Langit malam tampak begitu luas—gelap, hampa, dan tanpa satu pun bintang yang menggantung. Tapi ashley tak tahu benar seperti apa langit itu. Ashley hanya bisa menebak dari dinginnya angin yang menyelip masuk dari sela jendela dan dari senyapnya malam yang menyiksa.
Ashley duduk di ujung tempat tidurku. Kamar ini terlalu sunyi untuk seorang anak berumur sebelas tahun. Ashley menggenggam lututnya sendiri, mencoba memeluk tubuhnya yang rasanya semakin hari semakin mengecil oleh suara-suara di dalam kepalanya.
“Kamu cuma beban...”
“Seharusnya kamu tidak lahir...”
“Ibumu meninggal karena kamu…”
Pikiran-pikiran jahat yang tumbuh karena terlalu sering ditinggal dan terlalu sering disalahkan. Ashley bahkan belum pernah melihat wajah bunda.
Ashley buta sejak lahir. Satu-satunya yang bisa kuingat tentang bunda hanyalah suara lembutnya saat menyanyikan lagu pengantar tidur. Tapi sekarang, suara itu pun mulai menghilang dari ingatannya.
"Dapatkan Bunda kembali lagi?"
"Aku belum melihat wajahmu, bun"
Ashley kecewa.
Sangat
Bukan hanya karena Bunda pergi…
Tapi karena aku tak pernah diberi kesempatan melihatnya—walau sekali saja.
"Kata bunda, sang pencipta itu baik"
"Tapi kenapa ambil pencipta bunda ?"
Kata ashley di kenyamanan kamar nya, entahlah dia tak pernah berharap ada keajaiban setelah ini tetapi disisi lain dia pun tak mau menyalahkan tuhan.
Mungkin sang pencipta sedang mengujinya.
Mungkin.
"Ashley..."
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Langkah kaki berat masuk, disusul bau alkohol yang menusuk. Ashley mengenali suara itu. Ayah.
Ashley buru-buru berpura-pura seolah tak terjadi apapun, ia harus kuat dihadspan ayat nya.
Ayahnya mendekat, lalu duduk di samping nya, "saya punya kabar baik"
Tangannya menyentuh rambut nya, menggigil dengan gerakan yang terasa aneh, “bunda mu ternyata meninggalkan warisan.”
Ashley mengangkat kepala sedikit, “Warisan?”
“Iya,” jawabnya sambil terkekeh kecil
"Tapi kamu masih terlalu kecil untuk memegangnya. Lagipula… klan vampir perempuan memang tak layak menerima warisan kekuatan begitu saja. Bisa-bisa kamu jadi manja dan lemah."
Ashley menggigit bibirnya sendiri.
Kalimat itu lagi.
Selalu begitu.
Selalu tentang klan vampir perempuan yang dianggap harus kuat, harus tahan, tidak boleh mengeluh. Seolah-olah ashley ini bukan anak kecil yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan. Seolah-olah dirinya ini... cuma alat.
“Saya saja yang akan memegang warisannya dulu,” lanjutnya.
“Sampai kamu dewasa. Tapi jangan berharap banyak ya. Dunia ini keras, Ash. Anak sepertimu harus belajar mandiri dari sekarang.”
Ashley hanya bisa diam. Suara dalam kepala nya kembali berbisik
“Aku nggak pernah punya apa-apa. Bahkan warisan bunda pun akan dirampas oleh ayah.”
“Aku seperti bukan siapa-siapa…”
Hatinya bergetar. Ashley ingin marah.
"Urusan kekuatan mu, akan muncul dengan sendirinya" ucap ayah nya
Ashley menghela nafas, "kekuatan tidak bisa muncul jika tidak dibimbing"
✧
Malam pun tiba.
Udara jadi lebih dingin, menusuk kulit. Ashley berdiri di depan pintu, ragu-ragu, tangan nya sudah menggenggam kenop pintu.
Belum sempat ashley memutar kenop, suara berat ayah nya menahan.
“Mau ke mana?”
Langkah nya terhenti. Ashley mengangkat wajah, meski mata nya tak bisa menatapnya.
“Mau ke makam Bunda,” jawab nya pelan.
Ada jeda. Lalu terdengar tawa kecil dari ayah nya.
“Ke makam? Malam-malam begini?” Ia mencibir.
“Apa kamu pikir arwah bundamu bakal datang menuntun mu?”
Ashley tak menjawab.
Padahal ashley hanya ingin pergi sejenak… menyapa bunda di makamnya. Meski tak tau di mana batu nisannya berdiri, tapi ia hafal jumlah langkah dari rumah ke tempat itu.
Setiap jengkal jalan menuju sana sudah tertanam di ingatan nya.
“Jangan pergi. Klan penyihir lagi berkeliaran, mereka sedang cari mangsa. Dan kamu..”
Nada nya seakan mengejek, "mudah sekali dimakan kalau mereka tau kamu buta.”
Hah! Alasan klasik!
Aku tau kalau ayah tak mau aku kemanapun agar bisa dijadikan pembantu dirumah, batin ashley menahan rasa kesal
Ia tak sudi.
Tak mau dirinya dianggap pembantu, apalagi atasan nya adalah ayah nya yang egois.
Cih!
Tak ingin berdebat malam ini. Tubuh nya sudah terlalu letih, pikiran nya terlalu bising. Jadi ashley mengangguk kecil dan berbalik kembali ke dalam rumah.
"Menurut lah, jangan seperti bunda mu ya" ujar ayah nya tapi nada nya terdengar menjengkelkan ditelinga ashley.
Ayah nya duduk di sofa, menyalakan televisi. Suara-suara berisik dari acara yang tak dipahami mengisi ruang tamu.
Ashley berjalan ke dapur, tubuh nya menggigil karena belum meminum darah sejak pagi. Tenggorokan nya kering, tubuh nya terasa lemas.
Aku harus minum, batin nya
Ia membuka pintu lemari es, berharap menemukan botol darah yang biasa bunda nya simpan dulu. Tapi baru separuh pintu terbuka, tiba-tiba tangan ayah menutupnya dengan keras.
BRAKK!
Ashley tersentak.
Tangan ayah nya mendorong pintu lemari es dengan paksa, menahan nya mengakses.
“Stok tinggal sedikit,”
“Kamu harus hemat.”
Ashley mengerutkan kening. “Tapi aku belum minum dari pagi… Aku haus, Yah.”
“Kamu nggak akan mati kalau sehari nggak minum. Jangan manja!” bentak ayahnya.
Hati ashley kembali merosot. Sekali lagi, ia harus menelan haus nya sendiri.
Ashley mengangguk pelan dan mundur, "aku mau tidur saja"
Ashley berjalan kembali ke kamar. Perlahan. Menghitung langkah dengan ujung kaki nya. Menghindari kursi kayu tua yang selalu diletakkan sembarangan.
Huh! Padahal mau minum sedikit saja bahkan setetes pun tak apa, batin nya
Sesampainya di kamar, ashley menutup pintu. Mengunci diri nya sendiri dalam gelap yang tak pernah berubah. Lalu terduduk di sudut tempat tidur.
Sambil menunduk, ashley berbisik dalam hati:
“Bunda… seandainya aku bisa melihat wajahmu… mungkin aku masih bisa percaya kalau dunia ini layak untuk kujalani…”
Helaan nafas nya terdengar lagi tapi kali ini ia benar - benar kecewa.
Dirinya merasa...
Ayahnya akan memperbudak dirinya dirumah, menyiksanya atau bahkan menegaskannya terus menerus.
Hah! Pasrah saja.
Sekarang dirinya butuh darah! Ia haus, sangat haus!
Ia bangkit, tangannya perlahan meraba dinding. Menyusuri jalan ke arah jendela yang tak pernah ia buka sejak kepergian bunda. Saat jemarinya menyentuh bingkai jendelanya, ia mendongak, meski tak melihat apa pun. Hanya merasakan angin dingin dari celah-celah yang mulai terbuka.
"Haruskah aku melompat?"
Ashley tak tahu apakah jendela ini tinggi atau tidak. Tapi seingatnya… tidak terlalu tinggi. Atau mungkin ashley hanya berharap begitu.
Aku harus pergi dari sini dan mencari minuman, batinnya
Langkah kakinya perlahan naik ke ambang jendela, dan dunia di luar terasa sunyi… seolah ikut menahan nafas bersamaku.
"Wahai pencipta ku, aku tak mau mati lebih dulu"
"tapi jika aku mati, temukan lah dengan bunda ku"
Tanpa menghitung.
Tak berpikir dua kali.
Ashley melompat.
Tubuhnya terhempas ke bawah dengan cepat, udara memukul wajahnya. Dan…
BRAKK!
"Astaga! Gila kau ya, lompat dari lantai dua!" suara seorang laki-laki menggema.
Ashley terkejut. Tersentak. Nafasnya berburu.
Lantai dua?
Astaga, ashley lupa rumahnya punya dua lantai. Ashley benar-benar lupa!
Cepat cepat ashley bangkit, rasa panik menggerayangi tubuhku. “Ma-maaf… maaf… aku nggak tau… aku nggak sengaja…”
Tak ada jawaban.
Keheningan itu mencubit lehernya, menimbulkan
rasa ngeri. Orang itu… tak bersuara.
Jantung ashley berdetak kencang.
Ashley bisa merasakan napasnya. Berat. Dalam. Terlalu sepi untuk disebut manusia biasa.
"Jangan-jangan… dia dari klan Demon?!"