Pagi berganti siang, siang beringsut ke senja, dan malam kembali menjemput. Hari-hariku bergulir dalam siklus tanpa warna, diselimuti tirai tipis antara nyata dan tidak. Satu-satunya cahaya, satu-satunya percakapan, terjadi di halaman buku catatan biru tua itu. Jurnal itu kini menjadi duniaku, ruang di mana Adit masih hidup, masih berbisik melintasi batas yang tak terlihat.
Setelah tangisanku semalam, Adit menuliskan balasan yang menenangkan.
Lil, jangan bicara seperti itu. Impian kita tidak berakhir. Aku masih di sini. Dan kamu juga. Kamu adalah Lily yang kuat, ingat? Yang paling berani dari kita berdua.
Kata-kata itu seolah menampar sekaligus memelukku. Kuat? Berani? Aku merasa seperti daun kering yang siap diterbangkan angin. Aku mencoba menuliskan keraguanku, betapa sulitnya mempercayai kekuatan itu saat ini. Namun, responsnya tidak lagi secepat sebelumnya. Ada jeda panjang, membuatku gelisah. Seolah Adit juga berjuang, atau ada jarak yang membentang di antara kami, lebih dari sekadar kematian.
Saat kembali ke sekolah keesokan harinya, aku mencoba menghindar dari keramaian, menundukkan kepala, seolah bisa menghilang ke dalam bayang-bayang. Aku mendengar bisikan-bisikan, tatapan-tatapan yang menusuk, seolah aku adalah tontonan yang tak pantas. Maya tidak lagi mencoba mendekat. Mungkin ia sudah lelah, atau ia marah. Aku tidak tahu. Aku hanya ingin menghindari konfrontasi.
Saat jam makan siang, aku memilih duduk di sudut kantin yang paling sepi. Piring makanan di depanku terasa hambar, tak tersentuh. Aku merindukan tawa Adit, leluconnya yang bisa membuat makanan kantin yang sama hambar ini terasa seperti hidangan bintang lima. Kenangan itu datang dan pergi, seperti gelombang pasang yang mengikis tebing.
"Kursi ini kosong?"
Suara itu membuatku tersentak. Aku mengangkat kepala. Mayadi. Ia berdiri di depanku, sepiring nasi ayam di tangannya, matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Dulu, Mayadi dan Adit punya semacam rivalitas persahabatan, terutama di bidang musik. Mayadi juga punya bakat, tapi gayanya lebih blak-blakan, terkadang kasar. Dan entah kenapa, setiap kali ia di dekatku, selalu ada ketegangan yang tak bisa kujelaskan. Aku tidak pernah benar-benar akrab dengannya, meskipun kami sering bertemu karena Adit.
"Kenapa kamu di sini?" tanyaku, suaraku terdengar lebih tajam dari yang kuinginkan.
Mayadi mengangkat bahu, sorot matanya mengarah ke kursi-kursi lain yang ramai. "Mana lagi? Ini satu-satunya tempat yang agak tenang. Lagipula, kantin bukan tempat favoritku sejak... ya, tahu sendiri." Ia menjatuhkan diri di kursi seberangku, mendesah berat. "Adit selalu mengeluhkan makanan kantin, tapi dia selalu habis duluan." Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang terasa pahit.
Aku menatapnya. Jarang sekali Mayadi menunjukkan sisi melankolis seperti ini. Ia selalu tampak tangguh, acuh tak acuh. Kepergian Adit rupanya juga mengukir luka yang dalam pada dirinya.
"Kamu... kenapa nggak ke pemakaman?" Mayadi bertanya, suaranya pelan, menusuk langsung ke titik yang paling sakit. Ia tidak menatapku, fokus mengaduk-aduk nasinya.
Dadaku sesak. Aku menelan ludah, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba ingin tumpah. "Aku... aku tidak bisa."
"Nggak bisa? Atau nggak mau?" Ada nada sinis samar di suaranya, meskipun ia masih tidak menatapku. "Semua orang di sana, Lil. Maya pingsan. Keluarga Adit... mereka hancur. Dan kamu? Kamu cuma menghilang."
Kata-katanya seperti pukulan. Aku tahu itu semua benar. Aku merasa begitu egois. "Aku... aku minta maaf," bisikku, air mataku mulai menggenang. "Aku tidak bisa."
Mayadi berhenti mengaduk nasinya. Ia mengangkat kepala, menatap lurus ke mataku. Mata hitamnya, yang biasanya dipenuhi rasa penasaran atau canda, kini dipenuhi kesedihan yang mendalam, kesedihan yang sama yang kurasakan. "Aku nggak menyalahkanmu," katanya, suaranya lebih lembut dari yang kuduga. "Aku cuma... nggak ngerti."
Ada jeda. Kami berdua terdiam, suara bising kantin seolah memudar. Hanya ada kami berdua, dua jiwa yang terluka, duduk di bawah bayangan duka yang sama.
"Aku... aku juga nggak tahu apa yang terjadi," kataku, membalas tatapannya. Aku ingin menceritakan semuanya. Tentang jurnal, tentang Adit. Tapi rahasia itu terlalu besar, terlalu rapuh.
Mayadi menghela napas. Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya nyaris berbisik. "Adit... dia itu ya, orangnya selalu punya rencana. Selalu ada langkah selanjutnya. Dia pernah cerita, dia bilang kamu itu kompasnya dia. Yang bisa ngasih dia arah kalau dia lagi bingung." Ia tertawa getir. "Lucu ya, sekarang kompasnya hilang."
Jantungku mencelos. Kompas. Itu yang kubisikkan pada diriku sendiri. Bahwa Adit adalah kompas dan petaku. Bagaimana Mayadi bisa tahu? Adit pernah bercerita padanya?
"Dia sering cerita tentang kamu, Lil," Mayadi melanjutkan, seolah membaca pikiranku. "Impian kalian. Harvard. Kalian berdua itu pasangan yang aneh, tapi pas. Dia selalu bilang, dia nggak akan bisa sejauh ini tanpa kamu. Kamu yang bikin dia semangat."
Kata-kata itu menyentuh hatiku yang paling dalam. Aku tidak tahu Adit berbicara sebanyak itu tentangku pada Mayadi. Aku tidak tahu ia melihatku sebagai inspirasi. Selama ini, aku selalu merasa Adit adalah inspirasiku.
"Aku... aku nggak tahu harus bilang apa," bisikku.
Mayadi mengangguk. "Ya. Kita semua begitu. Aku nggak tahu harus bilang apa. Nggak tahu harus ngapain." Ia menatap piringnya lagi, lalu mendorongnya sedikit menjauh. "Nggak nafsu makan juga."
Kami duduk dalam keheningan yang nyaman, untuk pertama kalinya. Keheningan yang dibagi antara dua orang yang memahami rasa sakit yang sama.
----------------------------------
Sepulang sekolah, aku langsung menuju kamar. Buku catatan itu menunggu. Aku membuka halaman terakhir, tempat percakapanku dengan Adit terukir.
Kehilanganmu terasa sulit, Adit. Melanjutkan perjuangan ini.. membuatku merasa tidak berdaya, karena kau tak lagi ada bersamaku. Aku sendirian.
Di bawahnya, tulisan Adit muncul. Kali ini, tidak hanya kata-kata. Ada sedikit sketsa samar, seperti garis-garis peta yang belum sempurna.
Lily, ingat apa yang selalu kubilang? Peta itu hanya panduan. Jiwa yang hilang tidak perlu peta yang sempurna. Dia hanya perlu langkah yang berani. Jangan lihat masa lalu yang hilang. Lihatlah jejak-jejak yang tertinggal. Mereka bisa jadi petunjuk baru. Kamu tidak sendirian. Cari teman. Mungkin ada seseorang yang melihat dunia dengan cara berbeda.
Aku menatap sketsa samar itu. Petunjuk baru? Mencari teman? Mayadi. Mayadi melihat dunia dengan cara yang berbeda. Aku merasa aneh. Apakah Adit... mengarahkan aku pada Mayadi? Atau ini hanya kebetulan?
Aku membalik halaman ke halaman baru. Kupegang pena, merasakan bobotnya di tanganku. Rasa sakit masih ada, tapi kini ada sedikit rasa ingin tahu yang samar, seperti percikan api kecil di tengah kegelapan. Aku tahu personal statement itu harus diselesaikan. Deadline November akan datang. Tapi bagaimana aku bisa menulisnya jika hatiku dan pikiranku masih terpecah?
(Flashback)
Aku dan Adit sedang berjalan-jalan di taman kampus Harvard, bulan Desember lalu. Salju tipis menyelimuti pepohonan, membuat kampus itu tampak seperti negeri dongeng. Udara dingin menggigit kulit, tapi hatiku hangat, dipeluk oleh kegembiraan Adit yang baru saja diterima.
"Rasanya aneh ya, Lil," kata Adit, menunjuk ke arah perpustakaan. "Aku bakal kuliah di sini. Di Harvard. Impian kita."
"Bukan aneh, Dit. Ini keren. Ini nyata!" Aku mencubit lengannya. "Dan kamu pantas mendapatkannya."
"Kamu juga akan menyusul, Lil," ia tersenyum, lalu menunjuk ke arah bangku di bawah pohon oak besar yang daunnya sudah gugur. "Dulu, aku selalu berpikir masa depanku itu kayak bangku kosong di sana. Nggak tahu mau diisi apa. Tapi sekarang... sekarang ada kamu. Ada kita."
Kami duduk di bangku dingin itu, saling berpegangan tangan. "Bagaimana kalau nanti kita bikin playlist musik yang isinya lagu-lagu tentang harapan dan masa depan?" usulku.
Adit mengangguk, matanya berbinar. "Ide bagus! Kita harus punya soundtrack buat perjalanan kita. Dan kamu harus menulis liriknya."
"Tentu saja." Aku tertawa. "Tapi isinya nggak boleh cengeng. Harus yang bikin semangat."
"Setuju!" Ia mengusap pipiku. "Aku nggak sabar nungguin kamu di sini, Lil. Kita bakal bikin banyak cerita di sini."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke kamar, ke dinginnya kenyataan. Adit sudah di Harvard. Mungkin ia sudah melihat masa depanku, masa depan yang tak pernah bisa kami jalani bersama. Sketsa samar di jurnal itu, "petunjuk baru" itu... apakah ini tentang membiarkan Adit pergi, agar aku bisa menemukan jejakku sendiri?
Aku mengingat kembali momen saat bertemu Mayadi di kantin. Aku menyadari ada kesedihan yang dalam di matanya, tapi juga semacam kekuatan yang tersembunyi. Mungkin memang ada orang yang bisa melihat dunia dengan cara berbeda. Mungkin aku tidak sendirian.
Aku mengambil ponselku. Pesan-pesan dari Maya masih belum kubalas. Aku menghela napas. Besok, aku akan mencoba berbicara dengannya lagi. Dan mungkin... aku akan mencoba mencari tahu apa maksud Adit dengan "mencari teman" itu.
Aku membalik halaman. Jurnal itu masih terasa dingin, namun kini ada sentuhan halus, seperti bisikan angin di jari-jemariku. Tapi kini, ada sedikit cahaya di antara kata-kata. Sebuah harapan yang sangat rapuh, seperti kelopak bunga yang baru mekar di tengah badai.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"