Setelah semua barang dimasukkan ke bagasi mobil, Julie menatap rumah yang sudah dia huni sejak lahir hingga usianya tepat 15 tahun. Dia tidak tahu kapan akan kembali lagi ke sana.
"Siap?" ajak ayahnya yang sudah berada duduk di kursi kemudi.
“Tempat baru petualangan baru,” seru Rafaek seraya menginjak pedal gas dan meluncur ke jalan raya. “O ya rambut baru juga, haha.”
Hari sebelumnya Julie memotong rambutnya dengan gaya bop sebahu. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya rambutnya sependek ini. Ternyata lebih cocok dan kelihatan lebih fresh dari pada rambut panjang.
Julie membuka kaca jendela setengah, membiarkan rambut pendeknya dimainkan angin. Matanya menerawang jauh ke depan tapi seperti tidak melihat apa-apa. Otaknya memutar kembali percakapannya dengan Ezra di kereta dalam perjalanan pulang.
"Kamu," Ezra sejenak terdiam ragu, "kamu udah tahu mau kamu apakan kemampuanmu itu?"
"Maksudnya?"
"Kamu pernah bilang kalau semakin lama penglihatanmu semakin eksplisit. Kamu udah siap?"
Julie menyenderkan kepalanya yang tiba-tiba berat ke dinding jendela. Itu juga pertanyaan-pertanyaan yang selalu hadir dalam kepalanya.
Ezra melihat perubahan ekspresi Julie.
"Sudah kuduga. Kamu belum punya rencana."
“Memang.”
“Menurutku sudah saatnya kamu berhenti menghindari orang-orang.”
Julie diam menatap Ezra lama. “Kamu enggak?”
“Nggak. Aku nggak pernah dengan sengaja menghindari orang. Sikap cuek aku ini sudah bawaan lahir. Jadi nggak ada motif khusus.”
“Oh.”
“Ya.”
Hening sesaat.
“Kata ibuku dari kecil aku memang suka asyik sendiri. Aku jarang berinteraksi dengan anak lain. Mungkin karena pada saat anak-anak seumuranku sudah lancar bicara, aku belum bisa. Ketika aku udah lancar bicara, bicaraku malah nggak kaya anak seumuranku.”
Julie tidak berkomentar hanya tersenyum kecil.
“Tapi kamu nggak gitu ‘kan?” Ezra menatap lurus Julie. “Waktu kamu kecil kamu nggak sedingin ini ‘kan?”
Julie mengangkat bahu. “Aku sudah lupa.”
“Dari foto-foto itu, jelas sekali kalau kamu nggak kaya gini. Kamu anak yang ceria dan aku yakin dulu kamu banyak temennya.”
“Foto?”
“Foto-foto yang di dinding rumah kmu, dekat ruang tamu.”
“Oh. Kamu merhatiin.”
Ezra mengangguk. “Awalnya aku pikir kita mirip, tapi sebenarnya kita berbeda.”
Julie setuju.
“Kamu menghindari orang karena takut dan panik?”
“Hemh?”
“Saking paniknya, kamu bangun benteng kokoh di sekeliling kamu agar kamu ngerasa aman.”
Julie kembali menyandarkan kepalanya ke dinding jendela lalu mengamati bayangan sendiri yang samar-samar dari samping. "O ya?"
"Kemampuanmu cukup menakjubkan tapi juga mengerikan. Kamu yakin bisa menanganinya sendirian?"
"Sejauh ini bisa."
Ezra menggeleng. "Seperti bakat lainya, kemampuanmu juga akan berkembang dan dampak yang ditimbulkan mungkin akan semakin besar. Dan bebanmu mungkin akan semakin berat."
"Dari tadi kamu berputar-putar. Apa yang sebenernya mau kamu sampain?"
Ezra menghela napas. "Kamu nggak bisa sendiri. Kamu bisa gila. Kamu harus punya orang-orang yang bisa kamu percaya di samping kamu. Orang yang bisa bantu kamu jika kamu nemu masalah yang terlalu besar untuk dihadapi sendiri."
"Kalau begitu aku rekrut kamu, siap?" tanya Julie setengah bercanda sambil meluruskan posisi duduknya.
"Nggak bisa," tandas Ezra. "Aku juga punya masalah sendiri. Lupa aku harus berobat? Meski peluang kesembuhanku tinggi, tapi resiko gagal nggak sepenuhnya absen. Aku bisa saja mati. Kemungkinan itu nggak nol persen."
“Oke.”
"Seleksi orang-orang yang bisa kamu percaya kemudian kolaborasi."
Julie tersenyum kecil.
Seleksi dan Kolaborasi ya? Kira-kira dia harus mulai dari mana?
“Julie.”
Julie tiba-tiba terbangun dari lamunannya. Dilihatnya mobil yang ditumpanginya sudah keluar dari jalan tol.
"Coba kamu liat..." ayah Julie menyerahkan brosur sekolah SMA swasta pilihannya.
Dengan malas Julie membuka lembaran brosur itu. "Reevalta High School," gumannya. Di sana tertulis visi misi sekolah. Berbagai macam fasilitas yang ditawarkan. Kurikulum yang digunakan dan berbagai macam ekstrakuler yang bisa diikuti. Dan di halaman terakhir berisi daftar nama alumni yang tembus universitas ternama baik dalam dan luar negeri. Tidak ada satu pun yang menarik perhatian Julie.
"Bagus nggak? Itu sekolah yang jaraknya paling dekat dengan rumah kita nanti."
Julie tidak menjawab. Ia malah menghela napas panjang. "Bisa melipir sebentar?"
"Kamu mau ke toilet?"
Julie menggeleng. "Aku mau cerita sesuatu...sesuatu yang penting."
Rafael tertegun sejenak kemudian ia bernapas lega. Sudah lama ia menantikan momen ini tiba. Dia pun mengangguk dan menepikan mobilnya di pinggir jalan, siap mendengar Julie bercerita.
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...