Dengan setelan jeans hitam dan blazer panjang warna cokelat, Julie melangkah memasuki stasiun Bandung. Jam besar di tembok menunjukkan pukul 15.10. Meski banyak yang sudah berubah, tapi suasana yang Julie rasakan sama seperti empat tahun lalu.
Memori saat pertama kali ke sana kembali berseliweran di kepalanya membuatnya sedikit menahan napas.Tanpa diundang, bulir-bulir keringat dingin mulai memenuhi pelipisnya. Sebenarnya apa yang dia takutkan? Tidak ada!
"Keretanya bentar lagi datang," Ezra menghampirinya. Ia melihat tiket di tangannya. "Jalur 1."
Ia langsung berbalik dan mulai bergegas.
Julie mengikutinya dari belakang, langkahnya terasa berat seolah ada bola besi yang menggelantung di kakinya. Semua sudut-sudut stasiun terasa mencurigakan. Orang-orang lalu lalang, orang-orang mengobrol, suara mereka, suara peluit, suara lokomotif, semuanya.
Begitu tiba di jalur 1, kereta perlahan melintas dan berhenti. Pandangan di depan Julie mulai kabur, namun penampakan kereta meledak, api berkobar di depan matanya begitu jelas.
Ezra mulai menaiki tangga ke pintu kereta. Saat berbalik alisnya menyatu begitu melihat Julie mematung dengan tatapan kosong.
"Julie..."
Mendengar namanya, Julie tersentak seketika. Samar dia melihat Ezra dari atas pintu kereta, mengulurkan tangannya ke padanya. "Ayo..."
Sekilas, Julie seperti melihat ibunya. Ia langsung meraih tangan itu yang kemudian menariknya ke dalam kereta. Tangan itu kemudian menuntunnya menyusuri lorong gerbong mencari tempat duduk.
Ezra seperti mengatakan sesuatu tapi Julie tak bisa menangkapnya. Suara-suara di sekitarnya memang mulai menjauh.
Di tengah-tengah, Julie mendadak menghentikan langkahnya. Ia menarik tangannya dan menggeletakan tas selendangnya begitu saja. Kemudian ia lari ke belakang masuk ke toilet dan mulai muntah-muntah. Setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Kepalanya terasa ringan, pandangan yang tadi buram kembali jelas, dan pendengarannya kembali normal.
Di depan cermin ia membasuh wajahnya dan menepuk-nepuknya berharap rona mampir di wajahnya yang pucat. Dia tak begitu mengerti apa yang terjadi padanya. Kemungkinan stress! Padahal dari rumah dia sudah antisipasi namun tetap saja begitu sampai lokasi teror memori empat tahun lalu menyusup begitu cepat ke dalam kepalanya membuatnya kewalahan.
Setelah merapikan diri dan dirasa tampak normal, Julie keluar toilet.
Kali ini dia tidak akan membiarkan otaknya dibombardir masa lalu. Dia harus fokus.
Pelan-pelan dia berjalan di lorong sambil lihat barisan kursi kiri dan kanan.
"Di sini!" Ezra melambaikan tangannya.
Julie duduk di kursi di hadapannya. Kursi di sampingnya maupun di samping Ezra kosong.
"Minum," Ezra menawarkan botol minuman ke hadapan Julie.
Julie mengambil botol minuman dari tangannya. Meminumnya beberapa teguk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Terima kasih."
"Kamu nggak kenapa-napa?"
"Nggak," balas Julie santai, pandangan ke luar jendela.
"Luar biasa.." Ezra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Habis muntah kayak orang keracunan, bisa-bisanya kamu biasa-biasa."
Julie menatap Ezra tajam.
"Jangan salah, aku nggak bermaksud ngikutin. Aku cuma ngecek. Soalnya tadi kamu pucat banget dan tangan kamu sedingin es. Benar-benar mengkhawatirkan," tandas Ezra seolah mengoreksi kecurigaan Julie.
Ezra kemudian tersenyum sambil menyilangkan kedua lengannya di dada. "Beda denganmu, aku kan masih manusia dan manusia punya yang namanya naluri kemanusiaan. Jadi aku cek, takut kamu kolaps di toilet."
"Nggak mungkin aku kolaps," kali ini Julie yang tersenyum, "beda denganmu, paru-paruku masih sehat."
Ezra menyandarkan punggungnya di kursi. "Kayaknya aku bakalan kangen sama becandaan sadis kamu."
"Hemh?"
"Nggak"
Kembali, Julie melihat ke luar jendela, suara sirine palang pintu jalan ditutup terdengar. Perlahan Ia menutup matanya. Bulu matanya yang tebal terlihat jelas. Tepat di situ, kereta menabrak truk tangki bahan bakar minyak empat tahun lalu. Dia masih ingat bagaimana tubuhnya terpental. Kata-kata terakhir ibunya kembali berbisik di telinganya. Semua akan baik-baik saja.
Kembali dia membuka mata. Melihat ke sudut-sudut gerbong. Tidak terjadi apa-apa. Ia menghela napas lega.
"O ya Alexa titip salam buat kamu."
"Alexa?" kening Julie sedikit mengernyit. "Oh kembaran kakakmu?"
Ezra mengangguk. "Dia bilang makasih udah bantu cari Al."
"Oh," hening sejenak, "Sama-sama."
"Aku nggak bilang apa-apa tentang kemampuan supranatural kamu."
Julie tersenyum kecil kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Jadi kamu cuma ngasih tahu aku sama Irgie?"
"Aku nggak ngasih tahu. Kalian tahu sendiri 'kan awalnya. Terutama kamu."
Julie sebisa mungkin tidak ingin kemampuannya diketahui orang lain. Karena pastinya akan merepotkan dan membuatnya tidak nyaman.
"Dan Nico dia tahu kemampuanmu juga. Aku yakin dia bakalan kontak kamu lagi."
"Buat?"
"Mastiin lagi sepupunya masih hidup atau enggak lewat fotonya."
"Oh."
Kalau dipikir lagi sekarang Julie sedikit menyesal ikut terlibat dalam urusan Nico. Kemampuan Nico bercerita patut diacungi jempol, dia tergerak memeriksa foto sepupunya lebih karena penasaran daripada simpati.
Ezra diam sejenak, berpikir. "Kalau kamu denger ceritanya sebenarnya mustahil sepupunya masih hidup."
"Terus?"
Ezra menegakkan posisi duduknya, tatapannya serius. "Kamu yakin dia masih hidup?"
"Aku nggak bisa akses memori di fotonya."
"Nggak bisa akses bukan berarti dia masih hidup kan?"
"Bisa jadi, tapi firasatku mengatakan dia masih hidup."
Ezra menyandarkan punggungnya kembali. "O yah ini pertama kalinya aku ke naik kereta ke luar kota," Ezra melihat ke jendela.
Pandangan Julie jatuh ke bawah. "Ini yang kedua. Yang pertama gagal sampai tujuan. Entah yang sekarang."
"Pasti sampai."
"Hemh."
"Kalau ada apa-apa, kamu pasti sudah bisa mendeteksinya ya ‘kan?"
Julie diam, hanya membalas dengan tatapan sekilas kemudian fokus kembali melihat pemandangan di jendela.
Jadi pendeteksi bencana ya? Hemh...
****
Saat konser berlangsung, beberapa kali Julie merinding dan menahan napas saking terhipnotis dengan penampilan grup orkestra kelas dunia di depan matanya.
Symphony No 7—Beethoven dibawakan dengan sangat memukau. Violin Concerto-Paganini juga sukses membuat dadanya berdebar-debar.
Dia tidak menyangka sensasi perbedaan menonton langsung dan menonton di Youtube bisa sejauh itu. Bagaikan langit dan bumi. Jujur dia sangat terharu. Sebuah pengalaman magis yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Untuk itu dia sangat berterima kasih kepada Ezra dan tiketnya.
Ezra tersenyum simpul. "Sama-sama. Aku lega kamu suka. " Ia melihat jam di tangannya. "Masih keburu kereta yang jam 10."
Mereka langsung bergegas ke Stasiun Gambir dan sekitar lewat tengah balam tiba di stasiun Bandung. Meski begitu suasana masih ramai oleh penumpang yang naik turun.
"Terima kasih buat hari ini," kata Julie sambil sibuk mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia kemudian berbalik dan mulai melangkahkan kakinya.
Sambil berjalan dia membalas pesan dari ayahnya yang sudah menunggunya di halaman depan stasiun. Sebelumnya, dia bilang kalau nonton konser musik klasik di Jakarta merupakan tugas akhir mata pelajaran Seni Budaya. Dan dia berangkat bersama beberapa teman satu kelompoknya. Ayahnya percaya.
"Julie..."
Julie menoleh ke belakang, dilihat Ezra masih diam di tempat.
"Tolong pertimbangkan kata-kataku tadi..." kata Ezra singkat, kemudian langsung berbalik dan berjalan ke arah berlawanan..Julie tertegun beberapa detik kemudian berbalik lagi. Kali ini ia percepat langkahnya. Ezra ke luar lewat pintu selatan sementara Julie lewat pintu utara.
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...