Loading...
Logo TinLit
Read Story - Penerang Dalam Duka
MENU
About Us  

Mengawali musim panas, berkencan di sebuah taman panti awalnya tidak terlihat ada yang aneh namun situasinya sekarang berbeda. 

 

Entah mengapa pada hari itu musim panas terlihat seperti musim hujan. Segala pertanyaan dari pria di sebelahnya lebih terdengar seperti ancaman. 

 

Mina merasakan tekanan batin yang kuat dan mulai bertanya-tanya dalam benaknya apakah dia melupakan sesuatu. 

 

"Apa aku pernah mengatakan padanya kalau aku ini yatim-piatu?" Mina membatin, dia mengendalikan ekspresinya sebaik mungkin. 

 

Mina melirik, menatap Hendrik yang kini tersenyum padanya. Tatapan itu sekilas terlihat biasa saja, tidak ada keanehan tetapi di satu sisi juga menyeramkan. Kini Mina sadar apa yang dimaksud oleh Lia sebelumnya. 

 

“Kak Hendrik.”

“Panggil saja aku Hendrik.”

“Itu nggak sopan. Biarkan aku memanggil kakak seperti ini.” 

 

Hendrik menghela napas, kecewa karena tidak memiliki panggilan khusus dari kekasihnya. Lantas dia berjalan menuju ke sebuah kursi taman yang tidak jauh dari sana. Lalu mengajak Mina untuk duduk bersamanya. 

 

Duduk di kursi yang sama namun jarak di antara mereka melebar. Secara terang-terangan Mina menjaga jarak, dia sudah tidak peduli lagi apa yang akan dipikirkan oleh Hendrik tentang hal ini. 

 

Mina sekali lagi melirik ke arahnya, lantas tersentak kaget saat sadar bahwa kekasihnya itu masih saja menatapnya sambil tersenyum. 

 

“Kenapa?” Mina bertanya dengan gelisah. 

“Aku cuman iri dengan semua pasangan yang punya panggilan khusus. Jadi aku mengharapkannya darimu.”

 

Di situasi seperti ini pun Hendrik masih sempat bercanda. Semakin lama Mina semakin tidak mengerti pemikirannya itu. 

 

"Apa cuman kebetulan?" batin Mina. 

 

Hendrik menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Mina, tapi Mina yang merasa sedikit risih itu lantas berdiri dari tempat duduk. Dia mulai tidak tahan dengan keberadaan Hendrik. 

 

Hanya karena pertanyaan dari Hendrik terakhir kali, telah membuat kewaspadaan Mina meningkat. 

 

“Segitunya membenciku?”

“Bagiku, nggak ada alasan membenci kakak. Tapi bisakah jawab pertanyaanku ini?”

 

Mina berharap dengan terang-terangan seperti sekarang ini, Hendrik pun tidak lagi menyembunyikan sesuatu. 

 

“Kak Hendrik sempat berpikir bahwa nasibku sama seperti mereka, benar?” Menanggapi pertanyaan itu, Hendrik menganggukkan kepala.

 

“Seingatku aku belum pernah cerita tentang hal itu. Lalu dari mana kakak tahu?” 

 

“Apa aku pernah mengatakan kalau aku tahu? Aku hanya sekadar bertanya.” Tatapan Hendrik yang tajam, membuat Mina tersentak. 

 

Lagi-lagi dia terjebak karena pertanyaannya sendiri. Ini terlihat memalukan, mengingat berapa percaya dirinya Mina dalam menghadapi pria ini.

 

“Aku cuman merasa kalau kakak sudah tahu padahal aku belum cerita.”

 

“Oh, begitu. Kalau dari ucapanmu barusan, kamu benar-benar anak yatim-piatu rupanya. Aku turut merasa sedih. Maaf jika menyinggung.”

 

Mina berbalik badan, dia mengontrol ekspresinya agar tidak terhanyut dengan emosi yang kuat karena dia merasa belum saatnya untuk bertindak. 

 

“Hanya dengan perkataan itu sudah termasuk menyinggung perasaan seseorang,” sindir Mina. 

 

“Ya, aku minta maaf. Maafkan aku karena menyinggung perasaanmu. Aku tahu kalau perasaan wanita itu rapuh.”

 

“Tolong ijinkan aku bertanya lagi pada kakak. Apa kakak pernah bertemu dengan kedua teman kakak sebelum bertemu denganku hari ini?” 

 

“Aku bertemu mereka sebentar. Kenapa?”

 

“Oh, bagaimana kabar mereka?” 

 

“Kabar mereka baik. Tapi kenapa malah bertanya tentang mereka dan bukan tentang aku?” Kali ini Hendrik yang merasa tersinggung. 

 

“Aku cuman penasaran. Kenapa tiga orang yang selalu bersama mendadak nggak saling berjumpa lagi. Apalagi setelah kakak bertemu denganku, aku pikir kakak sudah jarang bertemu mereka.”

 

Hendrik tersenyum kecut, kemudian beranjak dari tempat duduk dan mengajak Mina masuk ke dalam panti. Terhitung puluhan ruangan dan salah satunya adalah ruangan milik Hendrik. 

 

“Aku ada di sini sejak kecil. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal sama seperti kamu, Mina. Hanya beda waktu saja,” ungkapnya. 

 

Ruangannya yang luas menyimpan kenangan lama dari semua anak panti yang ada di tempat ini dan hanya ada sebuah foto lama dari kedua orang tuanya yang menggendong sosok Hendrik yang masih bayi. 

 

Tidak ada yang istimewa selain kenangan yang tertempel di bagian dinding dalam ruangan ini. Mina melihat semua ekspresi Hendrik di setiap foto selalu tersenyum. Mungkin terlihat tulus namun Mina merasa ada yang janggal dengan senyumannya. 

 

Mina berjalan menuju ke arah meja, melihat sebuah foto Hendrik bersama Aldi dan Albert. Posisi Hendrik berada di bagian tengah membuatnya mudah membandingkan wajah dengan Aldi. 

 

“Lihat ini, Mina.” Hendrik memanggil dan menyuruhnya untuk berbalik. 

 

Spontan Mina menengok ke belakang dan sangat terkejut dengan Hendrik yang tiba-tiba menggunakan kacamata. Sesaat Mina berpikir bahwa dia adalah Aldi.

 

“Bagaimana? Aku mirip dengan temanku yang ini 'kan?” Hendrik menunjuk foto Aldi. 

 

“Iya, aku sampai kaget lihat kakak. Kenapa sangat mirip ya?” 

 

“Katanya sih karena kami satu ibu tapi beda ayah.”

 

Mina merasa tidak sebaiknya mendengar masalah ini. Mina meminta Hendrik agar berhenti bercerita lantaran ada perasaan yang tak nyaman sulit dijelaskan. Sejak tadi jantungnya berdegup terlalu kencang, seolah dia baru saja berlari sangat kencang.

 

“Kenapa kakak tiba-tiba ngajak ke tempat ini? Ini tempat pribadi kakak, nggak seharusnya kakak nunjukkin semuanya karena setiap orang juga butuh privasi,” jelas Mina. 

 

“Ini aku lakukan karena perasaan bersalah.”

 

“Bersalah?”

 

“Aku tahu tentang kamu bukan dari kamu sendiri. Aku minta maaf pun nggak ada gunanya, jadi aku lakukan ini agar kita impas.” 

 

Nada bicara dan ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi sangat serius. Hendrik mendekat sampai hanya tersisa beberapa centi di antara mereka. Mina mengalihkan pandangan dan berniat mencari cara agar bisa menjauh dari posisi kurang nyaman ini.

 

“Mina. Usia 17 tahun. Yatim-piatu. Kedua orang tuanya meninggal saat mereka hendak pulang dari tempat wisata. Salah satu sahabatmu bernama Lia, selama ini kamu selalu dibantu oleh keluarganya.” 

 

Keringat dingin mulai bercucuran, pupil mata yang menatap Hendrik kini bergetar, sekujur tubuhnya pun menggigil ketakutan. Mina cukup yakin dirinya tidak pernah mengungkapkan semua hal itu namun sekarang Hendrik mengatakannya secara terang-terangan. 

 

“Aku tahu ini semua berkat dirimu, Mina.” 

 

Hendrik melirik ke arah tas kecil yang dibawa Mina. Tanpa merasa sungkan, tangannya merogoh masuk ke dalam tas lalu mengeluarkan sebuah ponsel milik Mina. 

 

“Aku mengatakannya barusan, tapi malah ponselmu hancur. Tapi ini hal bagus.”

 

“Apa yang kakak maksud?” Keningnya mengerut, Mina bertanya. 

 

“Apa kamu nggak sadar kalau ponselmu ada alat pelacak dan perekam suara. Mereka semua tahu posisimu dan apa yang kamu bicarakan selama ini karena ponsel ini.” 

 

Hendrik lantas melangkah ke sisi pintu, sejenak melihat ke sekitar yang benar-benar sepi. Semua anak yang ada di panti masih sibuk bermain di taman.

 

“Karena kamu nggak sadar berarti ponsel ini rusak karena nggak sengaja. Aku benar?” Hendrik kembali meliriknya sambil tersenyum.

 

“Kalaupun benar, apa urusanmu sampai bersikap nggak sopan seperti sekarang? Kakak selalu menyudutkanku tetap sasaran, apakah selama ini kakak memang sadar tentang siapa aku?”

 

“Aku belum bisa menjawabnya.”

 

“Kenapa?!” Sedikit membentak, Mina mengepalkan kedua tangannya meski perasaan takut akan sosok Hendrik membuat Mina sangat tertekan. 

 

Informasi Mina bocor bukan tanpa alasan, Hendrik sendiri lah yang membongkarnya secara perlahan. Dia yang hanya teman dari kedua target ternyata menyembunyikan fakta mencengangkan lainnya. Dia bukan pria biasa. Sama seperti yang dipikirkan oleh Lia, bahwa Hendrik adalah pria menyeramkan yang tak seharusnya Mina terlibat lebih jauh dengannya. 

 

Namun di samping semua alasan logis itu, hanya satu hal yang membuat Mina tetap bertahan, yaitu demi menemukan infomasi sebanyak apa pun mengenai kedua target yang telah ditandai. Dia pun sejak awal tahu bahwa resikonya terlalu besar untuk menyelidiki hal ini sendirian.

 

“Yang kamu ketahui tentang aku cuman sedikit. Jadi kamu nggak berhak mengetahuinya.” Dengan sombongnya Hendrik berkata seperti itu. 

 

Merasa tidak puas, Mina merasa kesal. Namun emosinya menjadi stabil. Tangannya tidak lagi mengepal, kerutan di kening pun memudar, ketenangan yang sulit dijelaskan seolah membantunya beradaptasi akan suasana di sekitar. 

 

Semilir angin masuk melewati jendela yang terbuka, sinar mentari menyorot masuk ke dalam dan membentuk garis yang seolah memisahkan jarak di antara mereka. 

 

Mina menundukkan kepala sejenak, Hendrik sekali lagi tersenyum dan kali ini dia merasa puas karena melihat ketidakberdayaan Mina di hadapannya. Namun kepuasan itu tidak bertahan lama sampai ketika Mina mengangkat wajahnya lagi dan menunjukkan ekspresi datar.

 

"Tujuanku berpacaran dengannya hanya demi balas dendam. Aku tidak boleh goyah hanya karena perasaanku yang ini nyata," batin Mina. 

 

Senyuman yang biasa ada pada wajah Hendrik telah menghilang. Dia merasa kesal karena pada kenyataannya gadis itu mampu menatapnya dengan tajam. 

 

“Orang yang masuk ke dalam rumahku adalah kau, 'kan?”

 

Hendrik lantas membalas pertanyaan itu, “Apa maksudnya?”

 

“Orang yang mencoba menerobos masuk ke dalam rumahku lalu karena ketahuan, kau langsung pergi. Itu benar-benar dirimu, 'kan?”

 

Seketika Hendrik diam, dia sengaja tidak menjawab atau lebih tepatnya sulit menjawab. Dia bertanya-tanya dalam benaknya sendiri, mengapa bisa gadis itu berpikir hal seperti itu. 

 

“Kamu tidak terlihat seperti gadis yang aku kenal. Mina, apa itu benar kamu?”

 

“Jangan mengalihkan topik pembicaraan saat sudah ketahuan,” sindir Mina. “Baiklah kalau kakak maunya begitu, aku nggak akan mengubah gaya bicaraku yang sekarang.”

 

Mina berjalan beberapa langkah, menerobos garis dari sorotan cahaya itu. 

 

“Aldi dan Albert Ginnia adalah kedua target yang aku waspadai. Pertemuanku dengan mereka untuk yang kedua kalinya sudah terbukti suatu kejahatan.” 

 

Kala itu Mina juga sedang berpikir dalam benaknya, "Jika mereka memang menargetkanku, seharusnya mereka tahu bagaimana wajahku tapi hanya menyebut nama bahkan alamat rumahku saja tidak tahu." 

 

Dari situ Mina menarik kesimpulan bahwa mereka perlu memastikan apakah Mina adalah gadis yang mereka cari. Putri sulung dari orang tua yang mereka habisi. 

 

“Aku tanya apa maksudnya itu?” Hendrik merasa sedikit terancam. Dia bahkan cukup terkejut karena ternyata Mina mengetahui nama kedua temannya.

 

“Orang yang selama ini berinteraksi denganku cuman Lia, Ibunya, dan dua orang lainnya yang kukenal. Tapi mereka tidak berada di posisi bisa menerobos ke dalam rumahku begitu saja. Lalu selain mereka, hanya kakak yang terlintas dalam pikiranku.”

 

“Kamu nuduh aku?”

 

“Iya. Memangnya siapa lagi yang bisa melakukan itu? Dan juga aku curiga setelah kakak tahu kalau ponselku ada alat pelacaknya.”

 

“Oh, jadi kamu pura-pura nggak sadar kalau ponselmu ada benda itu?” Hendrik mendengus. 

 

“Bukan. Aku memang tahu orang itu menanamkan alat pelacak di suatu tempat tapi aku nggak tahu kalau itu ada di ponselku yang seharusnya tidak pernah mereka lihat.”

 

“Mendengarmu berbicara tentang seseorang selain kita, apakah itu rekanmu?”

 

“Sekarang aku yang bertanya, tapi setelah mendengar kalimat barusan, aku jadi semakin yakin kalau kalian bertiga bekerja sama.”

 

“Hanya dengan kalimat tanya, "Apakah itu rekanmu?", Mina, wah kamu sungguh mengejutkan.” Hendrik tertawa namun dengan tatapan tak bersahabat.

 

“Kak Hendrik seharusnya mempertimbangkan setiap ucapan. Atau karena kakak adalah tipe orang yang akan mengatakannya lebih dulu sebelum berpikir?” 

 

“Ya, aku mungkin orang yang seperti itu tapi mungkin karena sengaja mengekspos jati diriku?” 

 

Dengan memperlihatkan apa hal yang berharga bagi Hendrik sudah menjelaskan bahwa Hendrik sendiri lah yang sengaja mengungkap kelemahannya sendiri. Entah dengan alasan apa namun Mina merasa sedang diuji olehnya. 

 

Semua ekspresi bahagia dan senyum yang terlihat tulus itu pada akhirnya hanyalah senyuman palsu. Alasan mengapa Mina mengetahuinya adalah karena mereka memiliki satu pemikiran yang sama.

 

“Katamu kita harus terang-terangan benar? Kalau begitu boleh aku bertanya apa benar kamu itu anak dari pasangan Code?”

 

Mina terkejut dalam diam, dia tidak memahami apa maksud ucapannya barusan. Hendrik mengatakan sesuatu yang sulit dipahami olehnya untuk saat ini.

 

"Anak dari pasangan code? Siapa? Aku? Apa ini berhubungan dengan identitas pria bisu itu? Kedengarannya seperti rahasia yang nggak boleh aku dengar," pikir Mina dalam benaknya.

 

“Kamu hanya anaknya, jelas saja kamu nggak tahu apa-apa. Lagi pula itu rahasia.” 

 

“Mungkin itu sesuai dengan yang kakak pikirkan. Apa pun sebutannya, Mahendra adalah nama ayahku dan Deswita adalah nama ibuku,” ungkap Mina.

 

“Ternyata benar kamu adalah gadis yang aku cari,” tutur Hendrik.

 

“Apa kakak memanfaatkan hubungan kita untuk itu?”

 

“Iya.” Hendrik mengakuinya tanpa ragu. Sikapnya bahkan terlalu santai.

 

“Jadi ...apa yang akan kakak lakukan setelah tahu aku ini siapa?”

 

Situasi mendadak hening, tidak ada suara apa pun yang memecah keheningan kecuali suara angin kencang dari luar. 

 

Pada akhirnya hubungan yang berstatus "kekasih", tetap saling memikirkan diri sendiri. Begitu waktunya tiba, entah siap atau tidak, semua akan terbongkar dalam sekejap. Hal yang tidak terhindarkan, kini telah membuat jarak di antara mereka semakin lebar. 

 

Apakah pada akhirnya perasaan itu tetaplah palsu? Hendrik dan Mina memiliki pemikiran yang sama, bahkan meskipun jika benar-benar saling menyukai satu sama lain pun mereka tetap memiliki satu tujuan, mereka saling menyelidiki. 

 

“Ini tidak pernah terbayang dalam hatiku tapi tetap terbayang dalam pikiranku.” Suara yang lembut namun tegas, pandangan yang sekilas terlihat sedih seolah merasa tersakiti. 

 

Cermin kecil memantulkan punggung yang berusaha berdiri tegak, dia mengalihkan pandangan sejenak sebelum kembali menatap Mina sambil tersenyum sekali lagi. 

 

“Pada akhirnya kita berdua saling memanfaatkan satu sama lain,” ujar Hendrik. 

 

Perasaan ini begitu mudah sensitif. Cinta dan benci memiliki selisih perbedaan yang sedikit. Mina merasakan kebencian yang kuat di balik wajahnya yang terlihat sedang berduka. Mina seperti sedang melihat diri sendiri. 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Interaksi
441      332     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
A Missing Piece of Harmony
292      232     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Semesta Berbicara
1348      789     10     
Romance
Suci Riganna Latief, petugas fasilitas di PT RumahWaktu, hanyalah wajah biasa di antara deretan profesional kelas atas di dunia restorasi gedung tua. Tak ada yang tahu, di balik seragam kerjanya yang lusuh, ia menyimpan luka, kecerdasan tersembunyi, dan masa lalu yang rumit. Dikhianati calon tunangannya sendiri, Tougo—teman masa kecil yang kini berkhianat bersama Anya, wanita ambisius dari k...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
190      156     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
418      316     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Spektrum Amalia
804      540     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
MANITO
1366      935     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....