Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh untuk hadir, baik secara jarak maupun keadaan. Dalam sunyi dan kehilangan, Hafa tetap bertahan demi satu alasanadik kecilnya yang masih butuh pelukan dan perlindungan.

Hafa tumbuh bukan karena waktu membawanya dewasa, tapi karena hidup memaksanya belajar kuat dalam luka. Ia menyeka air mata diam-diam di balik buku sekolah, tersenyum saat mengajar demi biaya hidup, dan menyembunyikan nyeri setiap kali suara keras menyayat dari balik pintu rumah. Namun dalam gelap itu, cahaya perlahan muncul. Ada sahabat yang tulus, tempat singgah yang hangat, dan cinta yang datang tanpa syarat. Dari situ, Hafa belajar bahwa meski dunia pernah menghancurkannya, ia masih bisa tumbuhtak seperti dulu, tapi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih utuh.