Ujian semester telah tiba. Pagi itu, seluruh siswa tampak sibuk mempersiapkan diri. Beberapa wajah terlihat tegang, mata mereka kosong memandangi ruangan langit-langit sambil mulut komat-kamit, mengulangi hafalan terakhir dengan harap-harap cemas. Sebagian lainnya terlihat lebih santai, duduk menyandar sambil membungkuk kecil atau sekadar menggambar bunga dan garis-garis acak di pojok kertas ujian mereka.
Aku duduk diam di bangkuku, mengamati mereka dalam diam. Entah kenapa, pemandangan yang begitu biasa ini justru membuatku semakin merasa sendiri. Mereka—teman-temanku mungkin telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Mereka tampak yakin, tenang, dan percaya diri. Sedangkan aku? Aku hanya memutar-mutar pulpen biru di tangan, mencoret kertas kosong dengan garis-garis tanpa arti. Ini sudah menjadi kebiasaanku tiap kali rasa gugup datang menyergap.
Aku ingin melakukan yang terbaik. Aku ingin memuaskan kedua orangtuaku. Bukan hanya sekedar meraih nilai tinggi, tapi karena aku tahu perjuangan ini bukan hanya milikku. Ini juga perjuangan mereka yang selalu berdoa dalam diam, yang selalu percaya aku bisa.
Di kelas ini, persaingannya cukup ketat. Teman-temanku cerdas-cerdas, ambisius, dan rajin. Tapi di antara mereka, ada satu yang selalu mencolok—Vicky. Sejak SMP, dia sudah dikenal sebagai langganan juara umum. Pintar, rajin, dan... selalu ramah padaku.
Langkah kaki pelan mendekat. Aku mendongak, dan seperti dugaanku, Vicky berdiri di sana. Ia membawa tawaran udara mineral dingin. Embun masih menempel di plastiknya.
“Nih,” katanya sambil meletakkan botol itu di atas mejaku. Senyumnya seperti biasa: tenang dan tulus. “Minum dulu sebelum ujian. Biar lebih fokus.”
Aku menatap sekilas. Mata teduh, penuh perhatian. Tapi aku merasa seperti menatap langit mendung yang menyimpan hujan yang belum sempat turun.
"Terima kasih, Vick. Tapi lo nggak usah repot-repot. Lo juga harus fokus sama ujian lo." Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya senyum itu hambar. Seperti secangkir teh tanpa gula.
Vicky tertawa kecil, matanya berbinar hangat. "Gue nggak repot kok. Tadi pas beli, gue keinget lo. Terima aja ya?"
Aku mengangguk pelan. Pandanganku menghindar, jatuh ke meja. Ada perasaan tak nyaman yang terus mengganggu. Aku tahu Vicky baik, bahkan terlalu baik. Tapi perhatiannya... kadang terasa seperti beban.
Vicky kembali ke tempat duduknya. Sebelum duduk, ia sempat menoleh ke belakang, melihatnya sekali lagi dan tersenyum. Aku membalas dengan senyuman tipis. Sekadar menghargai.
Menjadi orang yang tidak enak itu memang menyiksa. Aku merasa bersalah—pada diriku sendiri, dan pada Vicky. Selama ini aku membiarkan memberi perhatian tanpa pernah benar-benar berkata jujur tentang perasaanku. Aku tahu, jika dibiarkan, semuanya hanya akan menyakiti—dia, dan aku.
---
Ujian pun dimulai. Suasana berubah hening. Suara bolpoin bergesekan dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Guru pengawas mengawasi dari belakang meja dengan tajam.
Aku mencoba fokus. Soal demi soal kulewati dengan hati-hati. Aku cukup bisa mengerjakannya, dan selebihnya aku serahkan hasilnya kepada takdir dan usaha yang sudah kulakukan.
Dari sebelah kiri, aku merasakan ada yang memanggil. Benar saja. Sarah. Ia menggigit bibir sambil menyenggol bangkunya sedikit.
“No tujuh dong,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Aku pura-pura tak mendengar. Tapi wajahnya langsung merengut kesal.
Dengan cepat aku menulis jawaban di kertas, lalu sedikit kusodorkan ke arah meja Sarah. Ia menangkapnya dengan pandangan cepat lalu tersenyum puas.
Sarah memang bukan jago matematika. Tapi dia juara dalam seni. Dia adalah drummer berbakat, punya band sendiri, dan sering tampil di acara-acara musik. Ia tidak terlalu peduli pada nilai. Orangtuanya pun lebih mendukung di bidang yang ia sukai. Tapi tetap saja, saat ujian matematika datang, dia seperti pelaut kehilangan kompas.
---
Setelah ujian berakhir, suasana kelas kembali riuh. Tawa pelan, helaan napas lega, dan suara kursi diseret bergantian mencairkan ketegangan yang tadi memenuhi udara.
Aku melangkah pelan keluar gerbang. Niatku ingin langsung pulang dan menyelesaikan naskah novel yang sudah lama tertunda. Namun langkahku terhenti saat mataku menangkap sosok yang familiar di kejauhan.
Devan.
Ia duduk santai di atas motor sport merahnya. Jaket hitam membalut tubuhnya. Helm terletak di ujung setang. Senyumnya kecil, tapi cukup untuk membuat dunia terasa melambat sesaat.
Beberapa siswi di belakangku saling menyikut, menatap dengan lirikan penuh arti. Tapi Devan hanya melihat sekilas ke arah mereka, lalu kembali memandang.
"Kok lo ke sini? Kita nggak janjian kan?" tanyaku begitu sampai di hadapannya. Suaraku ragu. Tanganku gemetar kecil tanpa alasan.
Devan menyandarkan punggung ke jok motornya, mata teduhnya menatap tanpa berkedip. “Nggak janjian sih. Tapi gue pengen ketemu lo. Ada yang pengen gue omongin.”
“Sekarang?”
“Iya. Tapi kalau begitu, kamu tidak keberatan.”
Aku belum sempat menjawab ketika langkah tergesa-gesa terdengar dari arah gerbang. Aku menoleh—Vicky.
Ia berdiri di sana. Napasnya berburu. Pandangannya langsung mengunci ke arah kami. Wajahnya seperti tersambar petir di siang hari bolong.
Kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. Bibirnya menegangkan. Mata penuh luka amarah.
Seorang teman laki-laki menampar bahunya. “Vick, ayo pergi ke tempat les.”
Vicky menoleh sebentar ke temannya, lalu kembali melihatnya. Lama. Penuh makna yang tak sempat disampaikan.
Akhirnya ia mengangguk kecil, menelan luka dengan harga diri. “Hati-hati, ya.”
Suaranya pelan. Tapi cukup untuk membuat dadaku sesak tak karuan.
Aku hanya bisa menatapnya pergi. Diam. Beku.
Devan yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. “Lo nggak harus ikut gue kalau lo nggak enak hati.”
Aku menoleh. Tampak memancarkan pengertian.
"Aku nggak maksain. Gue cuma pengen cerita aja kok. Kita bisa ke taman dekat jembatan itu. Nggak lama."
Aku menarik nafas dalam. Lalu mengangguk.
"Oke. Tapi sebentar aja ya."
“Iya.”
---
Langit sore itu berwarna jingga keemasan. Kami duduk di bangku taman yang menghadap danau kecil. Angin sore menari lembut di antara dedaunan yang berguguran.
Devan diam. Botol minum di tangan tak tersentuh. Matanya menatap danau kosong, seolah mencari jawaban yang lama mengendap di dalam dirinya.
“Ada apa, Van?” tanyaku pelan.
Dia menoleh. Mata merah. Ia tertawa kecil, getir. “Gue capek, Haf.”
“Kenapa capek?”
“Sispala…”
Lalu, ia mulai bercerita. Tentang organisasi yang dulu dicintainya, tentang persaudaraan yang mulai renggang, tentang perjuangan yang kini terasa sia-sia. Ia berbicara dengan suara bergetar, dengan tangan mengepal, dengan mata yang berkaca.
“Van,” aku berkata pelan, “gue ngerti… meskipun mungkin tidak sepenuhnya. Tapi gue bisa ngerasain betapa berartinya Sispala buat lo. Tempat yang lo bangun dari nol, yang lo perjuangkan habis-habisan, tapi malah sekarang kayak nggak punya arah.”
Devan mengangguk pelan. tatapannya mengabur, seolah sedang menahan gejolak emosi yang sudah terlalu lama tertahan. Ia menunduk, dan berkata air mata jatuh membasahi punggung tangannya.
“Gue cuma pengen dihargai, Haf,” suaranya berbisik. “Gue nggak minta dibanggakan atau dipuji, gue cuma pengen mereka dengerin. Ngerespon. Bukan malah ngeledek atau ninggalin tanggung jawab.”
Aku menoleh padanya. Sorot matanya begitu dalam—campuran luka, kecewa, dan lelah yang bertumpuk jadi satu. Rahangnya mengunyah, jemarinya meremas botol minumnya hingga plastiknya berkerut.
“Lo tuh kuat, Van,” ucapku perlahan, berusaha menahan udara mataku sendiri. "Dan mungkin karena terlalu kuat, orang-orang jadi ngerasa lo bisa menghadapi semuanya sendiri. Mereka lupa bahkan yang paling kuat pun bisa ngerasa sendirian."
Devan melirikku, matanya berkaca-kaca. Bibirnya agak terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ia hanya menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan.
“Lo selalu bisa bikin gue tenang, Haf,” ujarnya lirih. “Entah kenapa… setiap kali gue ngobrol sama lo, gue kayak nemuin ruang buat bernafas.”
Aku hanya tersenyum kecil. Tak tahu harus menjawab apa.
Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma tanah yang khas. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, dan langit mulai bergradasi keungu-an.
“Van,” aku memecah keheningan. "Kalau lo sayang sama Sispala, tetaplah di sana. Tapi bukan berarti lo harus nyiksa diri sendiri. Kasih batas. Belajar bilang 'nggak' kalau itu ngerugiin lo. Kadang kita emang perlu istirahat bukan buat mundur, tapi buat pulih."
Devan tertawa kecil, kali ini lebih tulus. Ia menyeka ujung matanya dengan punggung tangan, lalu menoleh ke arahku.
"Gue harus belajar dari lo, Haf. Lo selalu bisa melihat segala sesuatu dari sudut yang berbeda. Nggak ngedramatisir, tapi juga nggak ngeremehin."
Aku mengangkat bahu, tersenyum canggung. “Gue juga lagi belajar, kok. Sama kayak lo.”
Kami kembali diam beberapa saat, hanya menikmati suara alam dan nyanyian sore yang meluruh perlahan. Devan kemudian berdiri, menatap danau sekali lagi, lalu memutar badannya ke arahku.
"Udah cukup curhatnya. Sekarang giliran lo. Gimana ujian tadi?"
Aku menampilkannya dengan pelan. “Masih bisa ngerjain sih. Tapi… ya gitu. Gue ngerasa kayak dikelilingin orang-orang yang punya arah, sedangkan gue masih muter-muter di tempat.”
Devan menaikkankan mata, mengangguk kecil. “Lo ngerasa ketinggalan?”
“Banget,” aku mengangguk cepat. "Apalagi lihat teman-teman lain. Vicky, misalnya. Dia pinter, supel, punya tujuan. Gue? Cuma bisa nulis dan overthinking."
“Jangan pernah ngerendahin diri lo kayak gitu,” kata Devan tegas. Nada suaranya berubah, lebih serius. "Mungkin teman-teman lo yang lain memang luar biasa. Tapi lo juga nggak kalah keren. Lo nulis, lo punya empati, lo peka sama sekitar. Itu bukan hal kecil, Haf."
Aku menunduk, ragu-ragu. “Tapi aku tidak punya arah sejelas mereka.”
Devan membungkuk sedikit, menyamakan tinggi wajahnya dengan wajahku yang tertunduk.
“Hafa…” suaranya pelan namun tegas. "Arah itu bukan tentang siapa yang paling cepat nyampe. Tapi siapa yang paling berani jalan walaupun belum tahu ujungnya. Dan lo udah mulai jalan dari lama."
Aku mendongak pelan, menatapnya. Senyumnya tulus, matanya hangat.
“Terima kasih, Van. Kita baru kenal, tapi sudah curhat-curhat begini,” ucapku dengan senyum kecil.
Devan berdiri tegak, matanya memandang dengan tenang. “Gak apa-apa kali, Haf. Berarti kita cocok buat jadi sahabat, kan?”
“Iya.” Aku mengalihkan pandanganku ke arah danau yang tenang di depan kami. Pertemanan ini mengalir begitu saja, tanpa paksaan.
Perasaanku sendiri? tidak pernah benar-benar ada. Bagiku, Devan hanyalah teman. Tidak lebih.
Dia memang cerdas, dan jelas terlihat bahwa dia seorang pencinta alam sejati. Pengalamannya banyak, jauh lebih banyak dariku. Ia sudah lama aktif di komunitas Siswa Pecinta Alam, dan aku banyak belajar darinya.
Devan sudah mendaki berbagai gunung di Pulau Jawa dan Sumatera. Ayahnya yang mengenalkannya di alam sejak kecil. Mungkin itu sebabnya ia begitu menyatu dengan alam.
---
Banyak hal yang kami bagikan hari ini. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku pun buru-buru pamit.
“Gue pulang sendiri aja ya, Van. Naik angkutan umum juga gak apa-apa.”
Devan langsung menggeleng. "Gak. Lo bisa pulang sama gue. Gue antar."
“Gak usah, Van. Beneran, gue bisa pulang sendiri kok. Lo langsung balik aja, ini juga udah mau malam.”
Tapi Devan malah menahan perasaannya dengan lembut. “Izinin gue antar lo pulang ya,” pintanya lirih, matanya serius.
Aku sempat ragu. Tapi menolak pun membuatku merasa tidak enak hati. Lagi pula, ini udah semakin larut, dan ayah bakal marah kalau aku telat pulang lagi.
“Baiklah,” jawabku singkat.
Kami berjalan menuju parkiran. Devan dengan cekatan mengambil helm cadangan dan memakainya ke kepalaku. Gerakannya hati-hati, memastikan posisi pas. Aku merasa canggung tapi Devan tampak santai, seperti sudah biasa.
Langit mulai berwarna jingga. Matahari hampir tenggelam. Waktu magrib semakin dekat. Dalam perjalanan, jalanan macet. Kendaraan berderet pelan. Suara klakson bersahut-sahutan. Orang-orang tampak terburu-buru pulang dari kantor.
Devan sempat menoleh ke belakang, melihat ekspresiku yang mulai gelisah.
“Lo nggak apa-apa?”
“Gue takut ayah marah sih,” ujarku jujur. “Soalnya gue jarang banget pulang selambat ini.”
Devan terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Gue minta maaf ya. Ini salah gue. Nanti gue minta maaf langsung sama ayah lo deh."
Aku cepat-cepat menimpali, “Hmm… gak usah, ya. Gue takut ayah malah makin marah gara-gara tahu gue pulang bareng cowok.”
Devan mengangguk pelan. “Baiklah.”
Kami kembali diam. Tapi entah kenapa, keheningan di antara kami terasa tidak asing. Seperti ada rasa saling memahami, meski kami tak banyak bicara.
Sesampainya di depan gerbang, aku menampar pelan bahu Devan.
"Di sini aja ya. Udah deket kok. Gue jalan kaki aja dari sini."
Devan menoleh, sedikit mengernyit. “Lo yakin cuma sampai sini?”
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya. Terima kasih ya, Van."
Tanpa menunggu lagi, aku segera turun. Langkahku cepat, ingin segera sampai rumah. Tapi sesaat sebelum berbelok di ujung gang, aku sempat menoleh ke belakang. Devan masih berdiri di sana, memandang dari atas motornya.
Aku mengangkat tangan, menandakan salam perpisahan. Ia membalas dengan senyuman samar, lalu melaju perlahan meninggalkan tempat itu.
Saat tiba di ujung gang rumahku, langkah kakiku terhenti.
Di sana, Vicky berdiri. Jaket hitamnya tertutup rapat hingga leher. Tangannya masuk ke dalam saku, dagunya sedikit terangkat. Tapi wajahnya… bukan seperti Vicky yang aku kenal.
Wajah itu penuh ketegangan. Mata yang biasanya hangat, kini tajam seperti pisau pisau.
Aku menarik napas panjang. “Kamu ngapain di sini, Vick?”
Dia tidak langsung menjawab. Tapi dari sorot matanya, aku tahu—ini bukan sekadar pertemuan biasa.
“Gue nunggu lo,” katanya pelan, tapi nada kecewanya begitu jelas. "Gue lihat tadi. Sama Devan."
Aku mendesah pelan. “Terus kenapa?”
Dia melangkah mendekat. Langkahnya berat, tapi sarat dengan emosi. "Kok lo pergi sama dia? Tadi gue ngajak lo pulang bareng tapi lo nolak. Sama Devan lo langsung pergi gak ada penolakkan."
"Vick, gue cuma diajak ngobrol. Bukan pergi dalam arti yang kamu pikirkan. Dan kita tuh nggak punya hubungan apa-apa. Ingat kan?"
Wajahnya langsung berubah. Rahangnya mendominasi, dan sorot matanya panas. Tangannya keluar dari saku, menggenggam erat di tubuhnya.
“Lo serius ngomong kayak gitu?” suaranya mulai meninggi. “Gak ada ruang sedikitpun untuk gue? Setelah semua usaha gue lakuin buat dapatin hati lo?
“Justru karena itu, Vick…” suaraku ikut naik. "Lo ngelakuin semuanya sendiri. Lo yang milih buat selalu ada. Tapi lo juga yang nganggep itu jadi hak buat nuntut lebih."
“Maksud lo apa?” bentaknya. "Gue Cuma peduli! Gue peduli lebih dari siapa pun! Gue ada di tiap titik terendah hidup lo, dan lo bilang itu salah?"
"Bukan salah, Vick. Tapi lo maksa. Dan gue capek."
“Capek?” Dia tertawa getir, suara tawanya penuh luka. "Lo capek sama apa? Sama perhatian Gue? Sama kebaikan gue? Gila lo, Fa!"
“Gue capek karena lo nggak pernah mau denger,” kataku dengan nada gemetar. “Lo Cuma mau Gue terima semua yang lo lakuin, tapi lo nggak pernah tanya, apa gue nyaman, apa gue senang.”
“Karena gue kira lo butuh gue!” teriakannya. "Gue pikir lo Cuma butuh waktu! Tapi ternyata lo emang nggak pernah lihat gue! Lo terlalu sibuk nolak perasaan gue tanpa mikirin apa yang udah gue korbanin!"
Aku mundur terpilih. Nafasku berburu, mataku panas. Ini... ini bukan Vicky yang aku kenal.
"Lo berubah, Vick. Lo bukan seperti orang yang gue kenal. Lo jadi seseorang yang egois, yang ngukur semua hal pakai perasaan lo sendiri."
Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi bukan karena sedih. Lebih ke marah, frustasi, dan tidak terima.
"Gue egois? Lo yang nggak tahu diri, Fa! Lo yang terus-menerus bikin gue nunggu, ngasih harapan setengah hati, terus tinggalin begitu aja pas ada cowok lain dateng!"
“Devan tidak ada hubungannya dengan ini!”
"Ada! Pasti ada!" bentaknya lebih keras. “Karena lo ketawa lebih tulus hari ini dibandingkan waktu kita bareng!”
Aku membayangkannya. Tanganku gemetar. Mulutku terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.
Dia melanjutkan, suara dan wajahnya retak, “Lo jahat, Fa. Baiklah gue pergi.”
Air mata akhirnya jatuh dari matanya. Tapi bukan tangis yang bikin iba. Tangis itu penuh amarah, luka, dan perasaan kehilangan atas sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar menjadi miliknya.
“Vick…” suaraku bergetar. "Gue nggak pernah janji apa-apa. Gue nggak pernah kasih lo harapan. Kita itu beda keyakinan, gue gak mau kita ada hubungan apa-apa. Kenapa Lo susah banget buat ngerti?"
Dia menjawab. Nafasnya berat. Matanya basah.
“Jadi Lo gak pernah ngerasa apa-apa ke gue?” bisiknya.
Aku mengangguk pelan. "Gue sayang lo. Tapi sebagai sahabat. Dan kalau perasaan itu malah bikin lo makin sakit, mungkin kita memang nggak bisa deket kayak dulu lagi."
Dia mundur dua langkah. Tangannya gemetar, wajahnya kosong. “Jadi semua ini... selesai?”
Aku tidak menjawab. Tapi diamku, mungkin sudah cukup jadi jawaban.
Dia mengangguk kecil, lalu berbalik. “Lo bakal nyesel, Fa. Gue nggak bakal nunggu lagi.”
Dan dia pergi. Langkahnya cepat, tanpa menoleh. Tapi setiap langkah itu seperti meninggalkan bayangan yang berat di udara.
Gue berdiri lama di tempat, mematung. Dadaku sesak. Tapi lebih dari itu... aku sedih.
Bukan karena dia pergi.
Tapi karena ternyata, seseorang yang bilang paling ngerti aku justru yang paling tidak pernah benar-benar mau ngerti.
Dan mungkin, memang sudah saatnya jarak bukan sekedar ruang, tapi jadi batas.