Aku masih ingat pagi itu. Radit membangunkanku sambil membawa segelas teh manis dan kabar yang dia sembunyikan di balik senyumnya. Matanya belum sepenuhnya terbuka, rambutnya masih awut-awutan, tapi ada binar kecil yang terasa asing sejak beberapa bulan terakhir.
"Aku dipanggil buat proyek di Pemkot," katanya pelan, seolah takut kabar baik itu akan buyar kalau diucapkan terlalu keras.
Aku langsung duduk di kasur, hampir menjatuhkan selimut.
"Serius? Kamu keterima?"
Dia mengangguk, lalu mengangkat bahu.
"Masih tahap awal sih. Tapi lumayan, bisa buat nutup listrik bulan depan."
Aku tertawa kecil.
"Atau beli rice cooker baru, biar nggak masak nasi di panci lagi."
Kami tertawa bareng. Tawa yang, entah kenapa, lebih lepas. Lebih ringan. Untuk pertama kalinya setelah sekian minggu yang dipenuhi kecemasan dan kebungkaman yang menyesakkan, rumah kecil kami kembali terdengar hidup.
Dua bulan sebelumnya, kami nyaris bertengkar hanya karena sambal pecel lele yang terlalu asin. Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya. Kami lelah. Kami takut. Kami belum siap menghadapi betapa rumitnya hidup setelah janji “sah” itu diucapkan.
Tapi kabar dari Pemkot pagi itu seperti angin baru. Tidak besar, tidak menyelesaikan semuanya, tapi cukup untuk membuat kami bergerak lagi.
Proyek freelance itu pun dimulai. Gajinya tak seberapa dibanding gaji tetap Radit dulu, tapi tidak apa-apa. Yang penting, dia terlihat hidup lagi. Ada arah. Ada langkah. Dia mulai bangun lebih pagi, menyetrika bajunya sendiri, bahkan membawa bekal dari rumah yang kami siapkan bersama malam sebelumnya. Kadang cuma telur dadar dan sambal kecap, tapi dia makan dengan lahap, seolah itu menu restoran mahal.
Aku juga mulai masuk kerja penuh waktu lagi. Aku bersyukur bisa bekerja di tempat yang memberi ruang untuk menyesuaikan diri dengan peran baruku sebagai istri. Mereka tidak menuntut banyak, dan aku bisa pulang tepat waktu, membuat makan malam sederhana, atau sekadar duduk di meja kecil sambil menemani Radit melamar pekerjaan lain secara daring.
Pelan-pelan, keuangan kami membaik. Tidak drastis. Tapi cukup untuk beli rak sepatu baru, bahkan jemuran lipat. Kami mengganti tikar di ruang tamu dengan karpet tipis. Kami juga beli lampu tidur kecil yang warnanya bisa berubah—hanya karena kami ingin ruang tengah terasa lebih hangat.
Aku mencatat setiap pembelian di buku pengeluaran yang dulu aku hias dengan stiker kartun. Sekarang isinya lebih penuh, tapi terasa lebih ringan. Karena tidak lagi mencatat dengan rasa takut.
***
Satu malam, aku duduk di sudut meja ruang tengah dan mulai menulis jurnal lagi setelah sekian lama. Di ruang yang warnanya mulai pudar karena panas sore hari, aku membuka halaman baru, lalu menulis dengan huruf kecil dan hati-hati:
"Aku belum tahu pasti ke mana arah hidupku. Karierku masih biasa saja. Tapi hari ini aku bisa makan bareng orang yang kusayang, di rumah kecil yang kami rawat sama-sama. Hidup bukan tentang menang, tapi tentang bertahan dengan hati yang masih bisa percaya."
Kadang aku masih menangis di kamar mandi. Bukan karena sedih, tapi karena masih ada sisa-sisa takut yang belum benar-benar hilang. Tapi kali ini, aku tidak menangis sendirian. Radit akan mengetuk pintu, duduk di lantai, memelukku dari belakang, dan bilang:
"Kita pelan-pelan aja. Nggak perlu buru-buru sukses. Yang penting kita masih bareng."
Malam itu kami duduk berdua di lantai ruang tengah. Lantainya dingin, tapi tidak seperti dulu. Bukan lagi dingin karena takut, tapi dingin yang menenangkan.
"Menurut kamu, kita udah bisa dibilang berhasil?" tanyaku sambil menyandarkan kepala di bahunya.
Radit nyengir.
"Kalau ukuran berhasil itu nggak masak air pakai panci lagi, mungkin iya."
Kami tertawa. Tapi kami tahu, ini lebih dari sekadar rice cooker baru. Ini tentang dua orang yang mulai menemukan irama. Bukan karena hidup jadi lebih mudah, tapi karena kami memutuskan untuk tetap menari meski musiknya kadang sumbang.
Jurnal, halaman terakhir malam itu:
“Bahagia bukan saat semua impian tercapai. Tapi saat kamu bisa bilang, ‘Aku masih di sini, meski semuanya belum sesuai rencana.’ Dan ada orang yang menjawab, ‘Aku juga.’”