Aku bangun pagi itu dengan kepala berat dan dada kosong. Bukan karena aku tidak bahagia—aku hanya belum bisa sepenuhnya percaya bahwa hari ini akhirnya datang.
Setahun lebih sejak hari Radit menyematkan cincin di jariku, dan mengatakan dengan suara bergetar bahwa dia ingin menua bersamaku. Satu tahun penuh tunda, tarik ulur, kehilangan, luka, dan belajar ulang soal arti “bersama.” Hari-hari yang seharusnya penuh persiapan berubah jadi perjuangan menata hati, menghadapi duka, sampai hampir menyerah di tengah jalan. Tapi Radit tetap tinggal. Dia sabar menungguku melewati musim badai.
Gaun putihku tergantung di sisi lemari, masih terbungkus rapi plastik tipis. Kupandangi lama dari atas kasur. Mata belum terlalu terbuka, tapi hatiku sudah terlalu ramai.
Ada perasaan syukur, gugup, haru, dan sedikit… kehilangan. Aku merindukan Raya. Teringat dia yang dulu paling semangat membayangkan pernikahanku, yang selalu bercanda soal siapa yang bakal nangis duluan pas aku nikah—aku atau dia. Dan pagi ini, aku tahu jawabannya.
Aku tidak sempat menangis saat itu. Terlalu banyak yang harus disiapkan. Kakiku otomatis bergerak ke kamar mandi. Ibu sudah sibuk sejak Subuh, katanya tidak bisa tidur.
“Hati Ibu kayak sesak senang,” katanya malam sebelumnya, waktu kami salat bareng. Aku tak sanggup jawab, hanya mengangguk dan tersenyum setengah hati.
***
Jam-jam menjelang akad terasa seperti lorong waktu. Semua bergerak cepat, tapi juga terasa lambat. Sambil dipoles MUA, aku mendengar suara di luar—tamuku, keluargaku, orang-orang yang selama ini cuma bisa aku bayangkan hadir, kini benar-benar datang. Tante yang dulu sering nanyain, "Kapan nikah?", kini membawa kado dan senyuman.
Di sisi lain, aku lihat Radit dari jauh—berdiri dengan baju koko putih dan sarung tenun. Dia terlihat lebih dewasa dari biasanya. Tegas, tenang, tapi sedikit gelisah seperti aku. Kami tak bicara banyak pagi itu. Tapi aku tahu, dia merasakan hal yang sama: ini bukan cuma pesta, ini adalah lembaran baru yang belum pernah kami buka.
Dan mungkin, kami tidak akan pernah benar-benar siap. Tapi kami sepakat untuk berjalan.
**
Saat ijab kabul dibacakan, aku gemetar. Kalimat "saya terima nikahnya…" terasa seperti gemuruh yang mengguncang dunia kecilku. Dan ketika semua berseru "sah!" dengan suara lantang, aku seolah kehilangan pegangan. Tubuhku membeku, mataku basah.
Sah. Sudah sah. Aku resmi menjadi istri Radit.
Air mataku tumpah tanpa aba-aba saat aku menghampiri Ibu. Kami berpelukan lama. Aku menangis di pelukannya seperti anak kecil. Aku pikir aku sudah cukup dewasa dan kuat, tapi ternyata hari ini tetap terasa magis dan menakutkan.
Begitu juga dengan Nenek. Ia menatapku dalam-dalam sebelum membisikkan:
"Inget, hidup setelah menikah itu bukan selalu indah. Tapi kamu harus terus jadi kamu, Ra. Jangan hilang hanya karena berganti nama."
“Dan tetap kejar jadi PNS, ya. Supaya kamu punya pijakan, dan nggak diremehkan orang.”
Aku mengangguk sambil memeluknya. Aku tahu kalimat itu datang dari luka-luka yang sudah lama Nenek alami. Dan kini dia mewariskannya dengan bentuk kasih yang kukenali sejak kecil: keras tapi hangat.
**
Sore menjelang malam, pesta berakhir. Tapi hatiku justru mulai tenang. Aku duduk berdua dengan Radit di kursi tamu setelah semua pulang. Rumah mulai sepi, hanya tinggal bekas-bekas langkah, sisa tawa, dan bunga-bunga yang mulai layu.
“Kamu capek ya?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Tapi hati aku… adem.”
Dia tersenyum. "Akhirnya ya?"
Aku menatapnya. “Akhirnya. Tapi juga… awal dari semua yang belum kita tahu.”
Dia menggenggam tanganku. Erat. Dan pelan-pelan, aku menyandarkan kepala di bahunya.
Satu tahun lebih, banyak hal berubah. Tapi satu hal tetap: dia tidak pernah pergi.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku tidak merasa takut sama sekali.