Aku kembali ke sekolah, dikelilingi oleh hiruk pikuk yang terasa asing. Lorong-lorong ramai, tawa pecah dari kerumunan siswa, dan aroma parfum remaja berbaur dengan bau buku-buku lama. Semuanya terasa sama, namun tak satu pun terasa seperti dulu. Setiap langkahku terasa berat, seolah aku menyeret beban yang tak terlihat. Kepala-kepala menoleh sekilas ke arahku, bisikan-bisikan samar terangkai di udara, lalu kembali mengabaikan. Aku tahu mereka tahu. Mereka tahu tentang Adit. Dan mereka mungkin juga tahu bahwa aku tidak hadir di pemakamannya. Rasa bersalah itu menusuk, dingin, dan tajam.
Di kelas, aku mencoba fokus. Guru Sejarah, Pak Budi, bicara tentang revolusi dan perubahan. Kata-katanya hanya menjadi gumaman tak berarti di telingaku. Pikiranku melayang ke masa-masa lalu, ke saat Adit sedang duduk di sampingku dan tangannya melingkari bahuku saat kami membahas esai yang sama. Sekarang, tidak ada lagi sentuhan itu. Tidak ada lagi bisikan ide-ide gila yang hanya bisa ia keluarkan. Aku menatap jam dinding, berharap waktu bisa berputar lebih cepat, atau setidaknya melambat hingga aku bisa memahami semua ini.
Saat istirahat, aku berusaha menghindar. Aku tahu Maya akan mencariku. Aku tahu Mayadi mungkin juga ada di suatu tempat. Aku tidak siap. Aku hanya ingin pulang, membuka buku catatan itu, dan kembali berbicara dengan Adit. Hanya di sana, di antara tulisan-tulisan itu, aku merasa nyata. Aku merasa Adit masih ada. Sebuah rahasia yang mengerikan, namun juga satu-satunya sumber penghiburan yang kumiliki.
Namun, Maya menemukanku. Ia berdiri di dekat lokerku, wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan amarah yang samar. Matanya sembab, bekas air mata masih terlihat jelas. Ia juga berduka. Aku tahu itu. Tapi duka kami berbeda. Duka mereka adalah perpisahan. Dukaku adalah perpisahan yang tak pernah usai.
"Lily?" suaranya lembut, namun ada ketegasan di dalamnya. "Aku tahu kamu di sini. Kenapa kamu menghindariku?"
Aku menghela napas, menutup loker dengan keras, suara berdebamnya seolah memecah kekosongan di dalam diriku. "Hai, Maya." Aku tidak menatapnya, memilih untuk fokus pada buku-buku di tanganku, seolah hidupku bergantung pada mereka.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, penuh kepedihan yang kutahu juga ia rasakan.
Aku mengangguk kaku. "Seperti yang kamu lihat." Kata-kata itu terasa pahit di lidah. Bagaimana aku bisa baik-baik saja? Bagaimana bisa ada yang baik-baik saja setelah ini?
"Lily, sudah seminggu. Kamu tidak menjawab teleponku. Kamu tidak membalas pesanku. Kamu tidak datang ke pemakaman Adit," suaranya mulai meninggi, diselingi nada terluka dan putus asa. "Semua orang khawatir. Aku khawatir. Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu melakukan ini?"
Aku ingin berteriak. Ingin menjelaskan. Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa memberitahunya bahwa aku berbicara dengan Adit di buku catatan? Itu akan membuatnya mengira aku gila. Dan aku takut itu akan merusak jembatan tipis yang baru saja kubangun, satu-satunya penghubungku dengan dia.
"Aku... aku hanya butuh waktu, Maya," kataku, suaraku nyaris berbisik, tidak berani mengangkat kepala, takut ia akan melihat kehancuran di mataku. "Ini terlalu berat."
Maya terdiam sesaat. Aku bisa merasakan tatapannya yang menuntut jawaban, menuntut kebenaran yang tak bisa kuberikan. Lalu, aku merasakan tangannya meraih lenganku, menggenggamnya erat. Hangat. Sebuah kontak yang sudah lama tidak kurasakan, namun kini terasa seperti belenggu.
"Aku mengerti," bisiknya, suaranya kini penuh empati, melembut. "Tapi kamu tidak sendirian, Lil. Aku di sini. Mayadi juga. Kita semua merindukan Adit."
Aku tahu itu. Aku tahu mereka juga merindukannya. Tapi apa yang mereka rindukan berbeda dengan apa yang kurindukan. Mereka merindukan Adit yang sudah tiada, yang terbaring di tanah. Aku merindukan Adit yang masih "bersamaku", yang tulisan tangannya masih muncul di jurnal. Ada jurang yang memisahkan kami, dan aku tak tahu bagaimana menjembataninya.
Saat kami berdiri di sana, beberapa siswa mulai berlalu lalang, menatap kami dengan rasa ingin tahu. Aku merasa tidak nyaman. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian, terutama untuk hal seperti ini, untuk duka yang terasa begitu pribadi namun dihakimi oleh tatapan orang.
"Aku harus ke kelas," kataku, menarik lenganku perlahan. "Nanti kita bicara lagi, ya?"
Maya menghela napas, melepaskan genggamannya, seolah ia telah kalah dalam pertempuran. "Janji?"
"Janji." Aku berbalik, melangkah cepat, tanpa melihat ke belakang, membiarkan lorong yang ramai menelanku.
Setibanya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Menutup pintu, menguncinya, seolah ingin mengunci semua kekacauan di luar. Aku mengambil buku catatan biru tua itu dari bawah bantal. Setiap kali aku menyentuhnya, terasa sebuah denyutan halus di telapak tanganku, seolah buku itu memiliki denyut nadinya sendiri, detak jantung Adit yang berbisik.
Aku membalik halaman ke percakapan terakhir kami. Tulisan tanganku dan Adit terukir di sana, bersahutan, seolah mereka benar-benar berbicara, seolah Adit masih ada di sana, di sampingku. Mata Adit yang cokelat, senyumnya yang tipis, cara ia menyisir rambut dengan jemarinya saat berpikir—semua detail itu melintas di benakku, terasa begitu hidup, begitu nyata, seolah ia ada di sini, di sampingku. Aku menutup mataku, mencoba membayangkan momen-momen itu dengan jelas.
(Flashback)
Aku dan Adit berada di toko buku Pak Herman, toko buku tua yang pengap tapi penuh keajaiban. Debu menari-nari di sela cahaya yang masuk dari jendela. Adit tersenyum, menunjuk sebuah novel bersampul lusuh. "Lihat ini, Lil. Judulnya, 'Peta Jiwa yang Hilang'. Kedengarannya seperti kamu, kan?"
Aku tertawa, menyikut lengannya. "Apa maksudmu?"
"Kamu selalu mencari. Mencari makna, mencari inspirasi, mencari... diri sendiri," katanya, matanya berbinar. "Itu yang membuatmu jadi penulis yang hebat. Selalu ada yang ingin kamu gali."
"Kamu terlalu memujiku," jawabku, pipiku sedikit memerah.
"Tidak, aku serius. Itu salah satu hal yang paling kusukai darimu," bisiknya. "Keinginanmu untuk memahami dunia, dan yang paling penting, memahami dirimu sendiri." Ia meraih tanganku, jemarinya mengait erat. "Ingat, Lil, kamu adalah yang paling berani dari kita berdua. Kamu akan menemukan jalanmu, bahkan tanpa peta."
(Flashback Berakhir)
Aku membuka mata. Air mata mengalir deras di pipiku, asin dan panas. Adit selalu begitu. Selalu bisa melihat hal-hal dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak tahu. Ia selalu memberiku kekuatan, memberiku arah. Sekarang, dengan ia yang "pergi", bagaimana aku bisa membuat pilihan yang berani? Bagaimana aku bisa menemukan diri jika ia adalah petaku, dan petanya kini telah musnah?
Aku meraih pena lagi. Jantungku bergemuruh dalam kesepian.
Adit, aku tidak bisa. Aku tidak tahu bagaimana harus melangkah tanpamu. Aku merasa semua impian kita... semua itu... sudah berakhir. Bagaimana aku bisa menulis esai tentang 'menemukan diri' jika aku merasa kehilangan diriku sendiri?
Aku meletakkan pena. Ruangan terasa sunyi, hanya detak jantungku yang berpacu dan isak tangisku yang tertahan. Aku menunggu. Menunggu jawaban dari satu-satunya orang yang bisa memberiku petunjuk, satu-satunya yang masih bisa melihatku.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"