Aku melangkah pelan. Hati ini terasa perih setelah mendengar ucapan Vicky tadi.
“Kamu nggak tahu diri, Fa.”
Sakit. Sakit sekali.
Kupikir Vicky adalah orang yang tulus, yang selalu berusaha mengerti. Tapi ternyata… dia hanya ingin semuanya berjalan sesuai keinginannya. Termasuk menarik perasaan seseorang agar jatuh hati padanya.
Langit mulai gelap. Hari perlahan menelan cahaya. Lalu, adzan magrib berkumandang—merdu, lembut, bersuara ke dalam dada yang sesak. Hati ini seketika terasa lebih tenang. Tanpa sadar, air mata jatuh membasahi pipi.
Entah apa yang merasuk ke dalam jiwa. Suara itu... seolah-olah tidak ada di tempatnya. Tapi siapa?
Aku mengingatnya, membiarkan lantunan adzan mengecewakan. Dalam hati aku berdoa, memohon kekuatan kepada Allah, agar tetap tegar menghadapi semua ini.
Lalu, aku teringat…
Itulah nasihat ibu yang selalu ia ucapkan dulu. “Kalau hatimu sakit, kembalilah pada Allah. Di sana ada ketenangan yang tak bisa diberikan oleh siapa pun.”
Sesampainya di rumah, langkahku langsung disambut pelukan hangat dari Salsa yang berlari menghampiriku.
“Kakaaaak!” serunya riang.
Aku langsung merentangkan tangan dan membalas pelukannya erat. Sedikit demi sedikit, rasa sedihku tertahan hanya dengan melihat senyuman lugu itu.
“Adek kangen banget sama kakak.Kok pulangnya lama banget sih?” tanyanya dengan mata berbinar dan wajah polos yang selalu bikin hati luluh.
Aku tersenyum dan mencium pipinya dengan lembut. Aroma berbeda bayi khas Salsa menyeruak, membuatku ingin memeluknya lebih lama.
“Kakak kangen banget sama adik kakak yang paling cantik ini,” bisikku hangat.
“Maaf ya, tadi kakak ketemu teman sebentar. Dia lagi sedih dan butuh teman curhat.”
Salsa mengerutkan kening. “Apa itu apa, Kak?”
Aku tersedak kecil, lalu mencubit pelan pipinya. “Curhat itu... curahan hati. Teman kakak lagi sedih, jadi dia butuh cerita biar hatinya lebih lega.”
Salsa mengangguk-angguk serius, lalu dengan ekspresi polosnya berkata, “Adek juga mau curhat dong, Kak. Biar adek gak sedih lagi.”
Aku menatapnya. "Hah? Adek kakak mau curhat juga?" tanyaku sambil tertawa pelan, lalu mengikuti langkah kecilnya menuju sofa.
Kami duduk bersebelahan. Wajah Salsa yang tadi ceria kini berubah murung.
“Ayah dari pagi belum pulang, Kak.Adek kangen…”
Derajat.
Aku melihat penuh tanya. "Belum pulang? Bukannya biasanya ayah selalu makan siang di rumah?"
Salsa menggeleng. Nggak, Kak. Dari pagi gak pulang. Ibu juga udah nelepon tapi nggak diangkat-angkat.
Aku membayangkannya. Ada rasa tak nyaman yang mulai menjalar ke dada. Kenapa ayah belum pulang? Dan kenapa tidak kasih kabar sama sekali?
Kuraih tubuh kecil Salsa dan memeluknya erat.
“Adek tenang ya… InsyaAllah ayah bentar lagi pulang.”
“Yeeyy… beneran Kak?” tanyanya polos, matanya berbinar lagi.
Aku mengangguk. “Iya, bener. Oya, Ibu Annisa di mana?”
“Di dapur, tuh.” Salsa menunjuk ke arah belakang.
"Oke. Adek main dulu ya. Kakak mau mandi terus ke dapur."
Aku kembali mencium pipinya dan melangkah menuju dapur. Di sana, kulihat Ibu Annisa sedang menyeka meja dan membersihkan sisa-sisa cucian piring.
“Ibu… ayah memang belum pulang dari tadi ya?”
Ibu menoleh, wajahnya terlihat lelah dan cemas. "Iya, Nak. Ibu udah beberapa kali telepon, tapi gak diangkat. Ibu jadi kepikiran. Takutnya terjadi apa-apa..."
Aku menelan ludah. “InsyaAllah ayah baik-baik aja ya, Bu.Kita doain aja.”
“Semoga, Nak…” jawabnya lirih.
Aku kembali ke kamar, membersihkan diri seperti biasa. Mandi adalah rutinitasku tiap pulang sekolah—cuaca kota ini panas sekali hari ini. Tapi udara dingin tidak mampu menenangkan pikiranku.
Setelah mengganti baju, aku duduk di kasur, menatap layar ponsel.
Sudah pukul delapan malam. Dan ayah belum juga kembali.
Aku sudah mencoba meneleponnya berkali-kali. Tapi hasilnya tetap nihil.
Dan yang lebih mengkhawatirkan... kekhawatiran ini.
Beberapa hari terakhir, ayah memang berubah. Ia sering melewatkan sarapan, sering terburu-buru keluar rumah dengan berbagai alasan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dan tanpa sadar, pikiranku kembali melayang pada satu nama—Tante Rani.
Apakah ayah pergi ke rumah Tante Rani lagi...?
Aku mendesah panjang. Suara jangkrik di luar kamar terdengar bersahut-sahutan. Di atas meja, ponselku tetap sunyi. Tidak ada notifikasi. Tak ada balasannya. Tak ada kabar dari ayah.
Aku bangkit dan menyalakan lampu belajar. Kutarik kursi, lalu duduk dengan tubuh lelah. Buku catatan kecil warna cokelat yang biasa kusembunyikan di laci, kini terletak di atas meja. Seakan memanggilku.
Aku membuka halaman pertama yang masih kosong. Kugenggam pulpen biru, dan tanpa berpikir panjang, aku mulai menulis.
"Malam ini sunyi. Lebih sunyi dari biasanya. Ayah belum pulang, dan aku mencoba untuk tidak panik. Tapi, hatiku tidak bisa berbohong. Aku takut. Aku khawatir. Tapi aku tidak ingin menangis. Tidak sekarang."
Menulis adalah satu-satunya tempatku untuk jujur. Bahkan terkadang aku lebih percaya pada halaman kosong ini dibandingkan pada manusia. Halaman yang tak pernah menghakimi, tak pernah bosan mendengarkan, dan selalu menerima apa pun bentuk kesedihanku.
Tanganku terus bergerak, menuangkan apa saja yang menggumpal di dada. Rasa takut kehilangan. Rasa rindu yang menggantung. Dan mengingat tentang hari-hari ketika ayah masih hangat dan sering memeluk kami saat pulang kerja.
“Aku tidak tahu apa yang sedang ayah pikirkan. Tapi aku tahu, jika aku tidak menulis malam ini… aku bisa pecah.”
Tiba-tiba pintu depan berderit.
Aku refleks menoleh, jantungku berdegup kencang.
Langkah kaki terdengar mendekat. Suara khas sepatu ayah yang sedikit berat. Aku berdiri dari kursi, membuka pintu kamar perlahan dan berlari keluar.
“Ibu… ayah pulang ya?” tanyaku lirih.
Ibu Annisa yang duduk di ruang tamu segera berdiri. Wajahnya mencerminkan rasa lega sekaligus ingin marah. Pintu depan terbuka dan tampaklah sosok ayah yang berdiri di ambang pintu. Bajunya kusut. Rambutnya acak-acakan. Dan wajahnya... lelah, entah karena perjalanan atau perasaan yang berat.
“Assalamualaikum,” ucap ayat singkat.
“Wa'alaikumussalam...” jawab ibu hampir bersamaan denganku.
Salsa yang sedari tadi tertidur di sofa kecil, terbangun dan langsung berlari memeluk ayah.
“Ayaaaahhh! Adek kangen banget,” rengeknya.
Ayah mengangkat tubuh kecil itu dan memeluknya. Matanya tampak berkaca-kaca. Namun, dia tak berkata apa-apa. Hanya mengangguk dan memeluk Salsa erat.
Aku berdiri setinggi di ambang ruang tamu. Ingin bertanya banyak hal, tapi mulutku seolah terkunci.
“Maaf ya, semua.Ayah ada urusan penting,” tanpa dia menatap kami.
Aku tahu ibu ingin bertanya. Aku juga. Tapi malam ini terlalu melelahkan untuk terjadi.
Setelah meletakkan Salsa di pangkuan ibu, ayah langsung masuk ke kamar. Sunyi. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Aku menatap ibu. “Ibu nggak nanya?”
Ibu menggeleng pelan. “Nanti, Nak. Kita tunggu ayah tenang dulu.”
Aku mengangguk.
Malam itu, aku kembali ke kamar dengan pikiran yang lebih penuh dari sebelumnya. Tapi setidaknya, aku tahu ayah pulang dalam keadaan selamat. Itu sudah cukup untuk membuatku bisa tidur malam ini.
Dan sebelum memejamkan mata, aku kembali membuka catatan kecilku.
“Ayah pulang. Tapi aku merasa... yang kembali bukanlah sosok ayah yang sama seperti dulu. Aku takut kehilangan. Bukan hanya kehilangan tubuhnya, tapi juga jiwanya.”
---
Pukul jam 12 malam, cahaya malam semakin memncarkan cahayanya. Bintang bersahutan bekelap-kelip. Aku memandangi itu dari kejauahan.
“Sabar sayang. Nanti kita bakal jalan, besok aku gak masuk kerja dan kita pergi ya..”
Aku mendengar suara ayah yang sedang menelfon di balik jendela kamarku. Mungkin ayah mengiraku sudah tidur sampai ayah sesantai itu.
“Sayang, besok kita jumpa lagi. Aku nggak bisa lama-lama nelfon kamu, annisa pasti nyariin.”
Aku kaget dan reflek menutup mulut ku “Sayang?” “dengan siapa ayah menelfon? “ aku bertanya-tanya dan jawaban itu tidak aku dapatkan. Aku tetap diam dan tidak menemui ayah. Aku mencoba menutupi ini sebelum aku pasti tahu siapa perempuan yang sedang bersama ayah.
Aku nggak habis pikir, ibu Annisa sudah begitu baik dan menyanyangi keluarga ini tapi ayah masih saja bermain dengan wanita lain. Aku kembali teringat dengan tante Rani. Bagaimana hubungan ayah dengan tante Rani, apakah benar-benar putus?
Ibu Annisa bagiku sudah sangat baik, aku merasa tidak terima ayah memperlakukan ibu Annisa seperti ini. Di lihat dari masa lalu ibu Annisa yang dulu juga di duakan oleh suami pertamanya. Luka itu masih terasa dan ibu annisa baru kembali membuka hatinya.
Kali ini aku tidak ingin membela ayahku. Ayah sudah keterlaluan, tapi aku harus menyelidiki ini semua.
Mataku semakin sulit untuk di pejam dan sekarang pukul tiga pagi. Pagi nanti aku harus ke sekolah dan ujian.
---
Ibu mengetuk pintu kamar dengan lembut. Suaranya terdengar lembut namun tegas, berulang kali memanggil namaku. Aku menggeliat pelan, mencoba bangkit dari kasur yang seolah menahanku lebih lama. Mata masih berat, kelopak terasa lengket karena bekas tangis semalam.
“Sayang… ayo bangun. Sudah pagi,” suara ibu terdengar jelas kali ini.
Aku memaksa membuka mata dan menyeret kaki ke arah pintu. Begitu kubuka, cahaya pagi langsung menyapa wajahku, membuatku refleks mengucek mata. Di depanku, berdiri ibu Annisa dengan wajah cemas bercampur geli.
“Astagfirullah,” serunya pelan. “Kamu belum siap-siap? Ini jam enam loh, Sayang.”
Jantungku seperti dipukul keras. “Ha? Jam enam?” pekikku panik. “Aku telat, Bu!”
Tanpa pikir panjang, aku langsung berbalik, masuk lagi ke kamar, meraih handuk yang tergantung di kursi dan berlari menuju kamar mandi.
Di belakangku, ibu hanya menggeleng sambil tersenyum. “Hati-hati, itu licin. Nanti bisa jatuh,” teriaknya mengingatkan, suaranya terdengar hangat, seperti selimut yang menyelimuti pagi yang dingin.
Air dingin membasuh wajahku, menyapu sisa air mata semalam. Aku mencoba menetralisir pikiranku, tapi bayangan semalam masih membekas. Tentang ayah. Tentang ibu. Tentang perasaan-perasaan yang belum selesai. Tapi pagi ini aku harus kuat. Tidak boleh ada lagi yang membuatku terlihat lemah. Setidaknya, tidak di depan ibu dan Salsa.
Selesai mandi, aku langsung mengenakan seragam, menyematkan pin nama, dan merapikan jilbab sekenanya. Tak sempat sarapan, aku hanya sempat meneguk segelas air putih dan mengambil roti isi dari meja.
“Maaf, Bu! Aku harus buru-buru. Nanti kena hukuman lagi,” kataku sambil memasukkan kaki ke sepatu.
Ibu menyerahkan tas kecilku dan merapikan sedikit ujung jilbabku. “Pelan-pelan, ya. Jangan lari, biar telat sedikit daripada kenapa-kenapa di jalan.”
Aku mengangguk cepat, mencium tangannya, dan berlari keluar rumah.
Di sepanjang jalan, napasku memburu. Jantungku tak hanya berdetak karena telat, tapi juga karena perasaan yang tak bisa kusebut namanya. Semua bercampur jadi satu. Kelelahan, luka, harapan… dan ketakutan.
Sesampainya di gerbang sekolah, bunyi bel panjang terdengar menggema. Aku menghela napas, menatap langit sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.
Hari ini akan panjang, Hafa. Tapi kamu sudah pernah melewati yang lebih buruk dari ini. Kamu bisa.
---
Setibanya di sekolah, aku melangkah pelan menuju kelas. Suasana pagi terasa berat. Entah karena malam yang tidak benar-benar memberiku tidur, atau karena pikiranku yang terus dihantui bayangan semalam. Begitu duduk di bangku, aku langsung meletakkan kepala di atas meja, mencoba menenangkan isi kepala yang terasa penuh.
Tak lama kemudian, suara ceria yang sudah sangat kukenal menyapaku.
“Hafa! Pagi! Eh, akhirnya kita bisa duduk bareng lagi!”
Aku mendongak. Sarah sudah berdiri di samping bangku, senyumnya lebar seperti biasa. Tapi begitu melihat wajahku, senyum itu perlahan memudar. Matanya menyipit, menatapku penuh tanya.
“Loh… lo kenapa? Mukamu kayak habis nangis semalaman.”
Aku berusaha tersenyum, mencoba menutupi gejolak di dada. “Enggak kok, cuma capek aja. Semalam belajar sampai malam.”
Sarah mengerutkan alis, lalu duduk di kursi sebelahku. “Boong. Lo bukan kayak gini biasanya. Ini pasti gara-gara Vicky, ya?”
Deg.
Aku menoleh cepat. Bagaimana Sarah bisa menebak seakurat itu?
“Enggak, bukan itu,” jawabku cepat sambil menggeleng. “Udahlah, Sar. Aku enggak mau bahas sekarang. Fokus dulu ke ujian, ya?”
Sarah masih menatapku lekat-lekat. Tatapannya jelas belum puas, tapi akhirnya dia mengangguk pelan. “Oke. Tapi nanti abis ujian, lo harus cerita semuanya.”
Sebelum aku bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Langkah itu tegas. Cepat. Dan aku langsung tahu siapa pemiliknya.
Vicky.
Ia masuk ke kelas tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Wajahnya dingin, seperti tembok batu. Matanya lurus ke depan. Seolah aku tidak ada.
Aku mematung. Tenggorokanku terasa tercekat.
Sarah mencolek lenganku pelan. “Itu… Vicky, ya? Dia kenapa dingin banget?”
Aku hanya bisa menggeleng pelan. “Nanti aja, Sar. Tolong… nanti setelah ujian.”
---
Ujian berlangsung selama dua jam. Aku berusaha fokus, meskipun beberapa soal membuatku berhenti lama, termenung. Otakku tak sepenuhnya di sini. Tapi aku harus selesaikan. Aku harus tahan.
Dan akhirnya, bel berbunyi. Tanda ujian selesai. Suasana kelas langsung ramai. Beberapa siswa bergegas keluar. Aku masih duduk di bangku, menghela napas panjang.
“Nah! Sekarang lo ikut gue ya!” seru Sarah sambil menarik tasku. “Gue traktir makan. Lo butuh banget makan enak biar pikiran lo balik.”
Aku tak kuasa menolak. Akhirnya, kami keluar dari sekolah dan berjalan ke sebuah warung makan kecil favorit kami di ujung jalan. Tempatnya sederhana, tapi nyaman.
Setelah memesan makanan, Sarah menatapku tajam.
“Sekarang, cerita. Gue nggak bakal biarin lo diem-diem terus.”
Aku menarik napas dalam. Jari-jariku saling mengait di atas meja. Lalu perlahan aku mulai bicara.
“Kemarin... aku ngobrol sama Devan. Di taman sekolah, pas istirahat. Cuma ngobrol, Sar. Sumpah, nggak ada yang lebih. Tapi entah kenapa... Vicky lihat kita. Dia langsung marah.”
Sarah mengangkat alis. “Marah gimana?”
Aku menunduk. “Dia marah ketika gue jalan bareng Devan kemaren. Dia berharap gue mau menerima perasaannya. Gue ngerasa tertekan, Rah. Padahal kami gak ada hubungan special apa-apa. Dan paling sakit dia bilang gue “Gak tau diri”.
Wajah Sarah langsung memerah. “Astaga, Fa... dia bilang gitu? Parah banget! Padahal lo tuh justru menjaga banget diri lo, bahkan ke Vicky.”
Aku mengangguk pelan. Suaraku mulai bergetar. “Aku cuma nggak mau deketin dia lebih jauh. Aku takut bikin dia sakit. Tapi dia enggak ngerti itu. Dia pikir aku mainin perasaannya.”
Sarah menggenggam tanganku di atas meja. “Lo udah ngelakuin yang terbaik, Fa. Kadang orang yang terlalu berharap justru lupa batasannya sendiri. Tapi lo harus tahu... itu bukan salah lo.”
Aku menatapnya dengan mata berkaca. “Tapi kenapa rasanya tetap sakit ya, Sar?”
Sebelum Sarah sempat menjawab, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang familiar di seberang jalan.
Deg.
Ayah.
Dan di sampingnya... Tante Rani.
Mereka duduk di atas motor. Berboncengan. Wajah mereka tampak tertawa. Akrab. Tangan Ayah menepuk pelan punggung tangan wanita itu, seolah... sudah sangat biasa.
Jantungku seperti diremas. Napasku terhenti. Dunia rasanya runtuh seketika. Tangan di pangkuanku mengepal. Kakiku gemetar.
Sarah yang memperhatikan perubahan wajahku langsung bertanya, panik.
“Hafa? Hei, kenapa? Lo pucet banget...”
Aku menggeleng cepat. Mataku berusaha mengalihkan pandangan, tapi bayangan itu terlanjur tertanam di kepala.
“Enggak... nggak apa-apa,” jawabku lirih.
“Tadi lo liat siapa?” desak Sarah.
Aku menunduk. “Belum bisa cerita. Belum sekarang.”
Aku tahu siapa wanita itu. Dan sekarang, aku punya keyakinan penuh. Ayah belum benar-benar memutus hubungan dengan Tante Rani. Wanita itu masih ada dalam hidupnya. Wanita yang bagiku tidak lebih dari penghancur keluarga.
Kenapa Ayah masih bersamanya? Lalu untuk apa menikahi Ibu Annisa?
Kemarahan itu membuncah dalam diam. Tapi aku harus sabar. Aku butuh bukti. Aku tidak mau asal bicara. Aku ingin membuka semua kebenaran ini... agar Ayah tidak terus-terusan menghianati wanita yang begitu tulus mencintainya.
Tante Rani... wanita yang dulu kucurigai, kini nyata ada dalam kebusukan itu. Tawa manisnya di atas motor Ayah adalah yang paling menyakitkan.
Rasa kecewa ini lebih dalam dari apapun yang pernah kurasakan.