Malam itu, Soya tidak berani keluar kamar sama sekali. Ia hanya menemani Nino di kamar, membantunya mengerjakan tugas sambil menyelesaikan miliknya sendiri, dan baru makan malam saat kedua orang tuanya telah beristirahat di kamar lagi. Tak ada yang repot-repot mengajaknya bicara selain Nino, yang selalu merengek tiap nomor soal agar Soya saja yang mengerjakannya.
Melalui grup percakapan di LINE, keempat kawannya mencoba meyakinkan Soya bahwa semuanya bakal baik-baik saja. Cewek itu juga tidak tega menghancurkan semangat mereka dengan mengatakan bahwa tidak mudah meluluhkan hati sang ayah.
Namun, Soya sama sekali tidak siap akan badai yang bergelung mendekat.
Sebab, keesokan paginya, Soni mengantar Soya ke SMA seperti biasa, tetapi ada yang berbeda kali ini. Alih-alih mengemudikan mobilnya menjauh setelah Soya turun, Soni ikutan masuk melewati gerbang.
Soya kalang kabut. “Papa ngapain?” Ayahnya bahkan tidak mengajaknya bicara sama sekali sejak kemarin, jadi kenapa tiba-tiba?!
“Papa mau bertemu dengan wali kelasmu,” kata Soni tegas. “Kemarin Papa sudah menghubungi Bu Oris, minta waktunya untuk mengobrol hari ini. Papa mau bicarakan soal ‘tugas’ yang ngawur itu.”
Saat ayahnya terus berjalan dengan langkah lebar, Soya membeku di tempat. Mulutnya tersingkap, walau tak ada suara yang keluar.
Oh, tidak. Kenapa buntutnya jadi panjang begini?
Sayangnya, seolah semesta tidak mendukung Soya untuk menghentikan sang ayah (lagi pula, memangnya ia berani?) bel tanda dimulainya kegiatan sekolah telah berbunyi. Para murid bergegas mempersiapkan diri untuk upacara tiap Senin.
Sosok Soni pun telah lenyap di antara lautan murid. Dengan pasrah, Soya mempercepat langkah menuju kelas. Sekujur tubuhnya terasa remang. Ia tak tahu apa yang bakal ayahnya bicarakan dengan wali kelasnya. Apakah akan ketahuan jika ini berujung pada Sastra?
Walau sang guru juga sudah meminta Soya agar jujur, tetapi cewek itu menolak mengakuinya. Mungkin sampai orang tuanya nanti memaksa. Hati nuraninya berkata bahwa ini bukan langkah yang tepat, meski ia juga tidak tahu apa yang benar-benar tepat. Soya ingin menangis lagi dan lagi. Terlebih-lebih saat ia bertemu Daru dan Nova yang sedang mengobrol di bangkunya.
“Nah, ini dia!” Nova berseru saat melihat Soya masuk ke kelas, sementara kawan-kawan mereka yang lain mulai beranjak sambil mengenakan topi dan mengencangkan sabuk. “Kirain kamu nggak bakal masuk sekolah!”
Disapa seperti itu, raut Soya berubah muram. Air mata menggenang di pelupuknya.
“Loh, loh? Kenapa?” Daru ikutan berdiri.
Soya hanya menggeleng. Meski begitu, saat Nova mendekatinya, ia tidak berpikir panjang untuk membenamkan wajahnya di pundak cewek itu dan menangis sesenggukan di sana.
Hari itu, Soya dipusingkan dengan banyak hal. Tidak cukup dengan ulangan mendadak dari mata pelajaran Antropologi—ia bahkan lupa kalau ada ulangan, dan tidak sempat menghafal apapun karena otaknya terasa penuh—Soya juga dihantam dengan sindiran guru Bahasa Inggris karena salah mengartikan past tense dari ‘berdebat’ menjadi ‘argued’ bukannya ‘argumentated’.
Ia juga menghabiskan tiap menit merasa tegang, menebak-nebak berapa lama ayahnya berada di sekolah. Saat jam istirahat pertama, Soya diam-diam mengintip keluar pagar untuk mengecek apakah mobil ayahnya masih ada. Tidak ada. Namun, bukannya bertambah lega, Soya makin kepikiran apa hasil obrolan sang ayah dengan Bu Oris.
Walau Daru dan Nova bergantian menghiburnya bahwa ini tidak seburuk ketakutan Soya, cewek itu masih belum bisa meredam rasa takut dan bersalah yang menusuk-nusuk kulitnya, membuat Soya tidak bisa duduk dengan tenang. Kakinya akan mengetuk-ngetuk, jarinya akan meremas apa saja yang ada di atas meja, dan giginya menggigit-gigit bibir hingga terkelupas sedikit.
Pada akhirnya, tak ada panggilan sama sekali dari Bu Oris maupun pihak konseling.
Namun, badai justru menghampiri saat Yasmin tahu-tahu muncul di luar pagar sekolah saat jam pulang. Soya terbengong-bengong. Ia menghampiri ibunya dengan cemas.
“Mama ngapain di sini?” Menjemputnya? Tumben Terakhir kali Yasmin menjemputnya dari sekolah adalah saat sekolah dasar dulu, sebelum Nino lahir.
Yasmin, yang mula-mula memasang senyum palsu pada orang-orang yang melewatinya, kini menatap Soya dengan wajah memerah padam.
“Mama jemput kamu, karena disuruh Papa,” jawabnya, membuktikan dugaan Soya, walau sepertinya bukan itu alasan beliau marah.
“Tadi Mama sekalian ke tempat bimbel sambil nunggu kamu keluar, mau nanya program kelas dua belas, tapi ….”
Jantung sang putri hampir meloncat keluar.
“Soya.” Amarah yang membakar wajah Yasmin tak bisa disiram lagi, bahkan ketika lebih banyak murid yang melintas dan mencuri pandang ke arah mereka. “Kenapa nama kamu nggak terdaftar di sana!?”
Tak pernah rumah Soya menjadi seriuh dan semenegangkan Senin itu. Tiap detik berlalu dengan detak jarum yang berat, mengingatkan Soya bahwa meski waktu berjalan, ia takkan bisa lari dari masalah sekarang.
Walau Soni tak ada di rumah sore itu, bukan berarti Soya bisa merasa tenang. Duduk berseberangan dengannya, Yasmin menyandarkan pelipis pada tangan. Kedua mata sang ibu menatap tajam kepadanya.
“Mama nggak habis pikir,” kata beliau. “Nggak ada nama kamu terdaftar di bimbel itu. Tapi tiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, kamu selalu sibuk di waktu yang sama. Apa yang kamu lakuin? Kamu di mana? Duit Mama kamu pakai apa?”
Saat-saat seperti ini, Soya berharap bisa memutar waktu dan benar-benar mendaftarkan diri ke les bimbel itu, menolak ajakan Sastra, dan—
Nggak, nggak! Sebuah suara menjerit di dalam benak Soya. Aku nggak nyesal gabung Layar Surya! Kalau bukan karena Layar Surya, aku selamanya terperangkap belajar!
“Soya! Jawab Mama!”
Sambil menggaruk-garuk jarinya sendiri, Soya berkata dengan lirih, “Uang Mama … masih utuh di rekeningku.”
Yasmin menghela napas. Tampaknya lega. Namun, itu hanya secuil dari rentetan masalah yang belum jelas.
“Trus kamu ngapain?” cecar ibunya ketus. “Selama liburan dan pulang sekolah, kamu ke mana aja? Buku-buku latihan SBMPTN yang kamu punya itu dari mana?”
Soya menjawab bagian yang aman dulu. “Itu emang buku latihan SBMPTN … tapi aku beli sendiri dari obralan toko buku.” Ia menunduk. Tidak perlu menceritakan bahwa itu adalah rekomendasi Daru.
Ia tahu walau dirinya mencoba tetap bertanggung jawab dengan mengerjakan soal-soal latihan SBMPTN, itu tetap tidak menyelesaikan masalah utamanya.
“Tetap aja, kamu berbohong.” Penegasan Yasmin membuat mata Soya berkaca-kaca. “Kamu bohongi Mama dan Papa. Berbulan-bulan. Kamu pikir, apa yang kamu lakukan sampai-sampai orang tuamu pantas kamu bohongi begini?”
Soya menelan ludah. Ia hanya tidak ingin kejadian lama terulang. Kenapa pertanyaan Yasmin justru nyelekit begitu?
“Apa kamu mau Papa marah lebih dari kemarin?”
“Justru itu, Ma ….” Air mata pertama mengalir ke pipi Soya. “Aku … aku nggak mau Papa dan Mama marah … tapi—tapi, aku juga capek belajar ….”
“Siapa suruh kamu nggak nepatin janji?” Yasmin menggebrak meja, mengejutkan sang anak. “Kalau kamu dengerin Mama dari awal, masalahnya nggak akan seperti ini! Apa, sih, susahnya nurut sama Papa dan Mama? Kamu tahu sendiri; papa kamu tuh orangnya terlalu saklek! Kalau kita nggak menyesuaikan keinginan Papa, bisa hancur rumah ini! Dan kamu, Soya”—Mama menuding tepat ke wajahnya—“selalu bikin Papa dan Mama tengkar kalau kamu nggak nurut!”
Soya tak bisa menangis dalam diam lagi. Ia sesenggukan, air matanya mengalir deras tak terbendung lagi.
Yasmin menghela napas sekali lagi. Ia beranjak dengan keras, suara kursi terdorong berdecit nyaring di ruang duduk.
“Kalau gini, gimana caranya Mama ngomong ke Papa?” suara beliau mulai serak. “Kamu aja yang ngomong kali, ya, biar kamu tahu rasanya menghadapi papamu langsung kayak gimana.”
Raut sang ibu sama tertekannya saat ia berlalu dan membanting pintu kamar menutup.
Soya yakin, kesalahan bukan hanya ia penyebabnya. Ingin ia berteriak, kenapa ayahnya tak mau lebih luwes? Kenapa semua orang harus mengikuti kemauan ayah? Andai Soni mau mendengarkan lebih dahulu, mungkin ia dan Yasmin takkan bertengkar sesering itu. Andai kedua orang tuanya mau mendengarkan Soya, mungkin ia tak perlu nelangsa sejauh ini.
Namun, bagaimana caranya ia membuat orang tuanya mendengarkan, kalau bicara saja selalu dianggap salah?
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas