Hari ini adalah hari yang dinantikan semua siswa. Classmeeting, ajang unjuk kreativitas dan bakat di sekolah kami, akhirnya tiba. Lapangan disulap menjadi panggung pertunjukan. Ornamen warna-warni digantung di sekelilingnya, kursi-kursi berjejer rapi, dan tawa ceria terdengar dari berbagai sudut sekolah. Semua siswa tampak begitu antusias, begitu pula aku—meski bukan karena hal yang biasanya kusukai.
Biasanya, aku ikut lomba menulis cerpen atau puisi. Tapi tahun ini berbeda. Saya diminta tampil dalam fashion show yang diadakan jurusan Busana Butik. Salah satu guru mereka langsung memintaku menjadi model gaun muslimah rencana siswanya.
Awalnya aku menolak. Aku bukan tipe yang suka tampil di depan banyak orang. Tapi Bu Retha, guru Busana Butik itu, memandang dengan wajah hangat dan berkata dengan lembut, "Nak, kamu punya aura yang cocok sekali untuk busana ini. Kami ingin menampilkan sosok muslimah yang anggun dan percaya diri. Ibu yakin, kamu bisa."
tatapannya yang teduh membuatku ragu untuk berkata tidak. Dan akhirnya aku mengangguk pelan, meski jantungku langsung berdegup kencang setelahnya.
Pukul enam pagi aku sudah sampai di sekolah, lebih pagi dari biasanya. Sarah menjemputku seperti yang kami janjikan semalam. Aku sempat merasa tidak enak karena harus merepotkannya, tapi dia malah tertawa riang sambil berkata, "Hafa, tolong! Kapan lagi gue bisa dandanin sahabat gue jadi ratu semalam?"
Aku tersenyum, hatiku menghangat. Sarah selalu tahu cara membuatku tenang. Aku mengulurkan tangan, membalas dengan lirih, "Makasih, Sar...serius, makasih banget."
Pukul tujuh pagi, semua peserta fashion show sudah selesai didandani. Seorang MUA profesional telah mengubah wajahku menjadi sesuatu yang bahkan tak kupercayai ketika melihat cermin.
"Omaygat! Cantik banget Lo, Fa," ujar Sarah sambil memegang kedua bahuku, matanya berbinar.
Aku tersipu malu. “Ah… gak usah sok nyenengin hati gue.”
Sarah menggeleng cepat. “Nggak, serius. Lo kayak putri dari negeri mana gitu, kayak yang sering kita baca di novel.”
Tiba-tiba, mataku secara tak sengaja menangkap sosok yang beberapa hari ini berusaha kuhindari—Vicky. Ia berdiri agak jauh di antara kerumunan siswa. Pandangannya menarik saya.
Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tapi sorot matanya tajam. Ia tidak menyapa, tidak pula menghindar saat aku memergokinya memperhatikan.
Aku menarik napas panjang. Sarah melihat perubahan ekspresiku dan langsung mengerutkan dahi. “Dia lagi liatin lo ya?” tanyanya pelan.
Aku hanya mengangguk. Suara keramaian di sekitar kami tiba-tiba terasa mengabur.
"Maafin gue, Sar... gue kayaknya ngerusak semuanya. Gue cuma mau kami tetap jadi teman. Tapi dia... dia malah menjauh. Kayak gue musuh."
“Hafa…” Sarah memelukku erat. “Lo udah coba jujur. Kalau dia belum siap nerima, itu bukan salah lo.”
Aku mengangguk lagi, meski dada ini tetap terasa sesak. Aku tidak ingin permusuhan ini terjadi. Bukan seperti ini yang kuharapkan.
Rapat kelas pun dimulai. Penampilan demi penampilan disambut tepuk tangan meriah. Sarah dan Leo tampil sebagai band, memainkan lagu pop dengan energik. Sarah yang memainkan drum tampak bersinar di atas panggung, senyumnya lebar, penuh percaya diri. Sementara Leo dengan gitarnya tampak terus mencuri pandang ke arah Sarah, wajahnya tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Aku melihat mereka tersenyum. Hubungan mereka mungkin tak sempurna, namun mereka tetap bertahan. Bertengkar, baikan, dan saling dukung—mereka saling melengkapi.
Namaku dipanggil. Ini giliranku.
Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Tangan dingin. Kakiku terasa berat melangkah. Namun aku mengingat nasihat Sarah dan Bu Retha.
Percaya diri, Fa. Tidak tahu siapa dirimu.
Aku menarik napas dalam-dalam. Langkah pertama kutapakkan ke atas catwalk. Gaun berwarna pastel yang menyajikan anggun mengikuti gerakan tubuhku. Hijabku dililit elegan, menyempurnakan penampilan.
Semua mataku berkata.
Aku menegakkan kepala, menatap lurus ke depan, dan tersenyum. Cahaya lampu sorot membuat pandanganku sedikit silau, tapi aku tetap berjalan, pelan dan mantap.
Beberapa orang kecil. Ada yang menggenggam tangan. Di barisan tengah, aku melihat sekilas Vicky. Pandangannya tak sekeras tadi. Matanya tampak menyimpan sesuatu... rindu, mungkin? Atau sesal?
Tapi aku tak bisa membaca isi hati. Dan kali ini, saya tidak mencoba lagi.
Saat semua peserta naik ke atas panggung untuk berjalan bersama, aku menggandeng tangan teman di sebelahku, tersenyum. Ada rasa hangat yang menjalar di dadaku.
Saya berhasil. Aku berdiri di sini. Dan aku bangga.
Ketika acara usai, Sarah langsung memelukku dari belakang. "Gila! Lo keren banget! Serius, Hafa. Lo kayak model profesional!"
Aku tertawa, pelan tapi lega. “Terima kasih ya, Sar. Ini berkat lo juga.”
Sarah mengusap bahuku dan memandangku ke dalam. "Lo lebih kuat dari yang lo kira. Jangan ragu buat berdiri, Fa. Lo pantas bersinar."
Aku menatap langit sore yang mulai berubah jingga. Hari ini... aku belajar. Meskipun hati sedang patah, kita tetap bisa berdiri dan bersinar. Bahkan mungkin dari situ cahaya kita berasal.
Setelah acara classmeeting selesai, suasana sekolah tiba-tiba riuh. Siswa-siswi berlarian pulang dengan tawa yang masih menggantung di udara. Aku sudah mengganti gaunku dan mengenakan pakaian biasa. Gaun itu sekarang hanya kenangan satu hari yang entah akan kurindukan atau justru kulupakan.
Sarah menungguku di parkiran, masih dengan wajah sumringah. Ia menggandeng diterima dengan semangat. "Yuk, gue anterin pulang!" katanya ceria, membuka pintu motornya.
Aku tersenyum, meskipun hatiku sedang lelah. "Makasih, Rah. Hari ini ribet banget, sumpah."
Perjalanan pulang kami keluar dari suara motor yang menderu pelan, bercampur dialog ringan. Sesekali, Sarah curhat tentang Leo, seperti biasa.
"Lo tahu nggak, Fa? Tadi tuh, sebelum tampil, gue dan Leo sempet ribut. Dia tuh nggak suka gue dandan terlalu nyentrik. Katanya, takut diliatin orang," keluhnya, lalu tertawa kecil.
Aku ikut tertawa tipis. "Padahal justru keren loh. Gue malah iri lo bisa tampil di depan umum bareng cowok yang lo suka."
Wajah Sarah sedikit memerah, senyumnya canggung tapi manis. "Iya sih, tapi lo tahu sendiri Leo tuh cemburuan banget."
Aku hanya mengangguk pelan. Tapi kemudian, dari seberang jalan, ada sesuatu yang menarik mataku. Nafasku tertahan.
Di sana—di depan sebuah kafe kecil ayahku baru saja keluar. Di situ, berdiri seorang perempuan yang sangat familiar. Tante Rani. Mereka berjalan berdampingan. Ayah… tersenyum seperti pria yang sedang dimabuk cinta.
Dadaku sesak. Pandanganku mengabur. Mataku panas.
"Fa?" Sarah melirikku dari kaca spion. "Lo kenapa?"
Aku buru-buru mengalihkan pandangan dan menggeleng. “Nggak apa-apa.”
Setibanya di rumah, saya langsung masuk tanpa banyak bicara. "Assalamu'alaikum," ucapku pelan. Ibu Annisa menyambutku dengan ramah dari dapur, tapi aku hanya membalas dengan senyum kecil lalu masuk kamar.
Aku melempar tugasku secara sembarangan. Tubuhku jatuh lemas di atas kasur. Langit-langit kamar menjadi tempat pengungsi melihatku.
Dalam diam, saya memutar kembali pemandangan tadi. Ayah… dan Tante Rani… lagi. Seminggu yang lalu pun aku melihat mereka. Kali ini, aku sudah terlalu muak untuk pura-pura tak tahu.
Ayah pulang semakin larut. Hari libur pun dia habiskan di luar rumah. Alasan? Lembur. Pekerjaan. Tapi semua itu hanya kamuflase kan?
Aku menatap langit-langit yang tak bisa menjawab pertanyaanku. "Aku harus cari bukti," gumamku lirih, penuh keyakinan.
Malam hari, ketika suara motor ayah terdengar di halaman, aku sudah bersiap. Jantungku berdegup kencang. Kakiku terasa berat melangkah keluar kamar.
Ayah sedang melepas sepatu ketika aku mendekatinya. Wajahnya agak lelah, atau mungkin berpura-pura?
"Yah..." suaraku pelan tapi tegas.
Ayah bertanya. "Hmm?"
"Dari mana?"
Sejenak ayah terlihat kaget, tapi cepat sekali ia menguasai diri. "Lembur. Kerjaan numpuk."
Aku mengangguk pelan, menahan emosi. "Makan dulu, yuk. Ibu udah masak. Aku juga bantu tadi sore."
Ayah menguap lebar, lalu menggeleng. “Ayah capek banget, Fa. Nanti aja ya.”
Aku menatap ayah, tajam. "Salsa juga nungguin. Yuk, Yah, masa nggak kasihan sama Salsa?"
Mendengar nama adiknya, Salsa langsung datang dan menarik-narik lengan ayah. "Yah, makan bareng ya? Aku bikin teh manisnya juga!"
Akhirnya, ayah menyerah. Dengan malas, ia ikut kami ke meja makan. Ibu Annisa terlihat begitu senang. Wajahnya berbinar melihat kami makan bersama. Ia menyendokkan sup ke mangkuk ayah dengan penuh kasih.
Tapi aku tahu. Ayah hanya berakting. Senyumannya palsu. Matanya tak menatap ibu. Tangannya hanya sekedar bergerak mengikuti kewajiban. Tidak ada kehangatan. Tidak ada cinta.
Aku memandang mereka. Seorang istri yang berusaha tetap mencintai suaminya, dan seorang suami yang hatinya sudah tak lagi di rumah ini. Aku menahan napas. Penuh sesak.
"Yah, besok hari Minggu. Kita bisa jalan-jalan nggak?" tanya Salsa tiba-tiba sambil tersenyum manis. Ia benar-benar anak polos yang hanya ingin merasakan kebersamaan keluarga seperti teman-temannya.
Ayah mendongak sebentar. "Besok? Nggak bisa. Ayah ada pertemuan."
Alasan itu lagi. Selalu ada alasan. Bahkan untuk anak-anak sendiri.
Salsa menunduk kecewa. Sendok di tangannya. Aku ingin marah, tapi aku tahan. Aku tahu, ledakan sekarang hanya akan membuat Salsa semakin bingung dan Ibu Annisa semakin terluka.
Aku menarik napas, lalu berkata setenang mungkin, "Yah, masa pertemuan terus tiap minggu? Ayah nggak kangen sama Salsa?"
Menatap ayah langsung bertanya padaku. “Kamu ngomong gitu maksudnya apa?”
Aku menatap ke balik, tajam tapi tenang. Nggak apa-apa. Cuma heran aja. Kita di rumah nungguin Ayah pulang, tapi Ayah pulang bawa lelah, bukan cerita. Bawa diam, bukan pelukan.
Ibu Annisa buru-buru menyela, suaranya pelan, cemas. “Hafa, udah… jangan ngomong gitu ke ayahmu.”
Aku mengatupkan bibir. Ya, seperti biasa, ibu selalu jadi penengah. Selalu berusaha menjaga agar keluarga ini tampak utuh, meski dalam kenyataannya sudah diulang di banyak sisi.
Ayah mendesah. “Ayah ke kamar dulu.Capek.” Ia bangkit dari kursi dan melangkah tanpa menoleh ke siapa pun.
Dia menguasai ruang makan.
Salsa kembali mengaduk supnya dengan malas. “Yah nggak sayang kita lagi ya, Kak?”
Jantungku mencelos. Aku mengelus punggung adikku pelan. “Sayang, Sayang banget. Cuma Ayah lagi bingung nunjukinnya.”
Aku tak ingin ia kehilangan harapan. Tak ingin dia kecewa seperti aku.
Malam itu, setelah semua tidur, aku duduk sendirian di balkon kamar. Angin malam mengusap wajahku. Aku menatap langit yang kelabu, lalu membuka kembali jurnal kecilku. Di halaman terakhir, kutulis satu kalimat:
"Jika rumah tak lagi menjadi tempat pulang, maka aku harus kuat menjadi rumah bagi diriku sendiri."
Aku tahu, aku tak bisa mengubah hati Ayah. Tapi aku bisa memilih untuk tetap menjaga hatiku, dan hati orang-orang yang masih bertahan bersamaku.
Secepatnya, saya akan mencari kebenaran yang selama ini kusembunyikan sendiri. Tentang siapa wanita itu. Tentang ayahku. Tentang kenyataan yang selama ini hanya kuduga, namun belum pernah kubuktikan.
Dan jika semuanya benar...
Aku harus siap. Bahkan jika itu artinya—memeluk luka yang lebih dalam.
---
Pukul delapan malam, ayah dan ibu mengajak Salsa keluar sebentar. Katanya mau ke taman dekat rumah. Aku melihat sesuatu yang tertinggal di meja. Ponsel ayah.
Dengan jantung yang berdebar kencang, aku mengambil ponsel itu. Tanganku gemetar, tapi aku harus cepat. Saya menghubungkan ponsel ke laptop dan mulai menyalin semua data. Foto, video, arsip WhatsApp. Semua.
Beberapa menit kemudian, suara motor terdengar. Ayah pulang lebih dulu. Untungnya aku sudah selesai.
Aku buru-buru menyimpan ponsel di tempat semula dan masuk kamar.
Pasang headset dan mulai membuka file yang tadi kutyalin. Tanganku dingin. Saat membuka folder chat WhatsApp, mataku membelalak. Ayah kontak menyimpan Tante Rani dengan nama "Soni Kepala Gudang" .
Licik , pikirku.
Kubuka isi chat mereka. Ada emoji hati di mana-mana. Gombalan yang membuat perutku mual.
Lalu, kutemukan satu rekaman suara. Suara Tante Rani.
"Makasih ya, Sayang... cincinnya cantik banget. Beratnya dua gram ya? Warna emasnya cocok banget di jari aku."
Aku terdiam.
Tanganku terkepal. Mataku memanas.
Foto cincin itu pun terlihat. Diambil dari etalase toko emas. mahal. Berkilau.
Lalu pikiranku melayang pada masa-masa ketika aku meminta uang tambahan untuk tugas sekolah, untuk membeli buku, bahkan untuk jajanan lebih sedikit. Tapi ayah bilang…
"Tidak ada uang."
Aku hanya diberi sepuluh ribu per hari. Itupun sudah harus cukup untuk makan dan ongkos sekolah.
Ayah bilang sayang keluarga… tapi kasih cincinnya ke orang lain.
Air mataku jatuh, diam-diam. Tapi hati ini sedang bergejolak seperti badai.
"Aku akan tunjukkin semuanya. Aku nggak akan diam lagi." gumamku, penuh tekad. Suaraku nyaris tak terdengar, tapi malam menjadi saksi bahwa mulai detik ini... aku tak akan membiarkan kebenaran tertutup lagi.
---
Hari Minggu kembali tiba.
Udara pagi terasa lembut menyapa kulitku, seolah tahu bahwa hari ini jantungku sedang berdebar tak karuan. Aku berdiri di depan cermin, mengenakan kerudung biru pastel yang senada dengan rok panjang dan sweater rajut favoritku. Sederhana, tapi cukup untuk membuatku merasa pantas. Bukan untuk siapa-siapa—mungkin hanya sedikit, untuk Arya.
Minggu lalu, aku melihat poster lomba puisi di laman kampus tempat Arya kuliah. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mendaftar. Bukan karena ingin menunjukkan sesuatu padanya—setidaknya itu yang aku bilang pada diriku sendiri. Tapi nyatanya, sejak pertemuan kami di perpustakaan kota, ada sesuatu yang sulit aku abaikan.
Aku menatap nama Arya di layar ponsel. Ragu. Telunjukku menggantung di atas ikon WhatsApp. Namun akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengirim pesan.
Assalamu’alaikum. Aku Hafa. Hari ini aku ikut lomba puisi di kampus kakak. Boleh minta arahan gedung acaranya?
Tak sampai lima menit, balasannya muncul:
Wa’alaikumussalam, Hafa. Masya Allah, ikut lomba di sini? Keren. Langsung ke gedung PKM ya, aku tunggu di sana.
Tanganku sedikit gemetar saat menutup ponsel. Senyumku sulit disembunyikan.
---
Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di atas ojek online menuju kampus. Hanya sepuluh menit dari rumah, tapi detik-detiknya terasa panjang. Degup jantungku kian cepat saat gerbang kampus negeri itu mulai tampak.
Sesampainya di gedung PKM, aku turun dan segera menuju meja registrasi. Suasana sudah ramai. Suara pengumuman menggema, para peserta lalu-lalang dengan wajah penuh harap dan gugup. Aku menyerahkan berkas, lalu menunggu giliran tampil.
Beberapa saat kemudian, nomor pesertaku dipanggil. Tanganku dingin. Tapi aku berdiri. Tegak. Ini bukan hanya soal lomba—ini tentang keberanian.
Aku naik ke atas panggung. Mikrofon di depanku terasa begitu besar. Namun ketika mataku menyapu penonton, aku menangkap satu wajah yang begitu familiar. Arya.
Ia berdiri di barisan belakang, mengenakan kemeja abu-abu dan celana hitam. Matanya tak lepas dari panggung.
Aku menarik napas, lalu mulai membaca puisiku.
Derai mata memuja jiwa
Tulang bergelantung badan
Hitam pekat, kulitku pucat
Pergilah kau…
Jauh menggapai asa,
Langkah panjang membelah luka,
Sanggahan tahta dan harga dirinya,
Tegak kepala, jiwa merekah pula
Biru merekah, silaunya jingga
Metamorfosa lahirkan raga
Tulang paru-paru menjadi tenaga
Hati beku membakar jiwa
Pedang tajam kiri kanan
Tangan menapak tanpa gentar
Tatap menusuk, senyap bergetar
Merasuk ke dalam, siap terbakar
Saat bait terakhir selesai, suasana hening sesaat... lalu tepuk tangan menggema. Aku tersenyum kecil, membungkuk pelan, lalu turun dari panggung.
Arya segera menghampiriku.
"Hafa..." sapanya lembut.
Aku menoleh, sedikit canggung. Tapi Arya tersenyum hangat.
"Puisinya... luar biasa," ucapnya sambil menatap lurus ke depan. Ada kekaguman yang tak tersembunyi di matanya.
Aku menunduk, malu. "Makasih... aku cuma nulis apa yang aku rasa."
Ia mengangguk pelan. "Dan kamu menyampaikannya dengan tulus. Itu yang membuat semua orang diam tadi."
Kami terdiam sesaat. Arya menghela napas.
"Aku nggak nyangka kamu ikut lomba ini. Tapi… aku senang kamu di sini."
Aku menggigit bibir bawahku, menahan gejolak di dada. "Aku juga nggak nyangka bakal ketemu kakak lagi."
Kami tertawa kecil. Hangat. Sejujurnya. Tanpa kepura-puraan.
Tiba-tiba, seorang panitia menghampiri Arya—seorang gadis berkerudung merah marun dengan kartu identitas bertuliskan “Nina – Koordinator Lomba.”
"Arya, kamu bisa bantu juri backup nanti? Ada yang nggak bisa datang," katanya sambil melirikku sekilas.
Arya menoleh padaku. "Hafa, kamu nggak keberatan nunggu sebentar? Aku bantu sebentar aja."
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku duduk di sana, ya?"
Setelah Arya pergi, Nina duduk di bangku sebelahku.
“Hai, aku Nina. Kamu siapa?” tanyanya ramah.
"Aku Hafa. Salam kenal, ya, Kak."
“Iya, salam kenal juga. Btw, kamu masih sekolah, ya?"
“Iya, Kak. Aku SMK kelas dua.”
“Ohh… puisimu bagus. Semoga menang, ya.”
“Terima kasih banyak, Kak.”
Tak lama, Nina pamit untuk melanjutkan tugasnya.
Aku menatap Arya yang kini sibuk di meja juri. Dalam diam, aku tahu… ada sesuatu yang sedang tumbuh. Perlahan. Tapi jujur.
---
Waktu terus berjalan. Satu demi satu peserta tampil dengan puisi yang unik dan penuh warna. Aku duduk di bangku tengah, menatap panggung yang kini kembali kosong. Hati kecilku berdesir setiap kali teringat bagaimana mataku bertemu matanya. Tapi buru-buru aku tepis harapan itu. Aku tak ingin menafsirkan terlalu jauh sesuatu yang belum tentu nyata.
Panitia mulai membereskan kursi. Beberapa peserta sibuk berswafoto, yang lain sudah bersiap pulang. Aku tetap di tempat, menunggu pengumuman pemenang. Tiba-tiba, suara terdengar dari pengeras:
"Mohon perhatian. Kami akan segera mengumumkan tiga besar Lomba Puisi Tingkat Remaja tahun ini. Kepada seluruh peserta, mohon berkumpul di depan panggung."
Aku berdiri perlahan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku tak mengharapkan juara—sungguh. Tapi langkahku terasa berat… penuh harap yang campur aduk.
Arya berdiri tak jauh dari meja juri. Wajahnya tenang, bersedekap, dengan sorot mata tetap fokus ke arah panggung. Sesekali, ia menoleh ke arahku. Singkat. Tapi cukup terasa.
Seorang MC perempuan berdiri di panggung, membawa kertas hasil rekap.
“Baik, kita mulai dari Juara Tiga…”
Namaku belum disebut.
“Juara Dua…”
Masih bukan aku.
Aku mulai menenangkan diri. Mungkin memang belum rezekiku hari ini.
“Dan… Juara Pertama Lomba Puisi Tingkat Remaja 2025 jatuh kepada… Hafanisa!"
Suara tepuk tangan membahana.
Aku terpaku. Mulutku sedikit terbuka. Tak percaya.
Aku?
Tubuhku baru bisa bergerak saat panitia memanggil ulang namaku. Kakiku melangkah ke depan. Rasanya seperti mimpi.
Seseorang menyerahkan piala kecil dan sertifikat. Aku menoleh ke arah Arya. Ia tak bertepuk tangan berlebihan. Tapi sudut bibirnya mengangkat—sekilas. Tapi cukup membuatku tahu: dia bangga.
Aku turun dari panggung dengan langkah gemetar.
Arya menghampiriku. Ia membawa dua botol air mineral dan satu kotak snack dari panitia.
“Buat kamu,” katanya singkat.
Tanganku masih gemetar. “Terima kasih…”
Ia mengangguk. “Selamat ya. Puisimu memang layak menang.”
Aku menatap wajahnya, mencari isyarat lain. Tapi seperti biasa, Arya tenang. Kalem. Tak banyak bicara, tapi tak juga membuatku merasa asing.
“Kakak tahu nggak…” ujarku perlahan. “Aku hampir nggak ikut lomba ini.”
Arya menaikkan alis. “Kenapa?”
"Aku ragu. Takut nggak cukup berani. Tapi… setelah ketemu kakak di perpustakaan itu, entah kenapa aku ngerasa harus nyoba.”
Arya terdiam, lalu menatapku lebih lama. Matanya menyiratkan sesuatu yang tak terucap. Tapi ia hanya berkata,
“Kadang… keberanian itu muncul bukan karena kita yakin akan menang, tapi karena kita tahu kita bakal nyesel kalau nggak nyoba.”
Aku mengangguk. Dalam hati, aku tahu: kata-katanya itu seperti cermin dari pikiranku sendiri.
Suasana mulai sepi. Para peserta mulai pulang. Aku memeriksa ponsel, memesan ojek online.
“Aku duluan, ya.”
Aku tersenyum.
Arya membalas dengan anggukan. “Hati-hati di jalan.”
Aku melangkah meninggalkannya. Tapi dalam hati, aku tahu…
Langkah ini membawa lebih dari sekadar piala.
Ada sesuatu yang baru tumbuh. Perlahan. Tapi pasti.
Tak butuh gombal. Tak perlu sorakan.
Cukup dengan kehadiran yang jujur dan tenang. Seperti Arya.