Pernikahan ternyata bukan akhir dari pencarian, tapi awal dari banyak ketidakpastian.
Dua bulan setelah hari itu, kami tinggal di rumah kontrakan kecil tak jauh dari rumah Ibu. Dindingnya tipis, dapurnya sempit, tapi kami menata semuanya dengan senyum. Radit mengecat sendiri dinding ruang tengah warna putih telur asin. Katanya, biar adem dan nggak terlalu sempit kelihatannya.
Awalnya, semuanya terasa hangat. Aku masih terbiasa bangun dengan dering alarm kos, dan harus menelan kenyataan bahwa kini yang membangunkanku adalah aroma kopi buatan Radit. Kami mulai belajar hidup bersama—mencuci berdua, belanja mingguan ke pasar pagi, mencatat pengeluaran di buku kecil yang aku hias dengan stiker lucu. Aku tetap bekerja, sesuai kesepakatan kami sejak awal: Radit tak pernah melarang aku bekerja, berkarya, atau melakukan hal-hal yang aku suka.
Sampai suatu sore, saat Radit pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya kosong. Tanpa senyum.
"Aku di-PHK," katanya pelan sambil duduk di ujung kasur.
Aku berdiri di ambang pintu, belum sepenuhnya memproses kalimatnya.
"Kamu bercanda?"
Dia menggeleng. “Enggak.”
Hening. Aku masih menatapnya, menunggu kalimat tambahan seperti, “Tapi aku dapat tawaran di tempat lain.” Tapi tak ada. Tangannya menggenggam tas kerjanya erat, seperti memegang sisa harga dirinya.
Rasanya seperti ditarik mundur ke kenyataan: bahkan cinta yang paling siap pun bisa kehilangan pijakan.
**
Hari-hari setelah itu berubah sunyi. Radit masih bangun pagi seperti biasa, masih membuat kopi, tapi tak tahu harus ke mana. Kadang duduk di meja makan lama sekali, memandangi lowongan kerja di laptopnya. Beberapa hari dia ikut proyek freelance, bantu teman yang buka agensi kecil. Tapi hasilnya belum cukup menutup biaya hidup bulanan kami.
“Aku masih kerja, Dit. Aku masih bisa nanggung ini,” kataku suatu malam, mencoba menenangkan.
Dia mengangguk. Tapi aku tahu—buat Radit, ini bukan cuma soal uang. Ini soal harga diri. Soal peran. Soal rasa gagal sebagai suami yang katanya seharusnya ‘melindungi dan memberi’.
Kadang dia tertawa saat aku cerita soal rekan kantor, tapi matanya kosong. Kadang dia memasak makan malam lebih dulu sebelum aku pulang, tapi cepat-cepat masuk kamar setelahnya. Aku tahu, itu caranya berusaha tetap berguna.
**
Di bulan keempat pernikahan, kami pernah bertengkar hanya karena sambal pecel lele yang terlalu asin. Tapi aku tahu, bukan itu masalahnya. Kami sedang capek. Bukan pada satu sama lain, tapi pada hidup yang menolak berjalan lurus.
“Nikah itu kok… begini ya?” aku pernah menangis diam-diam di toilet sambil menyeka wajah dengan tisu yang lembap.
Malam itu, aku tidak keluar kamar sampai larut. Lalu kudengar langkah Radit mendekat. Ia mengetuk sekali, lalu duduk di lantai, bersandar di pintu yang tak terkunci.
“Maaf,” katanya.
Aku ikut duduk bersandar dari sisi dalam. Punggung kami hanya dipisahkan daun pintu tipis.
“Maaf juga,” bisikku.
Tak lama, aku buka pintunya. Ia menatapku sebentar, lalu menarikku ke pelukannya. Kami duduk di lantai, saling merangkul seperti dua anak kecil yang takut kehilangan. Aku menangis di bahunya, dan kudengar dia juga menghela napas berat—sesekali suaranya bergetar.
“Aku takut kamu nyesel,” katanya lirih.
Aku menggenggam tangannya. “Aku takut juga. Tapi lebih takut kalau harus jalanin ini sendiri.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya kami benar-benar menangis bersama. Bukan karena membenci hidup, tapi karena kami sedang belajar cara bertahan. Mungkin cinta tidak selalu tentang tertawa dan bahagia, tapi tentang bertahan meski dunia rasanya terlalu gelap.
Ternyata, cinta bukan tentang siapa yang lebih kuat. Tapi tentang siapa yang tetap tinggal, meski rasanya ingin lari.
***
Malam itu, setelah Radit tertidur lebih dulu, aku duduk sendiri di ruang tengah yang hanya diterangi lampu belajar kecil. Suara kipas angin berdengung pelan, dan dari jendela dapur, samar-samar terdengar suara televisi tetangga.
Aku membuka buku jurnal yang sudah lama tak kusentuh sejak menikah. Halaman-halamannya masih penuh dengan rencana-rencana optimis: mimpi punya rumah kecil, traveling berdua, tabungan bersama untuk bisnis. Tapi malam ini, yang kutulis jauh dari kata rapi.
Mungkin hidup bukan tentang menaklukkan, tapi menerima. Menerima bahwa ada harapan yang tak kunjung jadi kenyataan, bahwa cinta juga bisa lelah.
Kadang aku bertanya-tanya, ini arahnya ke mana? Aku suka pekerjaanku, tapi aku belum yakin ini panggilanku. Hidupku sekarang bukan tentang mengejar sesuatu. Tapi bertahan.
Bertahan agar kami nggak saling menyalahkan.
Bertahan agar cinta yang kami perjuangkan ini nggak runtuh karena kenyataan.
Katanya, cinta akan menemukan jalannya. Tapi bagaimana kalau jalannya masih berkabut dan kami tak tahu harus melangkah ke arah mana?
Aku berhenti menulis sejenak. Menatap langit-langit yang retaknya makin jelas tiap malam. Tapi anehnya, aku merasa lebih tenang. Karena meski semuanya belum pasti, setidaknya aku tak sendirian.
Setidaknya, ada kami.