Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Maybe the word 'forever' was made for memories, not people.

***

Ruby mengintip dari jendela kaca. Gamal masih tampak tertidur, wajahnya terlihat damai meski memucat.

"Lo nggak bosen di sini terus?" 

Rimba memotong perhatiannya. Ruby hanya menaikkan alis. Ia memang bosan dengan suasana rumah sakit yang monoton, tetapi tetap saja tidak bisa pergi jauh atau meninggalkan Gamal. Dari pagi tadi sampai sore ini, mereka menghabiskan Sabtu dengan duduk di depan ruang ICU saja.

"Jalan-jalan, yuk?" 

Ruby balas mendelik tajam atas ajakan Rimba. Ia ingin menunggu sang papa, ingin ada di sampingnya saat pria itu sadar. Kata dokter, efek obat bius akan hilang maksimal dalam kurun waktu dua hari. Harusnya hari ini efek bius itu sudah menghilang. 

"C'mon join me." Rimba membuka tangannya ke arah Ruby. "Just looking around."

Ruby tampak berpikir, permintaan Rimba masih diabaikannya. 

"Kita masih di rumah sakit, kok. Gue mau ngajak lo berpetualang." Cowok itu seperti mengajaknya masuk ke dunia yang berbeda. Rimba berkata dengan yakin sambil melempar kode. "Ayo! Kita jadi double R gantiin double D!" 

"Hah?" Ruby tidak mengerti maksud Rimba. Cowok itu terkekeh.

"Gantiin Dora dan Diego. Kita, Double R The Explorer! Ruby dan Rimba." Setelah berucap seperti itu, tangannya digenggam Rimba. Cowok itu menarik gamitannya setengah berlari, membuat Ruby ikut mempercepat langkah.

Rimba mengajaknya melewati lorong-lorong aneh yang tersembunyi. Koridor panjang yang sepi dan tidak dilewati pengunjung kebanyakan lalu masuk melalui pintu rahasia yang bentuknya sama persis seperti dinding, membawanya ke satu tempat lain. 

Tiba-tiba saja mereka sudah sampai ke kantin yang tersekat. Bedanya ia bisa melihat keadaan kantin sedangkan orang yang duduk di kantin tidak menyadari keberadaannya. Ruby lalu ingat, dinding sebelah kiri kantin penuh dengan kaca. Berarti saat ini ia berada pada ruangan rahasia di balik kaca? Wow!

Rimba meminta dua botol minuman dingin kepada penjaga kantin. Setelah mereguk sebentar, cowok itu menariknya kembali, membuatnya berlari lagi. Rimba mengajaknya masuk ke satu pintu lagi. Ia ikut menyusuri lorong selebar dua meter yang berkelok-kelok. Di lorong tersebut banyak cabang-cabang aneh berpintu. 

"Kita di mana?" tanyanya sambil tersenyum. Seru sekali ternyata masuk ke tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya. 

Tanpa menjawab, Rimba membuka pintu yang terletak paling ujung. Sebuah logo naga terpajang di satu bagian mencolok ketika pintu terbuka. 

Di mana dia?

Hogwarts?

Eh, bukan! Itu hanya ilusi Ruby. Ternyata mereka sampai di sebuah parkiran bagian dalam. Parkiran rahasia yang tidak didatangi mobil lain. Di parkiran itu ada taman privat yang indah, langit-langitnya yang melengkung terbuat dari kaca, memasukkan cahaya, membuat bunga-bunga di sana tampak hidup meski tidak terkena matahari secara langsung. Sepertinya taman ini juga tidak diketahui banyak orang. 

"Ini jalur rahasia," bisik Rimba. "Yang lewat sini biasanya pasien yang identitasnya dirahasiakan."

Ruby kemudian paham. Untuk rumah sakit berkelas seperti rumah sakit ini, tentu saja pasiennya bukan hanya kalangan biasa. Tentu ada selebriti, sosialita, pejabat atau orang-orang terkemuka di negri ini. 

"Apakah kamu melihat taman?" tanya Rimba melihat Ruby menggaku.

"Di mana?" tanya cowok itu belagak seperti Dora.

Ruby menarik bibirnya yang tidak tahan untuk tersenyum. "Rimba, jangan mencuri! Rimba, jangan mencuri!"

Tidak terima disamakan dengan Swiper, Rimba lantas menyelupkan tangan ke kolam kecil berair mancur yang ada di taman rahasia, lalu menyipratkan air ke mukanya. Ruby berdecak kesal. Ia balas menepuk air dengan keras sampai memercik ke muka Rimba. Mereka kemudian tertawa berdua dengan muka yang basah.

"Perjalanan kita masih panjang." Rimba mengetatkan kembali pegangannya, mengajak Ruby menyusuri tempat-tempat tersembunyi lain. Ia melintas dari ruang satu ke ruang yang lain, menaiki tangga, masuk ke lift kecil yang sekilas hanya seperti kaca. Angin kencang menyambut mereka ketika pintu lift terbuka. 

"Berhasil, berhasil, berhasil. Hore!" Rimba mengangkat tautan tangan mereka ke udara, seakan baru saja menyelesaikan sebuah misi. "Bagian mana favoritmu?" tanya Rimba konyol, masih berakting seperti Dora.

"Semuanya. Kalo lo?" Ruby tertawa lalu menghela napas panjang. 

"Lo," jawab Rimba pendek. Namun, membuat Ruby mengerjap berulang-ulang, dan berusaha mengingat apa yang menjadi pertanyaannya.

"Apa, sih? Gue tanya bagian yang jadi favorit lo, kali." Ruby melepas genggaman erat mereka.

"Iya." Rimba tersenyum, menatap sekitar. "Jawabannya tetep sama, lo."

"Receh," balas Ruby dengan membuang muka, sembunyikan pipinya yang memanas. Ia memandang sekeliling. Dahulu, ia pernah ke tempat ini pada malam hari. Ternyata jika mendatangi helipad saat sore akan menjadi berbeda rasanya. 

Langit biru dengan garis kemerahan di ujungnya terasa sangat nyaman. Matahari menenggelamkan diri dalam selimut senja. Ia sedang duduk bersama Rimba dalam keheningan namun sangat disukainya. Senyap tapi menenangkan dan tidak merasa sendiri. Bagaimana bisa dijelaskan hal-hal seperti itu dengan kata-kata?

"Cakep ya sunset-nya?" komentar cowok yang sedari tadi memandangi cakrawala dalam diam.

Ruby hanya bergumam. Rimba menangkupkan tangannya di atas lutut.

"Dulu, gue sering banget ke sini. Hampir setiap hari, sebelum akhirnya negara api menyerang."

Ruby yang sudah memasang telinga dengan cermat menjadi melengos mendengar kalimat terakhir Rimba. Negara Api? Memangnya Avatar, The Legend of Aang? Tadi Dora sekarang Aang, habis itu siapa lagi? "Padahal enak di sini," sahut Ruby pelan.

"Sunset nggak cantik lagi kalau ternyata yang gue tunggu cuma angan doang. Sia-sia." Rimba membuka cerita kepadanya. Entah sadar atau tidak, cowok itu seperti ingin membagi sesuatu. 

"Dulu, gue selalu pengin cepat malam, supaya bokap bisa dateng ke ruang kerjanya. Gue selalu nunggu dia di sana. Pengin bisa sekadar main atau cerita apa aja yang udah gue lakuin hari ini."

Ruby memilih mendengar saja, seperti yang dilakukan Rimba pada malam itu, di tempat ini. 

"Tapi Bokap selalu dahuluin pasien-pasiennya. Visite satu tempat ke tempat lain, seminar ke sana-sini, operasi beberapa kali sehari." Cowok itu lantas berdiri, maju sampai ke pembatas gedung, memandang keramaian kota Jakarta sambil mengantongi kedua tangannya di dalam saku celana. Ruby memandang punggung kokoh berbalut kaus berlengan sesiku itu dari belakang. Sama seperti dia, cowok itu juga punya rahasia terpendam dalam hidupnya.

"Gue nggak pengin jadi dokter," aku Rimba, "Gue nggak pengin ngehabisin waktu gue untuk hal ngebosenin. Bisa lo bayangin nggak sih ngelakuin hal yang sama setiap hari?"

"Jadi dokter perang aja, nggak bakal ngebosenin," gumam Ruby, "tapi nyawa lo taruhannya."

Badan Rimba berbalik menghadapnya. "Cita-cita lo apa, By?"

Ruby meringis. "Nggak jelas. Sampe sekarang gue masih belum punya cita-cita pasti."

"Orang tua lo penginnya lo jadi apa?" todong Rimba ingin tahu. Tetapi kemudian ia terdiam, seperti salah bicara karena ekspresi Ruby langsung berubah. Senyuman  yang terpahat dari tadi mendadak lenyap. Ia berdeham. "Sori, By."

"Nggak papa." Terdengar embusan udara dari bibir Ruby. Cewek itu memandang angkasa, lalu tersenyum kecil dan menatapnya. "Bonyok nggak pernah maksa gue harus jadi apa. Bagi mereka, yang penting gue bermanfaat buat orang banyak."

"Enak dong. Nggak ada tuntutan."

"Tergantung lo memandang dari kacamata mana. Gue malah ngerasa bingung. Nggak ada definisi tepat, kira-kira hal apa yang membuat mereka bangga sama gue? Karena ternyata yang bermanfaat buat orang lain pun, bisa jadi merugikan buat yang lainnya. Iya, 'kan?"

Rimba mengangguk setuju. "Pikiran lo tuh, ya..."

"Kenapa?" sela Ruby mengeritingkan alisnya.

"Out of the box." Rimba tersungging. "Tapi keren. Jujur, gue nggak nyangka kalo lo tuh kayak gini. Sori ya, selama ini gue salah nilai lo."

"Nggak papa, kok. Gue udah biasa." Ruby terlihat tidak melebih-lebihkan tanggapannya atas permintaan maaf Rimba. "Rim... Satu saat, kalo lo udah nggak kecewa lagi sama sunset lo yang sia-sia. Coba lo berpikir, di luar sana banyak banget orang yang kayak gue."

Ruby tersenyum kaku. Papa Rimba adalah satu dari sekitar dua ratus dokter spesialis bedah toraks, kardiak dan vaskular di Indonesia. Spesialis itu menangani pembedahan organ-organ di rongga dada termasuk jantung, paru-paru dan pembuluh darah. Bayangkan saja, dengan total penduduk negara ini yang berjumlah 280 juta jiwa, jumlah dokter spesialis itu sangatlah minim.

"Ada banyak Ruby-Ruby lain di luar sana, yang berdoa supaya dapet jadwal operasi Bokap lo. Karena banyak yang perlu diselamatin sama dia." Rimba menoleh kepadanya, membuat Ruby tersenyum lagi. "Lo anak yang hebat, Rim. Mau ngalah buat orang banyak."

Tatapan Rimba kembali ke langit yang menggelap. Baru kali ini ia menyadari, bahwa penantiannya yang sia-sia itu bahkan sangat bermanfaat untuk orang banyak. Kesedihannya saat itu bahkan mampu menyelamatkan harapan orang lain. Ia mengulas senyum, senjanya kali ini tidak sesendu dahulu.

***

"Makan, yuk?" ajak Rimba. Hari sudah malam, dan perutnya mulai bergolak.

"Gue lagi nggak nafsu, Rim. Bosen juga sama lauk kantin." 

"Lo mau makan apa?"

Ruby hanya mengedikkan bahu. 

"Masak aja. Gimana?" usul Rimba.

Ruby tampak berpikir sambil menggigit bibir. Rumahnya cukup jauh dari rumah sakit, akan memakan banyak waktu untuk masak dan makan lauk rumahan. "Kelamaan, Rim. Apalagi rumah gue jauh."

"Di rumah gue aja. Gimana?" Rimba terlihat membujuk. "Ayolah, deket kok dari sini. Oke? Oke? Please..."

Ruby masih gamang, tetapi muka Rimba seketika menjelma seperti anak kucing yang meminta makan. Cukup menyedihkan ternyata jika raut tegas itu lenyap, tidak cocok dengan mata elangnya. "Ya udah, deh."

"Yey!" pekik Rimba senang. Dalam sekejap, Ruby sudah dibawa melaju dalam kecepatan sedang. Cowok di sebelahnya  terlihat bersemangat, sepanjang perjalanan tak habis-habis cerita konyol yang diceritakan.

"Jadi? Nama Untung itu ada karena bokapnya latah nyebut untung dan dicatet sama dokter?" tanyanya tertawa mendengar cerita Rimba. Tidak menyangka asal-usul nama Untung ternyata selucu itu.

"Masih mending, awalnya dokter mau nulis 'untung selamat' malah." Gelak Rimba lepas begitu saja, matanya menyipit.

Ruby menoleh sekilas, cowok itu tampak gagah dengan kaos polos abu-abu kombinasi hitam, celana jins dan tactical boots. Ia yakin jika melihat Rimba malam ini, semua cewek di sekolah akan melupakan kenyataan bahwa dia adalah anak tengil yang suka berulah. Memangnya apa lagi yang bisa menggetarkan pankreas para cewek selain kolaborasi cowok gagah, baik, cukup manis sekaligus pintar?

Ruby tersentak dari lamunan ketika Rimba berbelok menuju sebuah rumah megah bernuansa klasik dengan pagar tinggi yang terbuka sendiri. Mobil itu masuk dengan luwes di halaman yang sangat luas kemudian berhenti di bawah kanopi. Di samping mobil yang mereka tumpangi ada deretan mobil mewah lain, membuat Ruby menelan ludah dan berusaha keras menyembunyikan ketakjubannya. Ada beberapa mobil berpintu dua bermerek Porsche dan BMW, belum lagi mobil-mobil gagah Range Rover, Tesla sampai Alphard. Mobil yang dibawa Rimba jelas menyembunyikan kekayaan pemuda itu sebenarnya.

Tanpa bereaksi lebih, Ruby mengikuti Rimba turun. Ada dua anjing Siberian Husky yang menghampiri mereka, satu menggesek-gesekan kepalanya ke sepatu Rimba, satunya lagi mengendus-endus Ruby. Anjing itu mengingatkan Ruby kepada kereta salju di Siberia. Tangannya mengulur ke kepala anjing terdekat dan mengusapnya, membuat anjing tersebut menengadahkan muka, seolah meminta diusap juga.

"Bony manja tuh sama lo." Rimba tersenyum. Cowok itu juga mengusap-usap bulu anjing yang ada di dekatnya. "Kalo ini namanya Whiskey." 

"Sepasang?" tanya Ruby tertarik.

"Iya, tapi udah disteril." Rimba mulai meninggalkan Whiskey.

"Kenapa?" Ruby tidak menyangka mendengar itu. Baginya sayang saja sepasang Siberian Husky tidak menghasilkan bayi-bayi lucu.

"Ini rumah, Neng. Bukan pet shop. Bisa-bisa rumah ini rame penuh anjing. Bukannya ngejaga malah arisan lagi nanti." Rimba menuju pintu masuk. Tangan cowok itu menekan tombol angka yang ada di bawah handel pintu kemudian mendorongnya setelah terdengar bunyi.

Ruby mendeham pelan dan mengikuti Rimba. Pintu rumah saja pakai sandi seperti di film-film, apa jangan-jangan di dalam rumah Rimba ada lorong menuju ruang bawah tanah? Atau ada pintu rahasia di balik rak buku?

Lagi-lagi, Ruby berusaha biasa saja meski hatinya teriak. Ia benar-benar tidak menyangka kalau rumah Rimba mewah sekali. Rumah yang didominasi warna hitam putih ini memiliki dua tangga besar dengan pagar hitam berukir. Lantai sewarna gading sangat mengkilap seperti tidak sedetik pun mengizinkan debu jatuh. Lampu-lampu terlihat cantik dan menambah kesan glamor yang ada. Ini benar-benar istana, berbeda jauh sekali dengan rumahnya. Sungguh, kesenjangan sosial itu nyata.

Rimba terlihat akan menggantung kunci mobil dalam sebuah kotak kayu berbentuk rumah ketika seorang pria tergopoh-gopoh mengenakan kemeja sambil berjalan ke arah mereka. Pria itu seperti meraup asal tas kerja, ponsel juga kaus kaki, semua dicengkeramnya dalam satu tangan. "Rimba, kunci..." pinta pria dari jarak sekitar tiga meter. 

Rimba refleks melemparkan kunci yang dipegangnya ke Lintang. Sekejap, pria tadi sudah lari keluar setelah sempat tersenyum singkat ke Ruby. Pria itu meninggalkan Ruby yang masih terperangah melihat interaksi anak-ayah barusan. Ia juga belum sempat tersenyum balik. Diliriknya Rimba yang terlihat  menekur. 

"Rim, kenapa?" Ruby mencoba tersenyum.

Rimba terdengar menarik napas yang sangat panjang lalu mengajaknya masuk ke bagian dalam. Mereka melewati ruang-ruang besar hingga sampai ke sebuah dapur. Dapur? Tampaknya ruangan ini bahkan terlalu indah dan resik untuk disebut dapur.

Deretan pintu-pintu putih bersih terlihat elegan. Granit hitam di atasnya juga terlalu mengkilap. Tangannya hampir kelepasan mengusap kompor yang terlihat menawan itu, tidak ada kenop pematik, tidak juga ada tatakan nampan berkaki empat atau enam untuk wajan di sana. Semua hanya tombol-tombol canggih yang Ruby yakin jarang sekali disentuh sama pemiliknya. Kompor listrik induksi ini pastilah mahal.

"Jarang dipake ya kompornya?" tebak Ruby. 

Rimba mengangguk. "Bibik lebih suka pakai kompor gas biasa. Jadi dapur bersih ini cuma jadi pajangan. Kita deh yang perawanin." Cowok itu langsung mengubah kalimatnya setelah melihat pelototan Ruby. "Maksudnya kita yang gunain pertama kali. Sewot mulu, Neng."

"Masak apa kita?"

"Terserah. Maunya apa? Pepes hati yang terombang-ambing, gulai perasaan pedih atau oseng-oseng cinta tak kunjung dibalas?" tanya Rimba.

Ruby tertawa kecil mendengar itu. Syaraf-syaraf di sekitar pipinya terasa menggelitik. 

"Bentar-bentar. Ketawa yang kayak gini bisa dilihat juga nggak sih di hari tua?" Rimba menyengir. Muka Ruby terasa sangat panas dan ia mencubit Rimba untuk meredakan sengatan yang datang tiba-tiba. "Tangan aja yang dicubit? Hati enggak?"

"Koin, lo." 

"Kok koin?"

Ruby memicing. "Koin pasti receh, receh belum tentu koin."

"Widih, dapet kamus baru gue. Bisa... Bisa... Kayaknya kita cocok." Rimba mulai mengerling setelah cowok itu mengeluarkan beberapa bahan dari kulkasnya yang mahabesar.

"Udah deh, Rim." Ruby mulai jengah. Ia meneliti bahan yang disiapkan Rimba.

"Belom juga diapa-apain, udah minta udahan."

"Apa, sih?!" Ruby menahan gelinya sambil mengangkat spatula ke arah Rimba, tapi suara yang datang membuat Ruby menurunkan tangan buru-buru.

"Den Imba. Mau masak, Den? Perlu Bibik bantu?" Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Ruby tersenyum dan sedikit mengangguk hormat.

Rimba rupanya cukup paham apa yang harus dilakukan. Cowok itu mengenalkan Ruby kepada penghuni rumah. "Bik, ini Ruby."

"Oh, ini yang namanya Ruby? Wah, lebih cantik dari yang diceritain," tutur wanita itu jujur. Sementara Rimba berusaha keras memberi kode kepada Bibik, wanita itu malah menerobos maju dan menatap Ruby lebih dekat. "Putih banget kayak porselen. Cocok sama Den Imba. Ganteng sama cantik."

Susah payah Ruby mengalahkan kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Ia tidak tahu mukanya sudah seperti apa. Kompor belumlah hidup, tapi suasana dirasanya hangat.

"Yuk, Bibik bantu. Mau masak apa?"

Wanita itu berdiri di samping Ruby, melihat bahan-bahan. "Bibik bantu siapin bumbu, ya? Biar Rimba sama Ruby yang masak," pinta Rimba pelan agar Bibik tidak mengganggu acara yang dirancangnya romantis.

Ketika ayam panggang yang dibakar di microwave sudah matang seluruhnya, Bibik bergegas menyajikannya untuk mereka. Wanita itu dibantu Ruby karena tidak begitu mahir menggunakan perkakas elektronik. Atas bantuan Bibik juga semuanya menjadi lebih cepat selesai. Wanita itu lalu diajak Ruby untuk makan bersama.

"Non Ruby pinter masak ya. Nggak nyangka Bibik. Biasanya cewek cantik nggak kenal dapur," puji Bibik terdengar tulus.

Belum sempat Ruby menjawab, Rimba sudah memotong, "Ruby mah beda, Bik."

"Iya, beda. Pantes Den Imba suka."

Mendengar kalimat tanpa tedeng aling-aling tersebut, Ruby  tersedak kuah sayur asam yang sedang dihirup. Hidungnya terasa sangat pedih, kuah saja berusaha untuk bernapas mendengar kalimat itu, apalagi dia.

"Bibik..." Rimba menyodorkan air kepada Ruby. Kode yang dilemparnya sudah diterima Bibik. Wanita itu langsung  menutup bibirnya dan tidak melanjutkan ucapan. Mereka lalu menyelesaikan santapan dalam diam.

"Maaf ya, Non. Tadi jadi keselek gara-gara Bibik," ujar Bibik yang sudah selesai makan terlihat merasa bersalah kepada Ruby. 

"Nggak papa kok, Bik. Ruby aja yang nggak hati-hati." Ruby turut membantu Bibik yang sedang membereskan meja makan.

Bibik lalu tersenyum, "Sering-sering main ke sini ya, Non. Biar Den Imba nggak hilang-hilang lagi."

Ucapan Bibik itu menuai gerutuan Rimba dan tawa pelan Ruby. Sepertinya Ruby bisa menebak mengapa cowok itu lantas menyukai alam bebas. Ya, seperti itu saja, saat kita sudah bosan dengan sekitar yang tidak ada perubahan, tentu lebih asyik bertemu hal-hal baru yang lebih mendebarkan. Rumah Rimba mewah, mobil Rimba banyak, ia yakin apa yang dimau Rimba pastilah didapatkannya. Namun, bukan hal itu yang bisa menjamin kenyamanan seseorang. Anak seperti Rimba pasti memiliki alasan mengapa menjadikan petualangan sebagai hal yang ia kejar-kejar. 

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Ruby sudah bersiap kembali ke rumah sakit. Ia juga sudah berpamitan kepada Bibik. Wanita yang bekerja semenjak Rimba masih bayi tersebut sering kali menceritakan rahasia lucu mengenai Rimba.

"By, bentar deh. Gue mau lo dengar ini." Rimba memintanya duduk pada kursi kecil di dekat tangga. Cowok itu lantas duduk dan membuka grand piano yang ada di bawah lingkaran tangga kembar.

Seperti sudah terbiasa dengan musik klasik, tangan cowok itu bergerak lincah di tuts piano. Ruby tahu lagu itu meski tidak bisa bermain piano, Für Elise milik Beethoven memang tidak bisa ditolak keindahannya, tetapi ada yang mengentak di dalam dadanya ketika nada terdengar berubah. Instrumen yang dimainkan Rimba terasa tidak asing, Ruby sampai menggigit bibir saking berusaha sembunyikan rona kagumnya. 

"'Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections." Cowok itu mulai bergumam di bagian refrain. Membuat Ruby makin menyadari sesuatu hal yang rasanya wajar saja jika Belantara Rimba bisa sepintar itu. Mungkin benar dari apa yang pernah dia baca, anak yang mendengarkan musik dan berlatih bermain alat musik terstimulasi otaknya, jadinya lebih fokus dan memiliki daya ingat yang kuat.

"Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning."

Senyum Ruby merekah indah. 

"'Cause I give you all, all of me. And you give me all, all of you."

Ruby otomatis menepukkan tangan ke udara. Dua jempol bahkan diberikannya kepada Rimba. Permainan piano Rimba sangat enak didengar. Jika saja ia termasuk komunitas cewek lebay se-Nusantara tentu akan teriak saking histerisnya. All Of You-nya John Legend saja sebagus itu apalagi yang lain?

Ya ampun pankreas, lever, usus dua belas jarinya apa kabar sih di dalam sana?

"Bagus banget, Rim," pujinya jujur.

"Special for you." Rimba menutup piano lalu mengajaknya keluar. Cowok itu menarik sembarang kunci dari deretan kunci mobil yang ada.

"Thanks," jawab Ruby pelan.

"Anything for you, Princess." Sambil membungkuk sedikit layaknya Pangeran, Rimba membukakan pintu sedan sport berwarna hitam untuknya. Pintu itu naik ke atas dengan anggun. Rupanya kunci yang terambil Rimba tadi adalah kunci BMW i8. 

Ruby menggigit lidahnya keras-keras, berpura-pura biasa saja untuk meredakan jumpalitan yang ada, itu sulit sekali ternyata. Ia merogoh ponsel, coba mengenyahkan kecanggungan yang ada. Namun, ponsel itu lagi-lagi kehabisan daya. "Rim, bisa charger nggak?"

"Bisa, bisa." Cowok itu lalu menunjuk wireless charger yang ada di dekat mereka. 

Ruby menaruh ponsel di sebuah tempat yang bermagnet. Sekejap ponselnya mulai terisi daya. "Makasih banyak ya, Rim, buat hari ini."

"Senang?" tanya Rimba sambil mengamati mukanya. 

Ruby mengiakan. Rasanya hari ini dia banyak sekali senyum dan tertawa. 

"By, kunci bahagia orang auditory kayak lo itu gampang. Just hear what you wanna hear. Nggak perlu didengerin semua omongan orang yang aneh-aneh, yang lo nggak suka."

Cowok itu menatap Ruby dalam, lalu meraih tangan kanannya dan menggenggamnya. Perlakuan Rimba membuat keriangan Ruby klop sekali, hari ini. "By, janji ya? Besok-besok kasih aku waktu buat bicara sama kamu."

Ruby mengernyit. Bukan hanya perubahan 'Elo' ke 'Aku' yang membuatnya bingung, tetapi makna kalimat barusan juga terasa janggal.

Ponselnya yang mulai hidup lantas berbunyi, menampilkan nomor telepon lokal di layar. Ruby meraih ponsel dengan tangan kiri karena Rimba tidak melepas tautannya.

Ketika menjawab panggilan, ia lantas mengerti maksud kalimat Rimba tadi. Ponsel hitam miliknya meluncur jatuh ke pangkuan dengan Ruby yang menatap kosong jalanan, dan Rimba yang semakin mengencangkan cengkeraman.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ONE SIDED LOVE
1513      668     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Loveless
5849      2996     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Kini Hidup Kembali
70      62     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Diskusi Rasa
1127      664     3     
Short Story
Setiap orang berhak merindu. Tetapi jangan sampai kau merindu pada orang yang salah.
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
32      30     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Manusia Air Mata
977      596     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
14864      2045     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Nobody is perfect
13752      2479     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Ilona : My Spotted Skin
499      358     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...