Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Langkah kami masih menyusuri gang sempit yang berkelok-kelok di Tokyo.

Setiap tapak kaki beradu dengan aspal basah, membentuk ritme sunyi yang mengisi malam yang dingin.

Lampu jalan memancarkan cahaya temaram, memantul di genangan air kecil yang tercecer di sudut jalan.

Udara dingin malam itu mengusik kulit, membuat bulu kuduk berdiri pelan.

Aku hampir tak menyadari rintik hujan yang mulai jatuh, begitu halus dan ringan hingga terasa seperti sentuhan yang enggan mengganggu.

Aku menengadah ke atas, berharap menemukan petunjuk dari langit.

Namun, langit malam begitu jernih, tanpa awan gelap atau bayangan mendung yang biasa mendahului hujan deras.

Bintang-bintang kecil berkelip samar, seolah ikut mengamati kami dengan tenang.

Rintik itu perlahan semakin nyata, mulai membasahi rambut dan jaket kerjaku yang sudah lembap karena lelah.

Sakura di sebelahku tiba-tiba berhenti, tubuhnya mengecil, memeluk tas kecilnya lebih erat seolah ingin mengunci kehangatan yang tersisa.

Bahunya sedikit terangkat, menggigil halus.

Ada sesuatu dalam diamnya yang membuatku tersentuh, seperti ada beban tak terlihat yang dia bawa bersama rintik hujan malam itu.

Aku berdiri di sampingnya, merasa ada ruang hampa di antara langkah-langkah kami yang sebelumnya terus bergerak.

Diam, tapi penuh dengan perasaan yang tak terucapkan.

Aku memandangi tetesan hujan yang jatuh di aspal, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang menyatu dengan kesunyian malam.

Tokyo di malam hari seperti punya caranya sendiri bernapas, bukan sebagai kota besar yang riuh, tapi sebagai tempat yang penuh rahasia dan cerita kecil yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau berhenti dan mendengarkan.

Malam itu, hujan datang sebagai bisikan, bukan teriakan. Dan aku tahu, sesuatu di antara kami pun ikut berhenti, mengikuti irama rintik yang jatuh.

Aku cepat menoleh ke kanan, mataku langsung menangkap sebuah tempat berteduh kecil yang terlihat sederhana namun cukup menjanjikan perlindungan.

Sebuah toko bunga tutup dengan kanopi plastik sempit, berwarna putih kusam dan sedikit berlubang di beberapa sisi

Kanopi itu tampak rapuh, tapi malam ini menjadi penyelamat kami.

“Come,” kataku sambil menunjuk ke arah kanopi.

Sakura mengangguk pelan, lalu kami berdua berlari kecil menembus rintik yang makin menebal.

Suara tetesan hujan yang menghantam kanopi plastik itu mengisi ruang di antara kami, seperti sebuah lagu sederhana yang diputar ulang tanpa henti.

Kami berdiri bersebelahan, hampir berdekatan, di bawah atap sempit itu.

Udara lembap dan dingin membuat jaket dan baju kami cepat basah.

Aku memperhatikan Sakura yang dengan sigap menyeka lengan bajunya yang sudah basah, tapi tubuhnya masih menggigil pelan.

Rambutnya yang mulai menempel di wajah karena basah membuatnya terlihat lebih rapuh dari biasanya.

Tanpa berpikir panjang, aku membuka resleting jaket kerja yang sudah agak lusuh itu dan dengan lembut menyampirkannya ke pundaknya.

Sakura menoleh, menatapku dengan mata yang seolah menyimpan lautan cerita, lelah, jernih, dan penuh makna.

Dia tidak menolak, hanya diam dan menerima.

Seperti menerima sesuatu yang jarang ia dapatkan: kehangatan yang tulus tanpa syarat.

“Daijoubu?” tanyaku pelan, penuh perhatian.

Dia hanya mengangguk kecil, tidak berkata apa-apa, tapi tetap memelihara jaket itu di pundaknya dengan erat.

Aku tahu, bukan cuma hujan yang membuatnya menggigil.

Ada beban di hatinya yang lebih berat dari sekadar dingin udara malam.

Kami berdiri begitu, diam dalam hening yang nyaman, sementara hujan terus menari di sekitar kami.

Gemericik tetesan hujan memecah keheningan malam, menciptakan irama yang menenangkan.

Lampu jalan yang remang-remang memantulkan cahaya pada genangan air di bawah kami, seperti ribuan bintang kecil yang tenggelam di bumi.

Tangan kami masih berada di sisi tubuh, namun angin malam yang berhembus membuat jaket itu sedikit tertarik ke samping.

Tanpa sadar, kulit kami tersentuh satu sama lain, halus dan singkat, hanya di ujung jari.

Tidak ada yang mundur, tidak ada yang menghindar.

Kami tahu, sentuhan kecil itu membawa pesan yang lebih dari kata-kata.

Aku tidak berani menoleh, takut jika melihat wajahnya yang mungkin berkata lebih dari yang bisa diucapkan mulut.

Dia pun tidak menoleh.

Tapi dalam kesunyian itu, aku yakin kami berdua sadar.

Dan itu sudah cukup untuk malam ini.

Setelah beberapa saat berdiri di bawah kanopi yang mulai terasa sempit itu, Sakura mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kecil yang selama ini selalu dibawanya.

Layar ponsel menyala, memancarkan cahaya lembut yang kontras dengan gelap dan basahnya malam.

Jarinya bergerak cepat, mengetik dengan cekatan, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak mampu terucap langsung.

Kemudian, ia membalikkan layar ponsel itu ke arahku.

Satu kata tertulis jelas di sana:

“Aman.”

Aku memandangi kata itu lama sekali.

Sebuah kata sederhana, tapi sarat makna yang dalam.

Aman.

Kata yang tidak hanya merujuk pada tempat atau keadaan, tapi juga rasa, ketenangan, kepercayaan, kehangatan hati.

Dalam kebisuan malam dan derasnya hujan yang terus berirama, kata itu menjadi jembatan kecil di antara kami.

Jembatan yang menghubungkan dua jiwa asing yang menemukan keakraban dalam diam.

Aku mengangguk pelan, tanpa suara, karena aku tahu kata itu bukan hanya sekadar kata.

Itu adalah pernyataan.

Pernyataan bahwa di tengah kesendirian dan kesulitan, aku merasa aman bersamanya.

Bahwa di tengah keramaian kota yang asing ini, ada seseorang yang mengerti dan bisa dijadikan tempat berlindung.

Aku ingin bicara banyak hal, mengungkapkan perasaan, bertanya sesuatu yang mungkin menggugah, atau bahkan mengutip kalimat-kalimat puitis yang selama ini aku simpan.

Tapi lidahku terasa kelu.

Mungkin karena kata-kata itu tidak diperlukan.

Atau mungkin karena aku takut kata-kata itu akan mengubah momen ini menjadi sesuatu yang terlalu rumit.

Diam itu justru lebih kuat.

Diam itu lebih jujur.

Karena dalam diam, aku tahu dia mengerti.

Dan aku, untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di kota yang dingin ini, merasa bukan hanya hadir secara fisik, tapi benar-benar diterima.

Kata “aman” itu menempel di pikiranku.

Seperti sebuah janji yang tak perlu diucapkan lagi.

Kami berdiri di sana, berdua, membiarkan hujan membasuh segala rasa cemas dan ragu.

Malam itu, di tengah rintik hujan Tokyo yang tak terduga, kami menemukan sebuah tempat yang terasa seperti rumah, meski hanya sesaat, tapi sangat berarti.

Setelah hujan mereda sedikit, kami masih berdiri di bawah kanopi itu, dikelilingi aroma basah dari tanah dan dedaunan yang terpercik air.

Suasana menjadi semakin sunyi, hanya suara rintik hujan yang semakin jarang terdengar, dan sesekali gemerisik angin yang mengusap daun-daun kering.

Aku menatap Sakura dari sudut mata.

Matanya yang lelah namun penuh ketulusan menatap ke depan, menelusuri gelap malam yang mulai kembali tenang.

Tidak ada kata yang perlu diucapkan.

Kami berdua sudah saling mengerti tanpa suara.

Dalam diam, aku merasakan kedekatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.

Seperti dua jiwa yang menemukan irama yang sama, walau terbungkus dalam bahasa yang berbeda.

Ada kehangatan yang merayap di dada, pelan tapi pasti.

Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara dingin yang segar setelah hujan.

Rasa lelah dari shift malam mulai menguap digantikan rasa tenang yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Rasa itu bukan hanya karena kehadiran Sakura, tapi karena dia menerima aku apa adanya, tanpa syarat, tanpa ekspektasi yang membebani.

Aku tahu malam ini bukan tentang janji-janji besar.

Bukan tentang kisah cinta yang meledak-ledak.

Ini tentang kehadiran sederhana yang memberi arti baru pada arti kata “aman.”

Aku membayangkan betapa sulitnya baginya menghadapi tekanan keluarga, seperti yang dia ceritakan kemarin malam.

Begitu juga denganku, dengan beban menjadi “anak baik” di rumah, yang sering kali membuatku merasa tersesat.

Tapi di sini, di bawah langit Tokyo yang basah, kami menemukan ruang untuk menjadi diri sendiri.

Sakura mengusap rambutnya yang basah dengan tangan kecilnya, lalu menatapku sekilas.

“Suki... tomodachi?” tanyanya, suara pelan.

Aku tersenyum, dan mengangguk.

“Ya. Tomodachi. Teman.”

Teman. Kata sederhana yang menyimpan dunia.

Sebuah ikatan yang mungkin belum tahu arahnya, tapi terasa benar adanya.

Kami berdiri di sana, diam dalam kehangatan yang tidak perlu diucapkan.

Hujan yang mulai reda membiarkan udara malam menjadi sejuk, membasuh segala keraguan dan rasa takut.

Malam itu, aku merasa bukan hanya diterima, tapi juga menemukan sesuatu yang selama ini hilang: sebuah koneksi yang nyata.

Dan mungkin, itu sudah cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Kainga
1064      622     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Happy Death Day
552      301     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Kini Hidup Kembali
67      60     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
VampArtis United
853      540     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Kaca yang Berdebu
87      69     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Rumah?
47      45     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Senja di Balik Jendela Berembun
17      17     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Monday vs Sunday
103      89     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...