Orang itu tiba-tiba berada sangat dekat. Napasnya hangat menerpa wajahku, membuat Ashley refleks menarik diri—tapi tubuh nya tak bisa bergerak.
Beku.
Jarak mereka hanya beberapa inci. Bahkan jika ashley bisa melihat, Ashley yakin bisa melihat pori - pori wajahnya dari jarak sedekat ini.
Yang bisa ashley rasakan hanyalah tekanan udara dari tubuhnya yang besar, aroma samar darah yang belum sepenuhnya kering, dan aura asing yang gelap… seperti bayangan yang menatap balik ke dalam diri nya
"Bisakah kau mundur sedikit ?" tanya ashley ragu.
Orang itu tak kunjung buka suara.
Ashley menangkup kedua telapak tangan nya di depan dada. “Maaf… aku benar-benar minta maaf,” kata nya dengan suara yang lirih, nyaris terseret oleh angin malam.
Namun orang itu tak langsung merespons. Ia hanya menatap.
Terlalu lama.
Rasanya seperti dia membaca isi hati nya —membuka lapis demi lapis luka yang bahkan tak ingin ashley ingat lagi.
“Sebelumnya aku tak pernah melihatmu,” katanya.
Akhirnya! Setelah sekian abad!
Suara itu membuat ashley lega.
"terimakasih sudah bersuara, aku pikir kau mar-"
"Jawab"
"E-eh akumemangtakpernahkeluarrumah" ucap ashley dengan cepat
"Perlahan"
Ashley menunduk. Jemari nya mulai memilin satu sama lain. “Aku… tak pernah keluar rumah,”
Cicit nya, seperti bunyi daun jatuh di tengah hutan yang sunyi.
Tapi entah bagaimana, dia masih bisa mendengarnya.
Lalu orang itu menarik diri. Suasana di sekitar berubah, seolah tekanan menghilang begitu saja saat dia melangkah mundur.
Ashley menggigit bibir.
Apakah aku terlihat menjijikkan?
Apakah wajah nya aneh?
Atau karena tak bisa lihat?
Mungkinkah dia jijik?
Ashley tak tau. Tapi juga tak punya waktu untuk menyiksa pikiran nya sendiri.
"Aku harus cari minuman" ucap ashley.
Kalau ayah nya tau ashley keluar diam-diam malam-malam begini… tak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan.
Kaki nya melangkah cepat menjauh dari rumah. tak tau ke mana, tapi ia harus pergi. Ia harus cari sesuatu. Apa saja.
Ayo ashley bertahan, batin nya
Tubuh nya sudah mulai lemas sejak siang tadi. Belum ada setetes pun darah yang masuk ke tenggorokan nya.
Kalau Ashley terlambat sedikit lagi, bisa pingsan di jalan.
Dengan hanya mengandalkan insting—dan sedikit sisa ingatan tentang arah angin—aku mencoba mencari tempat yang mungkin menjual minuman khusus klan vampir. Toko darah, atau apapun itu.
✧
Langkah nya tak tentu arah. Hanya sepatu dan tanah yang saling bergesek pelan dalam diam. Udara malam dingin, tapi tubuh nya tak sempat merasakannya. Yang ia pikirkan cuma satu: haus. Sangat haus.
"Argh! Bertahan lah"
Tenggorokan nya kering, perut nya terasa kosong, dan kepala nya mulai berdenyut pelan. Kalau begini terus, aku bisa mati.
"Huh! Ayo harus kuat"
Di tengah lorong sempit yang sunyi, samar-samar mendengar suara pelan—bel.
Bel pintu.
Ashley mengikuti suara itu, menggenggam dinding-dinding toko yang tak ia kenal, berharap ini bukan sekadar bayangan.
Tiba-tiba, aroma darah menusuk hidungku.
Manis.
Sedikit asam.
Tapi segar.
"Akhirnya!!" Sorak nya bahagia.
Ashley menoleh pelan.
Di samping nya, ada pintu kayu tua dengan suara nyaring yang menyambut setiap pelanggan. Di atasnya tergantung papan tua yang kemungkinan sudah luntur tulisannya. Tapi tak salah lagi. Tempat ini menjual minuman darah.
Dengan sisa tenaga, ia menekan pintu itu perlahan. Denting bel berbunyi lemah.
“ada yang bisa ku bantu?” tanya suara wanita tua dari balik meja kayu.
Ashley melangkah pelan ke arahnya, lalu mengangguk kecil.
“Minuman… darah,” bisik nya.
“Untuk klan apa, Gadis manis ?”
“Klan vampir…” suara nya tercekat, “...yang belum dewasa.”
Perempuan itu sejenak terdiam. Lalu mendengar suara botol-botol berdenting. Ia meletakkan satu botol kecil di hadapan ashley. Tangan nya meraba, dingin dan berat.
“Harga satu ini tiga koin,” katanya.
Ashley membuka kantong kecil dari saku celana nya —kantong rahasia pemberian bunda.
Di dalamnya hanya tersisa empat koin. Ia tahu ayah nya tak akan memberiku lagi besok. Tapi ia sudah terlalu lemas untuk berpikir jauh.
"Ini koin nya"
Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan tiga koin itu. Lalu duduk di bangku kecil di pojok ruangan. Ia peluk botol itu sebentar, seperti menggenggam satu-satunya harapan untuk tetap hidup malam ini.
Perlahan, ia teguk isinya. Rasa logam bercampur manis langsung menyapu mulut nya.
Tubuh nya terasa sedikit lebih hangat.
Tapi hati nya?
Tetap dingin.
"Terima kasih," kata ashley pelan, meski aku tak tahu apakah pemilik toko itu masih mendengar.
Malam ini harus puaskan diri.
✧
Ashley masih duduk diam di kursi tua toko itu. Sesekali meneguk minuman darah yang mulai menghangat.
Tenggorokan nya perlahan membaik, tapi dada nya tetap sesak. Bukan hanya karena haus, tapi karena hidup ini… seakan tak memberi nya ruang bernapas.
Tiba-tiba—
BRAK!
"Uhuk! Uhuk!"
Meja di hadapan nya terguncang keras. Botol di tangan nya hampir terjatuh dan ashley tersedak cukup parah hingga batuk berkali-kali.
Minuman itu nyaris menyembur kembali ke luar.
Tawa nyaring terdengar.
Tawa yang sangat dikenal.
“Kau masih lemah seperti dulu rupanya,” ucap orang itu sambil terkekeh.
Rambut panjang orang itu terayun ke depan, dengan sengaja dikibaskan ke wajah nya
“Apa kau ingat diriku?” tanyanya dengan nada centil.
Tentu saja ingat.
Bagaimana mungkin ashley bisa lupa?
Dia adalah orang yang sering mengerjai nya di sekolah. Menarik kursi nya, menyembunyikan tongkat bantu jalan nya, bahkan pernah membacakan catatan palsu seolah dari Bunda—yang membuat nya menangis seharian.
Raden Eiyla, namanya.
“Hello?”
“apakah kau lupa ingatan?”
Ashley menghela napas perlahan dan berkata lirih, “Aku ingat.”
"Bagus lah jika kau mengingat ku, aku jadi tak susah payah berkenalan lagi, haha"
"Oh tunggu, ashley gizella..."
Eiyla menarik kursi dan duduk di depan nya, hanya meja kayu tua sebagai pembatas.
“Bagaimana kau bisa keluar rumah di malam hari?” tanyanya curiga.
Ashley diam.
Wajahnya makin dekat. Nafasnya tercium tajam, seperti campuran kayu bakar dan sihir murahan. “Oh… jadi kau keluar tanpa izin?”
Masih tak ada jawaban dari ashley.
Tiba-tiba, sesuatu mencekik leher baju nya— bukan dengan tangan, melainkan dengan kekuatan tongkat sihir miliknya.
Ashley tersentak.
“Iya kan?” tanya nya menatap ashley dengan tajam
"Kau tak perlu tau"
“Haha, akan aku adukan kau ke ayahmu.”
Sihirnya melepas ke arah ashley. Tapi belum sempat ashley menarik napas lega, dia sudah mengambil botol minuman darah milik nya yang masih tersisa setengah.
Lalu, dengan wajah puas— menyiram isi botol itu ke kepala ashley.
Cairan dingin itu mengalir dari ubun-ubun hingga ke dagu nya, meresap ke dalam kerah baju.
“Semoga nyawamu masih selamat di rumah,” ucap eiyla,
Botol kosong itu dilempar begitu saja ke lantai, membentur dan menggelinding pelan.
Dia pun melenggang pergi, meninggalkan dengan tatapan sombong.
"Byee ashley gizella"
Huh! Dasar klan penyihir tak punya hati, batin ashley kesal
Kepala ashley tertunduk, rambut nya menutupi sebagian wajah. Tapi ashley merasa... semua mata sedang menatap nya.
Sinis.
Penuh cibiran.
Entah karena ashley disiram darah, atau karena ia terlalu menyedihkan untuk dilihat.
Iya iya aku tau aku menyedihkan tapi jangan ada cibiran, batin nya bersuara
Ashley tak bisa melihat tapi ashley bisa mendengar suara kecil kalian, batin ashley lagi
Tiba-tiba—
“akh!"
Sebuah jari menyentil kening nya, membuat nya tersentak dan mendongak refleks. Tangan ashley langsung mengusap kening nya.
Di depan ashley berdiri pria bertubuh tinggi, dengan aura berat yang terasa seperti kabut tebal—dingin dan gelap.
"Ekhem"
Mata pria itu melihat botol pecah yang masih berceceran di lantai. Lalu ia berjalan ke arah wanita tua di balik meja.
“Yang tadi. Tiga,” kata orang itu.
Wanita itu mengangguk cepat dan menyiapkan tiga botol darah. Pria itu—tanpa menghitung koin—meletakkan beberapa koin kecil dan mengambil botol-botol itu.
Saat ia hendak pergi, wanita tua itu memanggil,
“Tuan Brylian, ini kembalian—”
Langkah pria itu berhenti. Ia menoleh tajam, memicingkan mata.
“Panggil sir, bukan tuan.”
Wanita tua itu langsung membungkuk meminta maaf. “I-iya maafkan saya, Sir"
"Ini kembalianmu, Sir.” ucap wanita itu lagi memberikan kembalian brylian
Namun Brylian tidak mengambilnya. Ia hanya membalikkan badan, melangkah kembali ke arah ashley, dan duduk di kursi tepat di seberang tempat ashley duduk.
Posisi yang tadi diduduki si penyihir kejam, Raden Eiyla.
Brylian meletakkan tiga botol darah itu berjajar di atas meja.
Ashley terpaku. Dada nya berdegup keras.
Sir Brylian?
Namanya seperti tak asing.
Ditengah keheningan mereka terpecah saat jari panjang dan dingin itu menjentikkan wajah Ashley.
“Minumlah.”
Ashley mengangguk cepat. “I-iya... terima kasih, Sir,”
Tangan ashley meraih botol di tengah dengan dua tangan.
Ia meneguknya perlahan, takut sisa darah ini akan tumpah lagi kalau dirinya ceroboh.
Masih sunyi. Tapi rasa penasaran dalam diri ashley tak bisa diam.
Dengan satu helaan nafas, ashley kumpulkan keberanian.
“Maaf, Sir… kalau boleh tahu, margamu siapa?”
Bibir brylian terangkat membentuk senyum tipis.
“Aelyth.”
Jantung ashley… serasa sudah lompat ke tenggorokan.
Marga itu…
Aelyth.
Marga kuno dari klan Demon. Salah satu marga tertua, termurni, dan paling ditakuti. Mereka adalah pembawa kehancuran sekaligus penjaga garis sihir tertinggi dalam sejarah dunia gelap.
Ashley… duduk satu meja dengan anggota Aelyth?!