Diruangan yang gelap
Ashley duduk membatu di pojok tempat tidur. Masih mengenang kejadian tadi—saat Brylian, anggota klan Demon, mengantarkannya pulang tanpa kata, hanya diam.
"tapi dia tidak seseram yang diceritakan" ucap ashley dalam keheningan.
Ya... Bunda dan Ayahnya selalu bilang klan Demon itu kejam, tak punya hati, haus darah. Tapi Bryan... tidak seperti itu.
Atau mungkin... memang belum dimulai?
Pikiran buruk mulai menghantui.
Bagaimana kalau dia menuntut ganti rugi? Atau menerornya diam-diam?
Apa dia baik-baik saja sesaat lalu menyampaikan kemacetan?
Apa dia tahu ashley lemah?
Apa dia akan menjadikan Ashley target selanjutnya?
Diam, Ashley. Cukup.
"Oh ayolah otak! Bekerjalah samalah!"
"Dia tak mungkin melakukan itu"
"Tapi jika itu mungkin terjadi bagaimana ya? Aku tak punya uang lagi untuk ganti rugi"
"Apa yang diganti dengan nyawaku?"
Ashley menghela napas panjang dan memaksakan tubuhnya untuk tiduran. Kepalanya bersandar di bantal yang dingin.
“Ayolah ashley gizella, waktunya tidur dan lupakan itu” ucap ashley menenangkan dirinya
Tapi baru beberapa detik setelah ashley mata memejamkan mata, pintu kamar terbuka.
Langkah kaki masuk, pelan tapi berat. Aroma yang Ashley kenal memenuhi udara. Lalu satu jari dingin mendekat ke hidungnya, menelusuri napasnya.
“Kenapa belum tidur juga?” suara datar itu...
Ah! pernyataan ayahnya.
Ia tahu ashley belum tidur… karena hembusan napasnya tak sama ketika tidur.
Ayahnya terlalu hafal. Terlalu memperhatikan.
“Aku sedang berusaha, Ayah,” jawab ashley
Ayahnya mendecak. Tangannya mencengkeram lengan ashley kasar. “Turun.”
“Ayah, kita akan kemana?” tanya ashley tapi tak digubris oleh ayahnya
"Ayah, pelan - pelan ashley tak bisa cepat" keluh ashley
"Diam!"
Tak ada penjelasannya. Hanya perintah.
Ayahnya menyeretnya ke lantai satu, masuk ke dapur yang dingin dan gelap. Tangan kasarnya menarik tangan ashley ke arah wastafel. Jemari ashley diarahkan menyentuh tumpukan piring-piring kotor.
“Bersihkan,”
Ashley mengangguk kecil. Jangan protes.
Padahal tubuh ashley lelah. Mata nya berat. Jam sudah lewat tengah malam.
Jam rawan... Karena klan Warewolf biasa berkeliaran.
Tapi Ayah sudah melangkah pergi. Meninggalkan ashley sendirian di dapur.
"Hah! Menyebalkan" dengus ashley
Dengan tangan gemetar, ashley mulai mencuci.
Satu piring.
Dua piring.
Tiga.
✧
Sepuluh menit berlalu. Baru setengah selesai.
Tiba-tiba...
Hening.
Lebih hening dari sebelumnya.
Terasa seperti...terlalu hening.
Udara jadi berat. dingin. Seperti ada yang mengawasi. Mata nya memang tak bisa dilihat, tapi kulitnya bisa dirasakan.
Ashley menoleh ke kanan... ke kiri... kosong.
Itu hanya perasaanmu, Ash. Hanya perasaan, batinnya berusaha tenang
Ashley menarik napas dan kembali fokus.
Tapi kemudian…
“Hai, vampir manis...”
Suara laki-laki.
Berat.
Terlalu dekat.
Terlalu pelan.
"AKHHH! PERGI!!"
Ayahnya muncul tiba-tiba dan menampar bahu Ashley dengan cukup keras, “Apa-apaan kamu berteriak seperti itu?”
Ashley masih berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah, jantungnya berdetak tak karuan.
“Ada…seseorang terjadi…di sana…” suaranya gemetar.
Ia mengangkat tangan dan mengarahkan lurus ke arah kegelapan di sudut dapur.
Ayahnya memicingkan mata, lalu menatap ke arah yang ditunjuk.
Kosong.
Hening.
Tak ada siapa siapa
"Jangan main-main, Ashley! Kamu pikir jam segini lucu melakukan seperti itu?" bentak ayahnya.
“Tapi aku tidak—”
“Cukup, hentikan omongan kosongmu ashley!” potong ayahnya lalu misalkan badan dan berjalan kembali ke dalam ruangan.
Pintu kamar atas tertutup dengan bunyi keras, menyisakan Ashley seorang diri lagi di dapur.
"Hah? Padahal tadi ada orang yang berbisik"
Ashley mengerutkan keningnya, "apa itu aku yang salah dengar?"
"Ais! Sudahlah mungkin itu salah dengar saja ya!"
Ashley menghela napas panjang, menatap cucian yang tinggal sedikit. Ia tak mau memikirkan suara bisikan tadi.
Mungkin hanya halusinasi.
Mungkin karena lelah.
Mungkin...
Ashley kembali mencuci sisa piring tanpa berkata apa pun lag.
✧
Beberapa menit kemudian.
Setelah selesai, ia menggantungkan kain lap basah dan mematikan kran. Tapi ia tak langsung kembali ke kamar.
Sebaliknya, ia berjalan ke ruang tamu dan menjatuhkan diri di atas sofa. Kakinya dilipat, kedua tangannya meremas bantal kecil yang tergeletak. Ia membutuhkan waktu untuk menstabilkan napas, tenaga, dan pikiran yang terkuras.
Hanya menghitung jam tua yang terdengar di sudut ruangan.
"Mengantuk sekali, pasti sudah malam sekali" ucap ashley memeluk tubuhnya
"Sekali lagi hari ini"
“Malas sekali naik tangga, aku tidur disini saja deh” ucapnya
Ashley pun merebahkan tubuhnya di sofa, membatasi posisi nya dan mencoba tidur.
"Ashley! Nyalakan lampu kamar ini! Sekarang juga!"
Ashley tersentak dari duduknya.
Padam listrik, pikirnya cepat.
Tanpa membuang waktu, Ashley bangkit dan berlari kecil ke pintu belakang.
Saat dibuka, angin dingin langsung menerpa wajahnya. Tetesan hujan turun deras, menghantam tanah dan genting seperti irama gendang perang.
"Hujan bagaimana ya"
"Hujannya deras sekali, apa aku trobos saja?"
"Aih! Trobos sajalah"
Ashley menutup pintu perlahan, lalu mulai meraba dinding luar rumahnya untuk menuju ke bagian belakang.
Di situlah saklar besar pengontrol listrik rumah berada.
Tangan kirinya menempel di tembok, sementara kaki melangkah hati-hati di tanah licin yang nyaris membuatnya terpeleset beberapa kali. Bajunya mulai basah, rambutnya menempel di wajah.
"Aaaa ini sulit"
"Benar-benar keterlaluan!"
"Ehh licin licin aduh nih tanah nya menyebalkan sekali" dumel ashley
Sementara itu di dalam rumah, suara langkah kaki ayah menggema dari tangga.
Dengan emosi yang membuncah, ia melangkah turun, "Mana sih anak itu? Disuruh nyalain lampu kamar malah hilang!"
"ASHLEY GIZELLA!!" panggil ayah nya hingga menggema seisi rumah itu.
Ia menoleh ke ruang tamu, kosong.
Dapur? Juga kosong.
Lalu dia berhenti di ambang pintu belakang, yang setengah terbuka.
"Tidak mungkin keluar, kan?"
Ayahnya memeriksa kalender dari kencan, tanggal hitam sangat pekat, berbeda dari warna lain nya.
"Oh astaga, ASHLEY!!"
Kembali ke ashley...
Ashley akhirnya sampai di ujung belakang rumah, di mana kotak panel listrik tertempel di dinding batu yang dingin dan lembap. Jari-jarinya bergetar saat meraba-raba permukaan kotak itu, mencari tuas besar yang biasa digunakan untuk menghidupkan aliran listrik.
"Mana sih?!" Geram ashley
Baru saja jemarinya menyentuh tuas itu—
"Mmhh!!"
Tiba - tiba tangan kekar menutup rapat mulut dari belakang.
Mata Ashley membelalak.
Ia mencoba berteriak, menggigit, menendang, tapi tubuhnya terasa semakin lemas seiring dengan tekanan yang diberikan oleh tangan itu.
Tangannya menepuk - nepuk, namun tak mampu menggapai apa pun. Ia menggeliat seperti ikan yang terangkat dari udara, namun pelukannya terlalu kuat.
"Mmmh!!" suara nya tertahan keluar dari tenggorokannya.
Nafasnya tersengal.
Jantungnya berdetak cepat… lalu melambat.
Matanya berkunang-kunang.
Telinganya hanya mendengar suara hujan bercampur desahan lemah dari dirinya sendiri.
Tenaganya… seperti dihisap.
Ashley terjatuh dalam ketidaksadaran, tubuhnya terkulai dalam pelukan sosok asing yang masih berdiri tegak di bawah hujan malam.