Tanggal 4 Januari. Pukul 14.00, di siang hari yang cuacanya sungguh panas. Hendrik mengundang Mina ke suatu tempat melalui pesan.
[Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Pergilah ke lokasi ini. Seharusnya tidak jauh dari kafe.]
Pengawas yang diberi perintah oleh Guntur masih berada di sekitarnya. Namun karena dia tidak terlihat, sehingga Mina tidak tahu harus bagaimana cara menemukan apalagi sekadar berbincang dengannya.
"Ini sedikit merepotkan. Aku nggak mau kalau ada yang menguping," keluh Mina membatin.
Sehari setelah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Hendrik, keduanya sudah saling meresmikan hubungan itu. Lalu pada hari ini Hendrik mengajaknya ke suatu tempat yang nama tempatnya dirahasiakan. Hendrik bahkan hanya mengirimkan titik lokasinya saja.
Sebelum benar-benar pergi, dia sudah berdiri hampir sekitar 10 menit di depan lemari pakaian. Banyaknya pakaian berwarna merah muda yang belum sempat dibuang, membuat Mina merasa pusing. Dia merasa tidak ada pakaian yang pas untuknya berkencan.
“Aku sudah dewasa jadi nggak perlu pakaian merah muda yang norak begini. Boleh saja kalau minimalis tapi terlalu banyak corak di semua pakaianku.”
Dia mencari di setiap sudut dalam lemarinya, berharap menemukan pakaian elegan yang menampilkan kesan dewasa. Pakaian yang terhitung puluhan hingga memenuhi isi lemari itu hanya terdapat satu setelan pakaian yang sederhana dan memiliki warna yang tidak begitu mencolok.
Celana jeans dengan pakaian berwarna abu-abu polos serta outer yang juga berbahan jeans. Pakaian ini diberikan oleh ayahnya saat beranjak usia ke-12, karena ukurannya yang besar sehingga tidak pernah dipakai dan baru kesampaian sekarang.
“Ini bagus,” ucap Mina. Dia merasa senang begitu melihat adanya pakaian yang sesuai dengan seleranya saat ini.
Tidak butuh waktu lama baginya berdandan sedikit lalu pergi bersama kucing hitam kesayangan yang memang sejak awal kucing ini tidak bisa berhenti mengikuti.
“Padahal aku ingin berkencan tapi kucingku malah ikut terus. Tapi yah, ini seharusnya bukan kencan pertama kali buatku.”
Mina sudah berulang kali bertemu dengan pria itu di kafe, itu saja sudah disebut sebagai kencan yang mengartikan sebuah pertemuan antara seorang pria dan wanita.
Segala hal telah dipersiapkan meski mendadak. Dengan tampilan selayaknya anak muda namun terkesan dewasa, riasan yang ada pada wajahnya juga tidak terlalu mencolok. Dia pergi sendirian menuju ke titik lokasi itu.
Namun sebelum benar-benar pergi, ada hal yang harus dibereskan.
Mina berhenti di tengah perjalanan sesaat setelah keluar dari perumahan. Dia menoleh ke belakang dan tidak merasakan adanya seseorang yang mengikuti.
“Orang yang lihai. Anda bahkan tidak bisa dibandingkan dengan penculik itu. Seharusnya paman memberikan perlindungan seperti ini sejak awal agar saya tidak diculik selama 7 hari 6 malam,” ucap Mina dengan suara lantang.
Hening. Tidak ada respon sama sekali. Tampaknya pengawas satu ini memiliki prinsip yang begitu setia.
Mina lekas menyeberangi jalan, saat di tengah kerumunan orang dia sengaja berbelok ke sebelah kiri bersama dengan beberapa orang asing. Di sana, dia sengaja melepaskan outer lalu kembali ke jalan sebelumnya dan membaur di kerumunan lain yang bergerak ke arah kafe.
Hanya terhitung beberapa pejalan kaki, tidak membuat Mina leluasa ikut bergerombol. Mina tergesa-gesa agar tidak tertinggal dengan mereka namun karena hal itu juga, ponselnya terjatuh dan pecah di tempat.
“Astaga, musibah lagi.” Buru-buru dia mengambil ponsel, lekas dia pergi selagi sempat menuju ke gang kecil yang berada di sebelah tempat kafe.
Di balik musibah, sedikit keberuntungan pun tetap datang kepadanya. Pengawas itu telah kehilangan jejak Mina secara langsung bahkan secara digital juga, dari alat pelacak yang terhubung dengan ponsel Mina berhenti di jalan persimpangan.
Sementara Mina sudah jauh dari jalan besar dan masuk ke sebuah gang kecil yang lebih jauh lagi. Sesuai titik lokasi, tempat itu berada di sebuah taman panti yatim-piatu. Sosok pria dewasa terlihat sedang asik bermain bersama anak-anak panti di sana.
Jarang sekali pria itu terlihat sangat bahagia ketika bermain bersama anak-anak. Karakternya memang baik namun ini adalah kali pertama Mina melihat sosoknya yang seperti seorang ayah.
“Ayah, dulu aku juga pernah bermain bersama ayah seperti itu. Tapi sekarang aku sudah beranjak dewasa dan semua keluargaku sudah lama meninggal.”
Raut wajah datar, tidak ada ekspresi sedih sedikit pun. Mina hanya memandang dari kejauhan dan menunggu hingga Hendrik selesai bermain. Tak berselang lama kemudian Hendrik pun sadar akan keberadaan kekasihnya itu.
“Mina!” Dia memanggil dan mengajaknya masuk ke area taman.
Mina tersenyum lantas berjalan mendekat. Ada banyak anak yang tiba-tiba berlari menghampirinya, mereka semua meminta Mina agar dapat bermain bersama. Mina hanya bisa diam dalam kebingungan sampai Hendrik datang dan menenangkan mereka.
“Kamu datangnya lama.”
“Maaf, aku terlalu lama memilih pakaian.”
Hendrik tersenyum senang saat mendengar alasannya lalu melihat penampilan Mina dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pakaian yang sederhana dengan dominan warna gelap namun tetap terlihat feminim.
“Apa pun yang kamu pakai tetap cantik di mataku,” ucap Hendrik memuji.
“Aku juga berdandan sedikit untukmu. Bagaimana?”
Hendrik menganggukkan kepala selama beberapa kali, sangat menyukai riasan yang bahkan sekilas tak terlihat itu.
“Kalau aku nggak lihat di bagian bibir, aku mana tahu kalau kamu lagi dandan. Pantas saja aku merasa ada sesuatu,” celetuk Hendrik seraya menatap bibir gadis itu lebih dekat.
Merasa malu karena terus dilihat olehnya, Mina jadi salah tingkah. Dia melangkah ke belakang secara spontan sembari mengalihkan pandangan.
“Bagaimana dengan anak-anak di sini? Kamu suka?” tanya Hendrik.
“Ya, aku suka. Mereka ramah dan imut. Melihatnya aku jadi ingin kembali ke masa kecil,” tutur Mina.
Entah mengapa topik pembicaraan mereka kali ini agak sedikit berbeda. Hendrik lantas menatap Mina sambil tersenyum, ini pun bukan kali pertama baginya.
“Apa aku nggak seharusnya bilang begitu?” pikir Mina.
“Nggak juga.”
“Lalu kenapa kak Hendrik melihatku begitu? Aku jadi kurang nyaman,” ucapnya dengan jujur.
Hendrik menghela napas sejenak lantas mengalihkan pandangan. Namun dia beberapa langkah mendekat, sengaja agar bisa berdiri di samping Mina.
“Padahal kita berpacaran tapi kenapa lebih terlihat seperti kakak beradik? Ah, jangan tersinggung. Aku cuman ingin bercanda sebentar,” kata Hendrik yang kemudian tertawa.
Banyak anak di sekitar yang tetap bermain mengitari mereka berdua. Saat Hendrik tertawa, mereka pun ikut tertawa seolah menular. Sementara Mina tidak bisa menanggapi candaan itu dengan serius. Dia bingung sembari mengerutkan kening lantas tersenyum.
“Tadi kamu bilang, kamu menyukai anak-anak ya?” Hendrik bertanya, Mina pun menjawab dengan anggukan kepala.
Senyum kembali terukir di wajah pria itu, lantas kembali bertanya, “Apa karena nasibmu sama dengan mereka?”