Itu bukan kencan. Tidak ada yang secara eksplisit menyebutnya begitu. Tidak ada undangan, tidak ada janji, tidak ada kata-kata yang biasanya mengiringi malam spesial. Hanya sebuah pertemuan yang terjadi secara diam-diam di seberang jalan.
Aku keluar dari konbini dengan jaket kerja yang sudah agak lusuh, bekas lembap dan keringat yang masih mengendap di leherku setelah shift malam yang panjang. Mataku berat dan hampir mengabur karena kurang tidur, tapi di seberang jalan itu, dia sudah berdiri.
Sakura.
Hanya berdiri, memeluk tas kecilnya yang terlihat terlalu ringan untuk memuat segala pikirannya. Rambutnya dikuncir seadanya, tidak terlalu rapi, tapi ada kehangatan dalam caranya melindungi dirinya sendiri. Saat aku mulai menyeberang jalan, dia menatapku dengan mata yang sama seperti biasa, lalu hanya berkata pelan, “Walk?”
Aku tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya mengangguk.
Dan kami berjalan bersama, tanpa tujuan, tanpa rencana.
Tokyo malam itu terasa seperti labirin cahaya dan keheningan yang lembut. Gang-gang kecil dipenuhi dengan bayang-bayang panjang dari lampu jalan yang meneteskan sinar keemasan, membasuh aspal yang masih lembap dari hujan tadi sore. Suara-suara di sekeliling kami sangat pelan, kadang televisi dari dalam rumah yang terbuka jendelanya, kadang gemericik air mengalir dari selokan kecil, atau hanya desiran angin yang menari di antara ranting pohon.
Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Tapi malam itu, Tokyo seperti bernafas dalam tidur yang tenang dan damai, memberikan ruang bagi dua orang asing yang mencoba mengerti dunia dengan cara mereka sendiri.
Kami tidak berbicara banyak.
Hanya sesekali dia menunjuk sesuatu, seekor kucing hitam yang berjingkrak di atas pagar rumah, papan toko kecil dengan huruf kanji yang tampak lucu dan asing, sebuah vending machine yang menjual sup jagung kalengan, sesuatu yang tak akan pernah aku lihat di Indonesia.
Aku hanya menanggapi dengan kata-kata pendek atau sekadar senyum kecil.
Kami berhenti di depan sebuah toko kecil yang menjual manisan lokal. Aku membeli dua mochi isi kacang merah yang empuk.
Salah satu kuberikan padanya.
Dia menerima mochi itu dengan gerakan yang hampir seperti ritual sakral, membukanya perlahan, menggigit setengah dengan ekspresi penuh perhatian. Lalu dia mengangguk pelan, dan berkata, “Oishii.”
Aku tertawa pelan, mencoba mengajarinya, “Indonesian word: ‘Enak.’”
Dia mencoba mengulang dengan suara gemetar, “E… nak.”
“Bagus,” kataku, dengan senyum yang semakin melebar. “You pass.”
Dia tertawa, suara yang lembut dan jernih itu mengisi udara malam yang sepi. Lalu dia menatapku sebentar lebih lama dari biasanya, seolah mencoba membaca sesuatu yang lebih dalam dari mataku.
Dan malam itu, dalam keheningan yang penuh arti, kami melanjutkan langkah kami.
Kami terus berjalan melewati gang-gang kecil yang penuh cerita lama, pagar besi yang mulai berkarat, tiang listrik yang dipenuhi selebaran dari konser, iklan, dan pengumuman yang menempel sembarangan, serta taman kecil yang sunyi dan hampir terlupakan oleh kota. Suasana malam Tokyo yang sunyi seakan menyelimuti kami dengan kehangatan yang aneh dan tenang.
Akhirnya, kami sampai di sebuah bangku tua di bawah cahaya lampu jalan yang remang-remang dan kuning tua. Kami duduk, bersebelahan namun tetap ada jarak yang terasa nyaman. Sakura menggoyang-goyangkan kakinya dengan pelan, pandangannya tertuju pada tanah yang basah oleh embun malam.
Hening menyelimuti kami sesaat, hanya suara napas dan detak jantung yang terasa. Lalu, tanpa ada yang bertanya terlebih dahulu, dia membuka mulutnya pelan:
“My family… big. Rich. Loud.”
Kata-kata itu datang seperti bisikan rahasia yang terpendam lama, seolah dia baru saja membuka pintu paling dalam di hatinya. Aku menoleh ke arahnya, mencoba mencari sesuatu di matanya, tapi dia tidak menatapku. Matanya kosong, tapi bukan kosong yang tak peduli, melainkan kosong yang penuh dengan luka dan beban.
“I… only daughter. Too much… hope.”
Dia tampak berjuang mencari kata lain untuk menggambarkan beratnya harapan yang menimpanya, tapi tak menemukan yang tepat. Akhirnya, dia mengangkat bahu dengan getir, seolah menyerah pada kata-kata.
“Drawing is... air. Without... can’t breathe.”
Aku menatapnya dalam diam. Tidak ada yang perlu aku katakan. Aku paham.
Kata-kata itu bukan hanya tentang menggambar, tapi tentang hidup, tentang kebutuhan dasar yang tak bisa ditawar. Baginya, menggambar bukan sekadar hobi atau pekerjaan, melainkan udara yang harus dihirup agar tetap hidup.
Malam itu, di bawah lampu jalan yang temaram, kami berbagi keheningan yang bermakna, berbagi rasa yang sulit diungkapkan.
Aku menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba menangkap tiap kata yang ia ucapkan dengan suara hampir berbisik, seolah ia takut kata-kata itu bisa pecah dan hilang di udara malam Tokyo.
Dia memeluk tasnya erat, seolah itu satu-satunya pelindung yang dia miliki dari dunia luar yang tak selalu ramah. Lalu, hampir seperti gumaman yang hanya untuk dirinya sendiri, ia berkata,
“They want me… become something else.”
Kata-kata itu sederhana, tapi berat. Berat karena mewakili sebuah beban yang terlalu besar untuk seorang gadis seusianya. Tekanan yang mengikis kebebasan untuk menjadi diri sendiri, mengganti warna dan bentuk hanya demi memenuhi harapan orang lain.
Aku tahu rasa itu. Aku tahu bagaimana rasanya berjuang melawan bayangan yang ingin menenggelamkan jati diri.
Di kampung halamanku di Indonesia, aku juga punya label yang menempel kuat, ‘anak baik’. Anak yang harus selalu benar, selalu pintar, dan selalu memenuhi standar yang ditetapkan tanpa kompromi.
Akhirnya, aku memutuskan untuk membuka sedikit tentang diriku, mencoba membangun jembatan yang menghubungkan luka kami.
“Me too,” kataku pelan. “In Indonesia... I supposed to be… ‘anak baik’. Selalu benar. Selalu pintar.”
Matanya menatapku dengan penuh tanya, lalu dengan suara lembut, dia bertanya,
“Are you?”
Aku tertawa kecil, suara itu seperti pelepas ketegangan yang terpendam.
“No. I’m just... Arya.”
Senyum kecil merekah di wajahnya, dan dia menatapku lama, seolah menemukan sesuatu yang tulus dan nyata di balik segala kepura-puraan yang kami pakai selama ini.
Lalu dia mengangguk perlahan, seakan memberi izin untuk menjadi apa adanya.
Malam itu, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, dua jiwa yang terluka saling mengerti tanpa perlu kata-kata panjang.
Di bawah cahaya lampu kuning tua yang temaram, kami duduk di bangku itu, dua sosok yang tampak asing, tapi dalam kesunyian malam, menjadi sangat dekat.
Kita bukan sedang jatuh cinta, bukan juga sedang mencari pelarian dari dunia yang membebani. Kami hanya dua manusia yang berusaha menemukan ketenangan sejenak, melarikan diri dari ekspektasi yang mengekang dan tuntutan yang melelahkan.
Malam itu, ruang dan waktu terasa berhenti. Hanya ada kami, di tengah kota besar yang tidak pernah benar-benar tidur.
Kami tidak perlu bicara banyak, karena hadir saja sudah cukup.
Aku menatap wajahnya yang agak redup oleh cahaya lampu, melihat kelelahan dan kehangatan yang menyatu. Dia menatapku balik dengan tatapan yang lembut, penuh pengertian.
Kami berbagi keheningan yang penuh makna, sebuah bahasa tanpa kata yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasa terasing.
Aku merasakan sesuatu yang hangat di dada, sesuatu yang sederhana tapi sangat berharga: diterima.
Diterima dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan.
Dan entah kenapa, di tengah malam yang sepi itu, rasanya sudah cukup.
Cukup untuk merasa bahwa di kota besar ini, aku tidak sendiri.
Cukup untuk percaya bahwa ada seseorang yang mengerti tanpa harus dijelaskan.
Dan aku tahu, aku akan mengingat malam ini, bukan sebagai malam biasa, tapi sebagai malam di mana dua hati bertemu, tanpa topeng, tanpa pura-pura, hanya keberadaan yang nyata dan tulus.