Silent tears hold the loudest pain.
***
Telepon yang memintanya agar segera datang ke rumah sakit membuat Ruby panik. Ia berlarian sepanjang koridor yang ada, terburu-buru menuju ICU. Rimba yang sudah menyusulnya, kembali menautkan telapak tangan mereka. Kedatangan Ruby disambut perawat dan diarahkan masuk ke ruangan dokter yang cukup tenang. Sang Dokter yang mengenali Rimba lantas mempersilakan cowok itu ikut masuk. Setelah mengenalkan diri dan menanyakan namanya, Dokter itu lalu memperhatikan keadaan Ruby.
"Sehat, Mbak Ruby?" tanya Dokter bersahabat. Ruby hanya mengulas senyum tipis. Dokter itu pasti sudah tahu jawabannya, yang terlihat baik belum tentu baik-baik.
Dokter membuka suara lagi, menjelaskan isi mapnya. "Seperti yang Mbak Ruby ketahui hal yang menimpa Bapak Gamal. Peluru tersebut sudah berhasil diangkat dan kita tinggal menunggu pasien siuman. Namun, tadi terjadi serangan jantung dan Bapak mengalami henti jantung paskaoperasi."
Ruby menegang mendengar itu. Dokter lalu mengambil napas dalam sambil menatapnya hangat, seolah susah untuk meneruskan pembicaraan.
"Tim dokter sudah berusaha maksimal, tetapi Tuhan juga yang menentukan." Dokter mengangguk, seolah membenarkan tebakan Ruby. "Bapak Gamal ... sudah meninggal, Mbak."
Ruby merasa dunia berhenti berputar dan semuanya mendadak diam di tempat. Kalimat Dokter tadi bertalu-talu, mengambil kesadarannya beberapa saat. Ia kembali tersadar saat genggaman Rimba diketatkan di tangannya, membuatnya bangkit dan melepas genggaman itu.
Tidak, tidak mungkin! Papanya belum meninggal. Ruby menggeleng berusaha menepis yang didengarnya, lalu berlalu masuk ke ICU. Diterobosnya ruangan itu tidak peduli perawat yang mencoba menghentikan dia. Sudut tempat sang papa biasa tertidur sudah bersih, tidak ada pasien. Ruby berusaha mencari Gamal. Ia memutari ruang itu tetapi tetap tidak ada. Ruby semakin panik. Ia memekik pelan. Kepalanya tiba-tiba pusing. Tangannya terasa ditarik seseorang.
Rimba. Cowok itu mengajak keluar dan merengkuh bahunya. Sosok itu seolah menggiring untuk berjalan ke sebuah pintu yang terletak agak jauh. Rimba menyebutkan nama Gamal dan petugas membimbing mereka menuju sosok yang ditutupi kain putih di sekujur tubuh.
Badan Ruby berguncang. Ia berusaha melepaskan diri dari sesak yang menghalangi jalan napasnya. Muka Gamal masih terlihat pucat dan damai.
Ruby menjatuhkan kepala ke dada kanan papanua dan memanggil sekuat ia bisa. "Pa, bangun, Pa. Ruby janji akan rajin belajar."
Dadanya terasa membuncah. Ada yang memukul-mukul organ pernapasannya. "Bangun, Pa. Ruby janji masakin Papa waktu pulang." Sebulir lapisan bening yang melapisi iris matanya luruh, mengundang cucuran bertubi-tubi tanpa henti. "Pa... Papa belum sempat makan sambal terasi bikinan Ruby lagi. Ruby bikinin ya, Pa?"
Ia menggenggam tangan Gamal untuk terakhir kali. Dingin. Diciuminya tangan itu berkali-kali sampai lelehan air mata ikut membasahi punggung tangan sang papa. "Bangun, Pa. Ruby sayang Papa."
Ruby meraung pelan, rasanya lebih sakit daripada kehilangan buku-bukunya kemarin, lebih sakit daripada dituduh anak Komunis dan teroris. Bahkan jika Ruby bisa menukar, ia tidak keberatan semua yang dipunyanya dibakar siapa pun, ia tidak peduli dituduh apa pun, asal Gamal kembali lagi. Hanya Gamal yang ia punya saat ini, dan pria itu pergi pada akhirnya.
"Papa..." Ia masih berusaha memanggil Gamal, berharap keajaiban datang, berharap ini hanyalah mimpi.
"By..." Rimba yang dari tadi memilih diam akhirnya maju dan berusaha menggenggam tangan cewek itu. Di luar dugaan, Ruby menepiskan dan berlari keluar, hilang di balik pintu kamar jenazah. Rimba tidak bisa langsung meninggalkan kamar itu. Ia mewakili Ruby untuk mengucapkan terima kasih kepada petugas lantas berusaha mencari jejak Ruby.
Ruby melangkah tanpa tahu arah. Matanya berkabut dan pikirannya benar-benar buntu, kali ini. Ia memegangi dadanya, tangannya sampai mencengkeram baju bagian depan. Sekuat tenaga berusaha tutupi isaknya tetapi sesak itu tak kunjung hilang. Berulang kali Ruby menengadah agar air mata itu mengering, tetapi seolah air bah, basah masih membanjiri pipinya. Sampai di sudut taman yang gelap, ia berjongkok karena sudah tidak tahan lagi. Ia kembali menangis dalam lipatan kakinya, berbantalkan lengan.
Ia selalu ingin jadi gadis yang kuat, tetapi mengapa hidupnya terasa berada di samudera luas? Empasan kanan kiri bukan hanya membuatnya basah juga melimbungkan. Tidak hanya itu, kali ini ia kehilangan arah. Kompasnya tidak berfungsi, kemudi kapalnya patah. Rasanya ingin lompat saja ke gelombang yang mengejeknya sedari tadi dan mati bersama pusaran air.
"Neng?" Sebuah suara datang membuat Ruby membuka lipatan tangannya. "Eneng yang di ICU itu, 'kan?"
Ibu yang selalu bersamanya di depan ruang ICU melihatnya bersimbah air mata. "Kenapa, Neng?" Dengan pengertian Ibu itu mengusap kepala Ruby, membuat tangisnya pecah lagi. Seolah mengerti, Ibu itu memeluk Ruby. "Sabar ya, Neng. Tuhan pasti ada rencana di balik semuanya."
Kali ini, Tuhan berbaik hati meminjamkan seorang Ibu menjadi pelabuhan tangisnya. Di balik lengan Ibu itu, Ruby menangis sepuas ia bisa. Semua yang ditahan selama ini terasa semakin menghunjam, dan ia lelah berusaha kuat.
***
Tanah kecoklatan yang basah, nisan kayu yang terpahatkan sebuah nama. Di bawah langit mendung dengan sedikit gerimis, orang-orang yang mengenal Gamal sedang menabur bunga atau meletakkan buket di pusara. Papanya sudah selesai dikuburkan tanpa prosesi yang hebat, tanpa peti mati yang mengilap, tanpa bingkai foto yang elegan. Ini tidak mimpi. Gamal benar-benar pergi, dikuburkan dengan cara sederhana dalam keheningan dan duka.
Seperti itu memang ingin sang papa, saat mereka pernah berbicara tentang kematian. Pria itu masih saja sederhana sampai waktu terakhirnya. Ruby menatap langit yang ada, mencoba untuk menarik senyum. Mereka pernah sepakat bahwa senyum adalah ucapan selamat jalan yang terbaik. Meski luka itu menganga, meski berulangkali juga ia menengadah agar tidak ada air yang menetes lagi dari pelupuknya. Ruby menunduk dalam diam dan lara.
"Sabar ya, By." Sensei mengusap pelan bahunya, membuat Ruby mengangguk. Perwakilan dari komunitas Aikido datang dengan memakai kaus hitam. Ternyata kaus komunitas itu juga bisa multifungsi di saat-saat seperti ini. "Sensei antar pulang, yuk?" ajak Sensei.
"Ruby masih mau di sini," jawabnya serak.
Seperti mengerti, Sensei bersama beberapa teman Dojo berpamitan undur diri. Ruby berjongkok, mengusap nisan Gamal. Ucapan selamat jalan hanya bisa diucapkannya dalam hati. Semua ingatannya bersama papa kembali membuat mata terasa panas.
Untuk kenangan yang pernah ada
Untuk semua senyum dan canda kita
Untuk selalu mengerti anaknya
Terima kasih, Papa...
Tangan Ruby memainkan kuncup melati di pusara. Ia memang percaya sejatinya dalam hidup itu tidak ada satu pun yang kekal. Cinta, keluarga dan juga momen yang ada, semuanya akan bias dan hilang di waktu tertentu.
Untuk seseorang yang mengenalkan cinta pertama
Untuk lelah yang dipendam dalam tawa
Untuk perjuangan tanpa cela
Selamat jalan, Papa...
Kenangan dan harapan, cita-cita, tujuan. Sering kali menjadi momok yang ternyata menakutkan, menjadi pedang bermata dua yang menikam. Ruby menaruh kelingkingnya di sudut mata, agar tidak ada air yang jatuh lagi. Dari sudut mata pula Ruby dapat melihat keberadaan Rimba meski cowok itu berusaha menjaga jaraknya. Sedari kemarin, ia pilih mendiamkan cowok itu. Setelah ia tahu Rimba sengaja membuatnya lengah, membujuknya untuk pergi meninggalkan Gamal sebentar.
Hari sudah semakin siang, matahari yang membakar puncak kepalanya tidak juga mampu melenyapkan kesedihan yang ada. Ruby mengusap keringat yang mulai ramai. Ia masih ingin di sini, memandangi pusara Gamal sampai hatinya berkata 'cukup' untuk hari ini.
Sebuah bayangan bulat menutupi bayangnya di tanah, Ruby mendongak. Seseorang dengan payung besar menaungi. Sosok itu menatapnya seakan tahu apa yang ia rasa. Seakan kedekatan selama ini membuat mereka lebih saling mengenal. Mata itu berbicara seakan mereka sama-sama terluka.
Ruby membuang muka. Apa yang sebenarnya Rimba mau darinya? Entah apa alasannya, yang jelas Rimba sengaja. Ruby mendengar langsung saat akan kembali ke kamar jenazah. Ruby mendengar Rimba sedang berbicara dengan Dokter Lintang, sosok yang minta dilemparkan kunci mobil saat di rumah Rimba. Jadi, ini yang dimaksud cowok itu memintanya waktu untuk bicara? Dengan meneguhkan hati, Ruby bangkit dan berjalan meninggalkan pusara.
"By, gue antar, ya?"
Ruby menolak dengan gelengan, masih tidak mau bicara dengan Rimba. Ia berjalan walau jarak rumah dan pemakaman tidak dekat. Mungkin jalanan yang ramai akan mendamaikannya. Mungkin melihat sekitar mampu menepis kecewanya. Mungkin lingkungan bisa berbisik kalau ia tidak lebih menyedihkan daripada yang lainnya.
Apa yang bisa diperbuatnya saat tanpa naungan seperti ini? Satu-satunya orang tempatnya meminta perlindungan di dunia, sudah tidak ada. Ruby terus melangkah tanpa peduli ada yang mengikutinya dari tadi.
Hidupnya terasa kehilangan harapan dan impian. Semua terasa kosong bahkan sampai ia memasuki rumah. Ditatapnya rumah yang terasa sunyi, heningnya meresap hingga tulang, tak menyisakan gembira yang biasa ada di setiap ruang. Ia sering kali sendirian di rumah, tetapi tidak pernah merasa sendiri. Berbeda kali ini, sepi terasa menyayat seperti belati.
Ia meraih sebuah figura bergambarkan papa, mama dan dirinya, membawa masuk ke kamar. Menenggelamkan mukanya dalam kumpulan bantal-bantal yang tidak akan berkhianat, membiarkan dirinya bergelung di balik selimut sambil tetap mendekap figura. Seakan hanya itu caranya mengingat hal indah yang ada. Tak peduli tangannya mulai kebas, Ruby tetap memeluk benda itu sampai tertidur.
Mungkin kenyataan melelahkan, hingga beberapa manusia lebih memilih untuk bermimpi lebih panjang dari biasanya. Bisa jadi di dalam mimpi, ia bisa menemukan hal-hal yang mustahil ada di dunia.
Ketika Ruby membuka mata yang ada hanya kegelapan dan sekujur badan terasa kaku. Kelopak matanya terasa berat dan sulit dikedipkan. Ia meraba lampu tidur di sebelah ranjang, pendar lampu mulai mengisi kegelapan di kamar.
Perlahan ia duduk, melirik jam di sebelah lampu tidur. Pukul delapan malam, pantas saja gelap. Setelah menutup tirai dan menghidupkan lampu-lampu, Ruby kembali termenung di meja makan. Ia lapar tetapi tidak selera makan. Tangannya enggan membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan.
Ia sembunyikan lagi kepalanya dalam lipatan tangan yang tersandar di meja. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa rencananya ke depan? Harus dari mana dahulu ia mengurus semuanya?
Semua pertanyaan itu berkecamuk sampai pintu depan terketuk, membuat Ruby tajamkan pendengaran. Ia melangkah tanpa suara ke ruang tamu, mencoba mengintip dari jendela. Namun, sang tamu tidak kelihatan mukanya, hanya terlihat jaket hitam saja. Pintu kembali diketuk.
"Siapa?" tanyanya tanpa berminat membuka pintu. Ketukan terdengar lagi. "Siapa?!"
Ruby mengulangi pertanyaannya sembari meraih pedang kayu yang sudah disiapkannya di ruang tamu. Semenjak kejadian tertembaknya Gamal, ia mulai memasang rak yang terdiri dari tongkat, pedang kayu dan katana di sana. Tak peduli apa komentar orang nantinya, tetapi Ruby menjadi lebih waspada.
"Rimba," jawab pengetuk di belakang pintu. Ruby yang sudah dalam posisi siaga dan akan membuka pintu jadi urungkan langkah. "By... Boleh tolong bukain pintu?"
Permintaan itu malah membuatnya sandarkan badan di balik pintu. Kecewa itu datang lagi. Ketika kepercayaannya untuk seseorang disalahgunakan rasanya tidak bisa percaya lagi. Ruby masih sulit menerima karena kematian bukan lelucon atau candaan. Kematian bukan permainan monopoli yang memiliki banyak kesempatan. Ia sudah kehilangan peluang untuk menemani Gamal di ujung napasnya dan tidak akan bisa diulang.
"By...," panggil Rimba lagi, seolah tahu ia masih ada di balik pintu.
Ruby tidak suka memiliki musuh tetapi apa yang Rimba lakukan membuatnya ingin menjauhi cowok itu.
"By, buka pintu, ya?"
Suara Rimba yang terdengar memelas hanya bikin Ruby melengos. "Nggak! Pulang sana."
"By..."
"Pulang gue bilang!"
Tidak ada suara lagi. Setelah Ruby intip lagi, sosok itu masih ada di luar. Mau apa sih dia? Ruby kan ingin pesan layanan antar makanan. Ia berdengkus kesal dan hendak meninggalkan ruang tamu. Gagang pintu terlihat bergerak, Ruby memicing.
"Gue cuma mau pastiin lo makan. Tadi siang belum makan, 'kan? Ini dimakan, ya. Kalo dingin, dipanasin ulang aja."
Kalau saja tidak ada kejadian kemarin, mungkin Ruby akan tergugah. Iya, mungkin. Namun, tidak dengan sekarang. Ia berbalik menuju dapur, sepertinya mi instan akan mengobati rasa laparnya.