan plastik dan roti yang sudah agak kering. Aku tahu, ini bukan makanan layak, tapi untuk saat ini, ini satu-satunya yang bisa kulakukan: makan.
Aku menggigit perlahan. Rasa roti itu hambar dan keras, hampir seperti mengunyah sepotong kayu.
Tapi aku terus mengunyah, menelan tanpa rasa, hanya agar perutku yang keroncongan sedikit tenang. Mungkin, kalau aku menatap dari luar, adegan ini bisa terlihat estetik, sarapan di pagi Tokyo, di bangku taman, ditemani oleh lalat yang hinggap santai di sekitarku.
Jika kuambil foto, mungkin caption Instagram bisa berbunyi: “Morning vibes in Tokyo, simple but real.”
Tapi kenyataannya? Ini jauh dari kata estetik. Ini menyedihkan luar biasa.
Aku menatap roti di tanganku, merasa getir yang datang bukan hanya dari rasa makanan, tapi dari kenyataan hidup yang kian menekan. Koper yang kugenggam erat, roti keras ini, lalat yang hinggap, semuanya simbol kecil dari bertahan yang kadang terasa sia-sia.
Aku mencari air di botol minum, lalu mengisinya dari keran taman dengan tanda biru. Kuhirup air dingin itu perlahan, baunya sedikit logam, tapi setidaknya tidak amis. Air ini, seperti roti ini, bukan kemewahan, hanya kebutuhan dasar yang terus kuupayakan dipenuhi.
Sarapan dengan roti kemarin sore dan ditemani lalat di Tokyo, kota yang aku impikan, kini menjadi ritual pagi yang berulang dan menyakitkan.
Setelah mengisi ulang sedikit tenaga dari roti keras dan air dingin, aku mengeluarkan ponsel dari saku. Layar yang sudah redup segera kuaktifkan, powerbank yang kupunya hanya menyisakan sedikit daya. Aku mengaktifkan mode hemat baterai, berharap setidaknya ponsel ini bisa bertahan cukup lama untuk membantuku.
Tak ada Wi-Fi di sini, pikirku. Tapi aku berjalan perlahan ke sudut taman dekat kafe modern dengan logo kacang hijau yang cerah. Di sana, aku menemukan jaringan terbuka bernama “Free_Visitor_WiFi”. Tanpa password. Sedikit keberuntungan di tengah hari yang suram.
Aku duduk di lantai semen, bersandar ke tiang papan iklan sambil membuka browser. Dengan jari yang sedikit gemetar karena gugup dan kelelahan, kuketik kata-kata yang sudah berkali-kali kuulang:
cheap work tokyo visa no
job for foreigner tokyo short stay
can tourist work in japan if broke
Hasilnya? Suram. Forum-forum penuh komentar orang-orang bingung seperti aku, yang berharap bisa bertahan di kota ini tanpa dokumen yang jelas. Tapi setiap jawaban hampir selalu sama:
“Get out before immigration finds you.”
“It’s illegal. You’ll be deported.”
“Don’t risk it. Jail in Japan isn’t like anime.”
Setiap kalimat seolah menghantamku dengan kenyataan pahit yang tak bisa kutolak. Aku menjatuhkan kepala ke koperku, merasakan beratnya bukan hanya dari benda itu, tapi dari segala ketidakpastian yang menyelimutiku.
“Oke,” gumamku pelan, “jadi manual hidup di Tokyo kalau kamu miskin, ilegal, dan sok idealis, nomor satu: jangan jadi aku.”
Tangan kiriku masih menggenggam potongan roti, tangan kanan bersandar di layar ponsel yang mulai hangat karena dipakai terus. Aku menatap layar, lalu melirik sekeliling taman yang perlahan makin hidup.
Aku mengangkat kepala dan mulai memperhatikan orang-orang di sekitarku dengan lebih seksama. Pasangan lansia yang berjalan bergandengan tangan, wajah mereka penuh kedamaian dan sejarah yang tak kusentuh. Seorang pria kantoran berlari kecil, membawa roti isi di mulutnya, seperti adegan dalam anime yang dulu kusukai, ringan, tanpa beban. Anak-anak SMA dengan seragam rapi dan mata lelah bersepeda di jalan, melaju ke arah yang sudah mereka tahu pasti.
Mereka semua punya tujuan, punya tempat untuk pergi. Hidup mereka penuh ritme dan kepastian, seolah dunia ini terbagi dua: mereka yang punya tempat dan aku yang tidak. Aku duduk di lantai semen, dengan koper di pangkuan, roti keras di tangan, dan lalat yang masih sesekali berputar-putar di sekitar.
Semua orang berlalu dengan cerita masing-masing. Dan aku? Aku hanya punya ini, roti keras, lalat pengganggu, dan koneksi Wi-Fi yang bisa mati kapan saja.
Aku menarik napas panjang, merasakan kesepian yang bukan sekadar ketiadaan teman, tapi ketiadaan tempat di dunia yang terus bergerak maju. Namun, di balik itu semua, ada secercah harapan kecil yang tak bisa kuabaikan. Mungkin besok akan berbeda. Mungkin aku masih punya kesempatan untuk menemukan jalan.
Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa duduk di sini, menatap dunia yang berjalan tanpa henti, dan berharap suatu hari aku bisa ikut berjalan bersama mereka.