Langkah kakiku terasa lebih berat dari biasanya saat aku menyusuri koridor sekolah. Setiap langkah adalah perjuangan, seolah ada beban tak terlihat menekan bahuku. Kembali ke rutinitas harian terasa seperti memaksakan diri masuk ke dalam sepatu yang kekecilan. Aku mencoba mengabaikan tatapan-tatapan kasihan dan bisikan-bisikan samar yang masih mengikutiku itu. Mereka tidak tahu. Mereka tidak mengerti. Mereka hanya melihat Lily yang berduka, bukan Lily yang setiap malam berbicara dengan Adit di buku catatan, menempelkan telinga ke halaman kosong, menunggu goresan tinta muncul dari dimensi lain.
"Lily? Kamu sudah kembali?"
Suara itu datang dari belakangku, lembut namun menusuk. Bu Arini, guru pembimbing dan koordinator program beasiswa di sekolah. Aku memaksakan seulas senyum, berbalik. Senyumnya hangat, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Bu Arini adalah sosok yang kuhormati, ia yang pertama kali membangkitkan ambisiku untuk Harvard, jauh sebelum Adit datang ke dalam hidupku dengan impian yang lebih nyata. Ia yang selalu menantangku untuk keluar dari zona nyaman dan "menemukan diri" di luar negeri.
"Iya, Bu. Maaf baru bisa masuk," jawabku, suaraku sedikit serak. Aku merasa seperti pembohong ulung. Tidak ada yang tahu betapa hancurnya aku, betapa sulitnya berpura-pura baik-baik saja.
Bu Arini mengangguk. "Tidak apa-apa, Nak. Saya mengerti. Ini memang masa yang sulit. Tapi... bagaimana dengan aplikasi Harvard-mu?" Ia menatapku, tatapannya penuh arti. "Deadline Early Action semakin dekat. Saya tahu kamu dan Adit sudah merencanakannya dengan sangat matang."
Nama Adit yang keluar dari bibir Bu Arini seperti sengatan listrik. Seketika, senyumku luntur. Personal statement. Jurnal itu. Percakapan kami. Semuanya berputar di benakku, terasa seperti beban batu yang siap menghimpitku. Bagaimana aku bisa melanjutkan? Bagaimana aku bisa menulis tentang impian yang kini terasa hampa, tentang masa depan yang sudah dirancang untuk dua orang, kini hanya untuk satu?
"Saya... saya masih mengerjakannya, Bu," ujarku, berusaha terdengar meyakinkan. Tenggorokanku terasa kering. "Hanya... sedikit kesulitan di bagian personal statement-nya."
"Saya tahu itu tidak mudah, Lily," Bu Arini menghela napas, mengulurkan tangan, dan menepuk bahuku perlahan. Sentuhannya ringan, namun menyalurkan semacam kekuatan yang aku duga berasal dari pengalamannya membimbing banyak siswa. "Adit pasti sangat bangga denganmu. Dia selalu bilang, kamu adalah salah satu siswa paling berbakat yang pernah dia temui, Lily."
Mendengar Adit dipuji oleh Bu Arini membuat dadaku sesak. Rasa bangga bercampur duka yang mendalam. Adit memang melihat potensi dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak sadari. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali sisi terbaikku. Sekarang, cermin itu telah pecah, dan aku merasa kehilangan pantulannya.
"Saya tahu ada banyak hal di pikiranmu, Nak. Tapi jangan sampai impian besarmu ini ikut terhempas," lanjut Bu Arini, suaranya kini sedikit lebih tegas. "Harvard tidak menunggu. Kamu harus fokus. Apa ada yang bisa Ibu bantu? Mungkin kita bisa menjadwalkan sesi bimbingan setelah pulang sekolah hari ini?"
Aku ragu. Sesi bimbingan berarti aku harus menunjukkan progres, menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, bahwa aku bisa melanjutkan. Dan aku tidak yakin. Aku tidak yakin bisa menulis tentang "menemukan diri" ketika aku merasa begitu tersesat. Terlebih lagi, bagaimana jika aku harus menunjukkan draf yang berisi tulisan tangan Adit? Itu terlalu berisiko.
"Terima kasih, Bu," kataku, berusaha tersenyum tipis. "Tapi... saya pikir saya bisa mengatasinya sendiri. Mungkin saya hanya butuh waktu lebih banyak."
Bu Arini menatapku lekat. Ada tatapan curiga yang samar di matanya, seolah ia merasakan ada yang tak beres. Namun, ia hanya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu. Tapi jangan sungkan. Waktu terus berjalan, Lily."
Aku mengangguk, lalu bergegas pergi, membiarkan diriku tenggelam di antara keramaian siswa lain. Kata-kata "waktu terus berjalan" bergema di benakku, mengiringi setiap langkahku menuju kelas. Waktu. Kata itu terasa begitu asing sekarang. Bagiku, waktu seolah berhenti di hari Adit tiada. Namun dunia terus bergerak, menuntutku untuk ikut berlari, padahal kakiku serasa terikat rantai.
Jam pelajaran terasa lambat. Setiap detik adalah siksaan. Aku mengeluarkan buku catatan biru tua dari tas, menyembunyikannya di bawah buku pelajaran Sejarah. Aku membolak-balik halaman percakapanku dengan Adit.
Kamu tidak sendirian. Cari teman. Mungkin ada seseorang yang melihat dunia dengan cara berbeda.
Aku menatap tulisan Adit: Cari teman. Mungkin ada seseorang yang melihat dunia dengan cara berbeda. Mayadi. Aku memikirkannya kembali, apakah Adit mengacu pada Mayadi? Pria yang begitu blak-blakan, yang kemarin menyengatku dengan kata-kata tentang pemakaman Adit? Aku menghela napas. Pikiran itu terasa aneh. Mayadi.
Aku menyandarkan dagu di telapak tangan, mengamati Mayadi dari kejauhan. Ia duduk di barisan depan, sibuk mencoret-coret buku catatannya, wajahnya serius. Ia selalu begitu, punya dunianya sendiri. Adit pernah bercerita bahwa Mayadi juga punya ambisi besar di bidang musik, sama seperti dirinya. Mungkin itu yang Adit maksud. Seseorang yang melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, namun punya benang merah yang sama.
Aku ingat percakapanku dengan Mayadi di kantin kemarin. Ia menyuarakan kesedihan dan kebingungannya tentang kepergian Adit. Ia tidak menghakimiku sekeras yang kuduga, hanya seolah mencari pemahaman. Ada kesamaan dalam duka kami. Aku merasa sedikit terkejut dengan betapa jujurnya ia berbicara tentang Adit. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kulakukan dengan Maya, yang hanya bisa melihatku dalam kerapuhan.
Saat jam istirahat tiba, aku melihat Mayadi mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Aku mengambil keputusan. Mungkin ini saatnya aku mengikuti petunjuk Adit. Aku harus mencoba. Jika Adit mengatakan "cari teman", maka aku akan mencarinya. Jika ia mengatakan "pilihan yang berani", maka aku akan mencoba berani.
Aku menghampirinya, jantungku berdebar tak karuan. "Mayadi!" panggilku, suaraku sedikit lebih keras dari yang kuinginkan.
Ia menoleh, wajahnya menunjukkan sedikit keterkejutan melihatku. Sorot matanya yang gelap, biasanya tajam, kini sedikit melunak. "Lily? Ada apa?"
"Aku... aku hanya ingin tahu," kataku, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat, seolah setiap suku kata adalah permata langka yang harus diucapkan hati-hati. "Tadi siang di kantin... kamu bilang Adit pernah bilang aku kompasnya dia. Kamu juga bilang... dia nggak akan bisa sejauh ini tanpa aku."
Mayadi menatapku lekat. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang sama pahitnya dengan kemarin, namun kini terasa sedikit lebih tulus. "Dia memang bilang begitu. Kenapa? Kamu nggak percaya?"
"Aku... aku tidak tahu Adit melihatku seperti itu," bisikku, mataku terasa panas, air mata kembali menggenang. "Aku selalu merasa dia adalah kompas dan kekuatanku. Dialah yang menarikku ke Harvard, ke impian ini. Dia selalu yang berani melangkah lebih dulu."
Mayadi mendesah, helaan napas beratnya seolah membuang sebagian dari bebannya. Ia menyandarkan ranselnya di bahu, terlihat sedikit canggung. "Adit memang begitu. Dia bisa melihat hal-hal di orang lain yang bahkan orang itu sendiri nggak sadar. Dia selalu percaya sama kamu, Lily. Lebih dari siapapun." Ia menatapku, tatapannya kini lebih lembut, lebih terbuka. "Dan kalau kamu tanya, dia memang bangga banget sama kamu. Sampai detik terakhir."
Kata-kata "sampai detik terakhir" menusukku. Itu adalah pengingat pahit. Adit sudah tiada. Ia tidak ada di sini untuk melihatku berjuang, untuk merayakan impian yang mungkin tak akan pernah terwujud. Dadaku sesak, perih.
"Aku... aku merindukannya," kataku, suaraku pecah. Air mata mulai mengalir deras di pipiku. Aku tidak bisa menahannya lagi. Kehancuran itu terasa begitu nyata, begitu mendalam.
Mayadi terdiam, menatapku dengan sorot mata yang penuh pengertian, tanpa penghakiman. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangguk pelan. Lalu, dengan gerakan yang tak terduga, ia mengangkat tangannya dan menepuk bahuku perlahan, sama seperti yang sering dilakukan Adit. Sebuah sentuhan yang asing namun familiar, membawa sedikit kehangatan ke dalam kedinginan hatiku.
"Aku tahu," bisiknya, suaranya serak, penuh duka yang sama. "Aku juga, Lil. Aku juga."
Kami berdiri di sana, di tengah koridor yang mulai sepi, dua jiwa yang berduka, berbagi kesedihan yang tak terucapkan. Untuk sesaat, aku merasa tidak sendirian. Ada keheningan yang menenangkan di antara kami. Mungkin Adit benar. Mungkin ada "teman" yang bisa melihat dunia dengan cara berbeda, yang bisa berbagi beban ini. Dan mungkin, hanya mungkin, di situlah petunjuk baru untuk personal statement-ku, untuk "menemukan diri" ku yang baru, bisa ditemukan. Dan kini, ada rasa ingin tahu yang baru. Rasa ingin tahu tentang Mayadi, tentang apa yang bisa kuceritakan di sana, tentang bagian dari diriku yang mungkin hanya bisa ditemukan melalui orang lain.
--------------------------
Sepulang sekolah, aku langsung menuju kamar. Buku catatan itu menunggu. Aku membuka halaman terakhir, tempat percakapanku dengan Adit terukir.
(Flashback)
Itu adalah minggu pertamaku di SMA, kelas 10. Aku baru pindah kota, merasa canggung dan sendirian. Di kelas Biologi, aku kesulitan dengan sebuah rumus yang rumit. Adit, siswa kelas 11 yang duduk di barisan depan, menoleh padaku dengan senyum tipis.
"Butuh bantuan, anak baru?" tanyanya, matanya yang cokelat berbinar geli. "Rumus itu memang agak... membingungkan. Tapi sebenarnya sederhana."
Aku menunduk malu. "Aku... tidak mengerti."
Adit melangkah ke mejaku, mengeluarkan pensil dan buku catatan. Ia menuliskan rumus itu dengan cepat, menambahkan sketsa lucu di sampingnya untuk mempermudah pemahaman. "Lihat, kalau kamu bayangkan ini seperti seekor katak melompat ke lily pad..."
Aku tertawa. Itu pertama kalinya aku tertawa lepas di sekolah baru. Ia tidak hanya membantuku memahami rumus, tapi juga membuatku merasa nyaman. Setelah itu, Adit sering mampir ke mejaku, sekadar menyapa atau memberikan tips kecil. Ia selalu memiliki cara untuk melihat di balik cangkang canggungku.
Suatu sore, aku melihatnya di perpustakaan, membaca buku tentang filsafat. Aku terkejut, mengingat betapa ia selalu terlihat sebagai siswa yang berorientasi sains.
"Kamu suka membaca buku-buku seperti ini?" tanyaku, memberanikan diri mendekat.
Adit tersenyum, menutup bukunya. "Ini tentang mencari makna hidup, Lil. Mencari tahu siapa kita. Aku tahu kamu juga suka hal-hal yang dalam." Ia menunjuk ke tumpukan novel sastra yang kubawa. "Kita ini sama. Jiwa-jiwa yang ingin menemukan diri, meskipun kadang kita sendiri tidak tahu apa yang kita cari."
Sejak hari itu, ia menjadi teman pertamaku di sekolah baru, seseorang yang bisa kuceritakan segalanya. Ia selalu bisa melihat hal-hal dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak tahu. Ia adalah pendukung terbesarku, cermin yang memantulkan kembali sisi terbaikku. Aku mengenang bagaimana ia selalu mendorongku untuk menulis, untuk mengekspresikan diri, bahkan sebelum impian Harvard ini muncul. "Tulisanmu itu punya jiwa, Lil," katanya suatu kali. "Kamu harus menunjukkannya ke dunia."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke kamar, ke dinginnya kenyataan, namun dengan hati yang sedikit lebih hangat. Ponselku berdenting, tanda pesan masuk. Aku mengambil ponselku. Pesan baru dari Maya. Aku menghela napas. Aku lupa untuk menemui Maya di sekolah tadi. Besok, janji, aku akan temui Maya. Biarlah hari ini aku memberanikan diri, mencoba kembali membuka diri dengan Mayadi dulu.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"