Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Kami melangkah pelan setelah hujan reda, suara sepatu kami beradu dengan gemercik air yang masih menempel di aspal basah.

Langkah kaki kami terasa berat tapi pelan, bukan karena kelelahan yang menggerogoti tubuh, melainkan oleh sesuatu yang lebih dalam, rasa enggan tiba di sebuah titik yang terasa penuh arti namun belum siap kami hadapi.

Seolah-olah sampai di tempat itu berarti harus melepas sesuatu yang masih menggantung, sesuatu yang belum sepenuhnya bisa kami lepaskan dari hati.

Di ujung gang kecil yang remang itu berdiri sebuah halte tua yang sudah lama terlupakan oleh waktu dan orang-orang.

Tempat duduknya terbuat dari kayu yang mulai rapuh, catnya mengelupas, menampakkan lapisan demi lapisan kenangan yang tersisa.

Papan jadwal bus yang tertempel miring seolah menyerah pada waktu yang terus berlalu, tanpa peduli apakah ada yang masih membacanya atau tidak.

Lampunya yang redup memberikan cahaya yang hangat tapi lembut, seperti cahaya lampu tidur yang malu-malu menyala ketika dunia sudah terlelap.

Sebuah titik terang kecil di antara bayang-bayang malam Tokyo yang panjang dan dingin.

Kami duduk berdampingan di bangku itu, tanpa kata, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami.

Tubuh kami masih menyisakan kelembapan dari hujan yang baru saja berhenti.

Sakura dengan perlahan menyampirkan jaketku yang basah ke pangkuannya, kemudian menekuk lutut dan memeluk tas kecilnya erat-erat.

Gerakannya seperti mencari kehangatan, perlindungan, dari sesuatu yang rapuh dan belum pasti.

Dia menyandarkan bahunya ke sandaran bangku, lalu dengan hati-hati menggeser kepalanya hingga menyentuh bahuku.

Di saat itu, aku merasakan detak jantungku yang seakan berlari tanpa kendali.

Panik, takut, dan ada juga sesuatu yang asing, perasaan yang lembut namun mengguncang seluruh tubuh dan jiwa.

Aku membeku, tak mampu bergerak atau berkata apa pun.

Namun di balik ketegangan yang memenuhi udara, aku perlahan mulai menyadari satu hal yang sederhana tapi sangat berarti:

Aku tidak ingin menjauh.

Aku ingin tetap berada di sini, dalam keheningan yang penuh arti ini, membiarkan momen itu terus berjalan, tanpa gangguan dan tanpa buru-buru.

Aku ingin menikmati ketenangan yang aneh tapi menenangkan itu.

Langit malam Tokyo di atas kami masih berwarna kelabu, tapi bukan kelabu yang menusuk dan dingin seperti hari-hari awalku di kota ini, saat rasa asing dan kesepian menguasai.

Malam itu, kelabu itu terasa hangat, seperti sebuah pelukan yang lembut dan penuh pengertian, meskipun tanpa satu pun kata diucapkan.

Sebuah kehangatan yang berbicara lebih dari ribuan kalimat.

Di halte tua itu, di ujung jalan kecil yang sepi, kami berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia.

Dua sosok asing yang perlahan menemukan sesuatu yang baru, sebuah kedamaian dalam kehadiran satu sama lain, tanpa harus diberi nama atau label.

Di sinilah, dalam pelukan sunyi dan langit kelabu, sesuatu yang tak terdefinisi mulai tumbuh dengan lembut.

***

Sakura masih duduk di sampingku, tubuhnya yang basah terselimuti jaket kerja yang tadi kukenakan. Aku bisa merasakan kehangatan yang merambat perlahan dari jaket itu, bukan hanya sekadar kehangatan fisik dari kain yang menutupi tubuhnya, tapi juga sesuatu yang lebih dalam,  semacam kehangatan jiwa yang tak terucapkan.

Ada sesuatu di udara malam itu yang membuat seluruh suasana berbeda. Keheningan yang hadir bukanlah kekosongan yang sunyi dan membosankan, melainkan hening yang penuh makna, seperti sebuah percakapan tanpa kata-kata. Keheningan yang mengikat kami tanpa perlu suara.

Dia menekuk lutut, memeluk tas kecilnya dengan erat, seolah benda kecil itu adalah jangkar satu-satunya dalam dunia yang terasa terlalu cepat berputar dan terlalu penuh dengan kebisingan yang melelahkan. Ada sedikit gemerisik kain saat dia menggeser posisi, lalu perlahan tanpa sepatah kata, dia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi. Dan lebih dari itu, kepalanya menyentuh bahuku. Sentuhan yang begitu ringan, tapi berat maknanya. Seolah ada pesan tersembunyi yang mengalir melalui kontak itu, jauh lebih dalam daripada apa pun yang bisa diucapkan dengan suara.

Jantungku berdetak lebih cepat, rasanya seperti gelombang emosi yang datang bergulung tanpa suara dan tanpa persiapan. Panik, takut, ingin mundur, tapi di saat bersamaan, sebuah kesadaran muncul: aku tidak ingin menjauh. Aku ingin tetap di sini, tetap dalam momen ini, dalam keheningan ini.

Dingin malam masih menggigit, sisa-sisa hujan yang baru reda menempel di kulit dan udara. Tapi justru di tengah dingin itu aku menemukan ketenangan yang aneh dan menyenangkan. Tidak perlu ada kata-kata, tidak perlu ada aksi besar. Cukup dengan duduk bersama, berbagi keheningan yang hangat dan sarat arti, kami sudah cukup.

Di bawah langit Tokyo yang kelabu dan redup, kami berdua, dua jiwa asing yang tengah mencari tempat pulang, menemukan sebuah kehangatan yang tidak berasal dari kata-kata. Malam yang awalnya sepi dan kosong berubah menjadi momen kecil yang terasa seperti rumah, sebuah pelabuhan kecil yang bisa kami singgahi tanpa perlu takut atau berpura-pura.

Aku menghirup napas dalam-dalam, merasakan udara dingin yang masuk dan keluar perlahan, lalu menutup mata sebentar. Saat membukanya kembali, aku tahu bahwa di sini, dengan Sakura di sampingku, aku tidak lagi merasa tersesat. Ada sesuatu yang telah berubah, halus tapi nyata. Sebuah perasaan yang mengingatkan aku bahwa kadang, keheningan justru bisa menjadi bahasa yang paling menghangatkan hati.

Kepalanya tetap bersandar di bahuku, napasnya lembut dan tenang, seperti irama yang mengalun pelan di tengah hening malam. Aku merasakan ritme nafasnya yang perlahan menyatu dengan detak jantungku sendiri. Ada sebuah simfoni kecil di antara kami, musik sunyi yang hanya bisa didengar oleh dua orang yang benar-benar hadir dalam momen itu, tanpa gangguan kata-kata, tanpa keributan dunia luar yang terlalu sibuk dan bising.

Tangan kami duduk berdampingan di kursi kayu tua yang mulai lapuk itu. Jarak di antara kami begitu dekat, hampir bersentuhan, tapi aku sengaja menahan diri untuk tidak menggerakkan tangan itu. Karena aku tahu, dalam keheningan dan ketidakterucapan itu ada sebuah janji tersendiri, sebuah ruang pribadi yang hanya kami berdua yang tahu dan hargai. Sebuah bahasa tanpa suara, tanpa aksara, tapi penuh dengan makna.

Aku merasakan ada sebuah bahasa baru yang tumbuh di antara kami. Bukan bahasa Jepang yang sering kami pelajari bersama, bukan bahasa Indonesia yang akrab di telingaku, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Sebuah bahasa diam yang lahir dari keberadaan bersama, dari saling mengisi ruang-ruang kosong dalam hati yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bahasa rasa, bahasa yang tidak perlu didefinisikan, tidak perlu dijelaskan, cukup dirasakan.

Di dunia yang penuh dengan label, definisi, dan harapan yang kadang menyesakkan dada, aku menemukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa dipasangkan dengan kata-kata, tapi terasa begitu nyata, membumi, dan menguatkan. Sesuatu yang tidak membutuhkan penjelasan panjang, karena kehadirannya sudah cukup membuat segalanya menjadi bermakna.

Aku memalingkan wajah, menatap ke arah langit malam Tokyo yang perlahan mulai cerah kembali. Awan yang tadi menutupi bintang-bintang mulai tersibak sedikit demi sedikit, membiarkan sinar-sinar kecil berkelip perlahan di cakrawala. Bintang-bintang itu seperti saksi bisu perjalanan kami, tersembunyi namun selalu ada, meskipun tak selalu terlihat.

Aku sadar, meski dunia ini luas, penuh dengan ketidakpastian dan kebisingan yang terus mengalir, aku sudah menemukan tempat yang membuatku merasa... utuh. Tempat yang memberi ruang untuk menjadi aku yang sebenarnya, tanpa topeng atau kepura-puraan.

Di sini. Bersamanya. Dalam keheningan yang penuh arti. Dalam bahasa yang tak terucapkan. Dalam sebuah momen kecil yang terasa abadi.

Angin malam berhembus lembut, membelai wajah kami yang basah dan dingin setelah hujan, seperti bisikan alam yang menenangkan jiwa. Udara malam itu terasa segar, membawa aroma tanah basah dan daun yang baru saja tersiram hujan, membungkus kami dalam selimut keheningan yang penuh makna. Dunia di sekitar kami terus berjalan, lampu-lampu kota berkelip-kelip di kejauhan, seperti bintang-bintang yang menari-nari di antara gedung-gedung pencakar langit, dan suara kendaraan yang bergema pelan dari jalan utama.

Namun di halte tua ini, kami seolah terhenti dalam ruang dan waktu. Seolah Tokyo, dengan segala hiruk-pikuknya, tidak pernah ada di luar sana. Hanya ada kami, dua jiwa yang berdampingan dalam keheningan yang hangat dan akrab. Aku merasakan kehadiran Sakura begitu dekat, bukan hanya secara fisik, bahunya yang menempel di bahuku, napasnya yang mengalir perlahan di samping wajahku, tapi juga di dalam hatiku. Ada kehangatan yang tak tergantikan, sebuah rasa diterima yang selama ini aku cari di kota asing yang penuh bayang-bayang ini.

Aku tidak lagi merasa kecil, tidak lagi merasa tersesat dalam kebisingan dan keramaian yang dulu membuatku takut dan ragu. Kini, dengan bahu yang menopang kepalanya dan napas yang tenang berdampingan denganku, aku tahu satu hal yang sederhana tapi begitu berarti: aku diterima. Aku tidak perlu lagi menyembunyikan siapa diriku, tidak perlu berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan aku hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain. Dalam keheningan ini, aku cukup menjadi Arya dan itu sudah cukup.

Tidak ada kata-kata manis atau janji-janji muluk yang diucapkan malam itu. Tidak ada label yang harus dipasang di antara kami, tidak ada harapan yang harus dipenuhi. Hanya kehadiran yang tulus dan sederhana, kehadiran yang menguatkan dan menyembuhkan. Keheningan kami bercerita lebih banyak daripada kata-kata apa pun yang bisa diucapkan.

Di malam yang kelabu tapi hangat ini, aku belajar sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar bahasa atau budaya. Aku belajar tentang keberanian untuk membuka diri, tentang kekuatan dalam keheningan, tentang menemukan kedamaian di tengah ketidakpastian, dan tentang arti sesungguhnya dari ‘bersama’. Bersama bukan soal kata-kata, bukan soal janji, tapi soal keberadaan dan penerimaan tanpa syarat.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Aku tidak tahu kemana jalan ini akan membawa kami, atau seberapa jauh kami akan berjalan bersama. Tapi malam ini, di bawah langit Tokyo yang pelan-pelan menghilangkan kelabu dan menyambut bintang-bintang, aku tahu satu hal pasti: aku tidak sendirian lagi. Ada seseorang di sisiku yang membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih bisa ditaklukkan.

Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hatiku tenang, untuk membuatku percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, aku bisa menemukan rumah,di tengah kota yang dulu terasa begitu asing.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Solita Residen
1332      776     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Langkah yang Tak Diizinkan
149      126     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Layar Surya
1129      680     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Smitten Ghost
172      140     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Suara yang Tak Pernah Didengar
292      171     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Anikala
789      366     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
My First love Is Dad Dead
51      48     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Tanda Tangan Takdir
139      121     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Imajinasi si Anak Tengah
1663      961     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Andai Kita Bicara
509      411     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...